Sejarah Perjalanan Ilmu Hadis (Bagian 1)
Kamis, 15 Oktober 2020 - 17:30 WIB
Dalam sejarah perjalanan ilmu Hadis ada hal yang harus diketahui terutama makna Muhaddits dan Faqih. Meskipun sebenarnya hal itu bukanlah hal baru, namun dari namanya sudah beda.
Menurut Ustaz Hanif Luthfi Lc MA (pengajar di Rumah Fiqih Indonesia) yang dilansir dari rumahfiqih menjelaskan bahwa muhaddits adalah ulama yang intens dalam membahas hadits. Sedangkan faqih adalah ulama yang intens membahas fiqih. [
]
Perbedaan itu akan menjadi harmoni jika keduanya bekerja sama dengan apik, dan itulah yang terjadi pada ulama-ulama Islam terdahulu. Sebut saja Imam Abu Hanifah (wafat 150 H), seorang faqih dan Al-A'masy (wafat 148 H), seorang ahli hadits.
Hal itu sebagaimana diceritakan oleh al-Khatib al-Baghdadi (wafat 463 H) dalam Kitabnya Nashihatu Ahli al-Hadits. Suatu ketika Al-A'masy duduk bersama Imam Abu Hanifah (wafat 150 H) datanglah seorang laki-laki bertanya sesuatu hukum kepada al-A'masy.
Al-'Amasy berkata: "Wahai Nu'man (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu! Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A'masy kaget dan bertanya, dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah?
Imam Abu Hanifah menjawab: "Dari hadits yang engkau bacakan kepada kami."
Kemudian Al-A'masy menimpali:
نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء
"Iya benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya."
Selain itu, tak bisa dipungkiri juga, ada ulama yang selain Faqih juga Muhaddits. Tapi itu sangat sedikit jumlahnya. Sebut saja Imam Syafi'i (wafat 204 H). Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) berkata tentang I mam Syafi'i sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Asakir (wafat 571 H).
كان الفقهاء أطباء والمحدثون صيادلة فجاء محمد بن إدريس الشافعي طبيبا صيدلانيا
"Dahulu Ahli Fiqih itu dokter, sedangkan Muhaddits adalah apotekernya. Sehingga datanglah Imam as-Syafi'i , beliau adalah dokter sekaligus apoteker".
Pemisahan tugas Muhaddits dan Faqih bukanlah sesuatu yang negatif. Karena dari situlah para ulama sadar diri atas keilmuan yang dikuasainya. Sehingga antara muhadits dan faqih itu bisa saling bersinergi dalam kebaikan. ( )
Terjadi masalah jika seorang apoteker merasa tidak butuh dokter, bahkan malah buka prakter kedokteran sendiri di apoteknya. Dikotomi muhaddits dan faqih menjadi negatif jika salah satu dari keduanya merasa tidak butuh dengan yang lain.
"Kita dapati saat ini ada yang berkata, seorang Faqih itu haruslah seorang muhaddits, tetapi muhaddits tidak harus seorang faqih. Karena seorang muhaddits itu otomatis pasti seorang faqih". Muhaddits-muhaddits saat ini (atau yang digelari muhaddits oleh murid-muridnya) beranggapan sinis terhadap fiqih Islam , ulama-ulama fiqih dan madzhab-madzhab fiqih," jelas Ustaz Hanif.
Merasa sudah mengikuti hadis maka berlepas diri dari pemahaman ulama fiqih dan madzhab ulama terdahulu, dengan membuat madzhab ahli hadits . Dari sinilah pentingnya kita belajar kembali sejarah ulum al-hadits dan tokoh-tokohnya dari ulama terdahulu.
Hal itu untuk menegaskan kembali bahwa justru berkembangnya ulum al-hadits itu berada di tangan ulama , yang mana kebanyakan ulama itu juga mengikuti salah satu madzhab dalam fiqihnya .
Al-Imam ad-Dzahabi (wafat 748 H) meninyindir Ahli Hadits di zamannya, beliau berkata:
وكم من رجل مشهور بالفقه والرأي في الزمن القديم أفضل في الحديث من المتأخرين، وكم من رجل من متكلمي القدماء أعرف بالأثر من سنية زماننا
"Banyak dari ulama yang terkenal dalam bidang fiqih dan ra'yu di zaman terdahulu, mereka lebih utama dalam hadits daripada ulama saat ini. Banyak dari ulama yang terkenal ahli ilmu kalam zaman terdahulu, mereka lebih banyak pengetahuannya tentang hadis daripada orang yang mengaku mengikuti sunnah zaman kita ini."
Itu ahli hadits abad ke-8 Hijriyyah pada masa Imam ad-Dzahabi. Bagaimana dengan ahli hadit s era maktabah syamilah? (
(Bersambung!)
Menurut Ustaz Hanif Luthfi Lc MA (pengajar di Rumah Fiqih Indonesia) yang dilansir dari rumahfiqih menjelaskan bahwa muhaddits adalah ulama yang intens dalam membahas hadits. Sedangkan faqih adalah ulama yang intens membahas fiqih. [
Baca Juga
Perbedaan itu akan menjadi harmoni jika keduanya bekerja sama dengan apik, dan itulah yang terjadi pada ulama-ulama Islam terdahulu. Sebut saja Imam Abu Hanifah (wafat 150 H), seorang faqih dan Al-A'masy (wafat 148 H), seorang ahli hadits.
Hal itu sebagaimana diceritakan oleh al-Khatib al-Baghdadi (wafat 463 H) dalam Kitabnya Nashihatu Ahli al-Hadits. Suatu ketika Al-A'masy duduk bersama Imam Abu Hanifah (wafat 150 H) datanglah seorang laki-laki bertanya sesuatu hukum kepada al-A'masy.
Al-'Amasy berkata: "Wahai Nu'man (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu! Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A'masy kaget dan bertanya, dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah?
Imam Abu Hanifah menjawab: "Dari hadits yang engkau bacakan kepada kami."
Kemudian Al-A'masy menimpali:
نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء
"Iya benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya."
Selain itu, tak bisa dipungkiri juga, ada ulama yang selain Faqih juga Muhaddits. Tapi itu sangat sedikit jumlahnya. Sebut saja Imam Syafi'i (wafat 204 H). Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) berkata tentang I mam Syafi'i sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Asakir (wafat 571 H).
كان الفقهاء أطباء والمحدثون صيادلة فجاء محمد بن إدريس الشافعي طبيبا صيدلانيا
"Dahulu Ahli Fiqih itu dokter, sedangkan Muhaddits adalah apotekernya. Sehingga datanglah Imam as-Syafi'i , beliau adalah dokter sekaligus apoteker".
Pemisahan tugas Muhaddits dan Faqih bukanlah sesuatu yang negatif. Karena dari situlah para ulama sadar diri atas keilmuan yang dikuasainya. Sehingga antara muhadits dan faqih itu bisa saling bersinergi dalam kebaikan. ( )
Terjadi masalah jika seorang apoteker merasa tidak butuh dokter, bahkan malah buka prakter kedokteran sendiri di apoteknya. Dikotomi muhaddits dan faqih menjadi negatif jika salah satu dari keduanya merasa tidak butuh dengan yang lain.
"Kita dapati saat ini ada yang berkata, seorang Faqih itu haruslah seorang muhaddits, tetapi muhaddits tidak harus seorang faqih. Karena seorang muhaddits itu otomatis pasti seorang faqih". Muhaddits-muhaddits saat ini (atau yang digelari muhaddits oleh murid-muridnya) beranggapan sinis terhadap fiqih Islam , ulama-ulama fiqih dan madzhab-madzhab fiqih," jelas Ustaz Hanif.
Merasa sudah mengikuti hadis maka berlepas diri dari pemahaman ulama fiqih dan madzhab ulama terdahulu, dengan membuat madzhab ahli hadits . Dari sinilah pentingnya kita belajar kembali sejarah ulum al-hadits dan tokoh-tokohnya dari ulama terdahulu.
Hal itu untuk menegaskan kembali bahwa justru berkembangnya ulum al-hadits itu berada di tangan ulama , yang mana kebanyakan ulama itu juga mengikuti salah satu madzhab dalam fiqihnya .
Al-Imam ad-Dzahabi (wafat 748 H) meninyindir Ahli Hadits di zamannya, beliau berkata:
وكم من رجل مشهور بالفقه والرأي في الزمن القديم أفضل في الحديث من المتأخرين، وكم من رجل من متكلمي القدماء أعرف بالأثر من سنية زماننا
"Banyak dari ulama yang terkenal dalam bidang fiqih dan ra'yu di zaman terdahulu, mereka lebih utama dalam hadits daripada ulama saat ini. Banyak dari ulama yang terkenal ahli ilmu kalam zaman terdahulu, mereka lebih banyak pengetahuannya tentang hadis daripada orang yang mengaku mengikuti sunnah zaman kita ini."
Itu ahli hadits abad ke-8 Hijriyyah pada masa Imam ad-Dzahabi. Bagaimana dengan ahli hadit s era maktabah syamilah? (
(Bersambung!)
(rhs)