Mu'adzah binti Abdillah, Perempuan yang Selalu Menghidupkan Salat Malam
Selasa, 24 November 2020 - 18:31 WIB
Kata-kata Mu'adzah menunjukan kefasihannya dalam bertutur kata, seni bahasa dan kemapanannya berbicara telah diabadikan. Di antara kata-katanya adalah,” Saya heran kepada mata yang tidur, padahal ia tahu betapa lamanya terpuruk dalam kegelapan kubur.”
Perkataannya tak pernah lepas dari nasihat dan peringatan tentang dunia. Ia pernah berkata kepada perempuan yang disusuinya,” Wahai anakku, jadikanlah pertemuan dengan Allah SWT dengan diiringi sikap waspada dan pengharapan. Sebab, saya melihat orang yang berharap mendapatkan hak dengan kebaikan tempat kembali di hari ia menghadapNya. Saya melihat orang yang takut mendapatkan angannya akan keselamatan di hari di mana orang-orang berdiri menghadap Tuhan semesta Alam.”
Ia pernah memperingatkan untuk tidak tertipu dan terfokus pada dunia. ”Saya temani dunia selama 70 tahun. Saya tak melihat ketenangan mata sama sekali didalamnya.”
(Baca juga : Dihantam Longsor, Jalan Nasional di Madina Lumpuh Total )
Mu'adzah telah menyerahkan dirinya untuk beribadah dan salat. Hampir tak tersisa waktu kecuali ia dalam kesiagaan dengan salatnya. Ia menghidupkan semua malamnya untuk salat, berzikir dan bertasbih. Ia melaksanakan salat pada setiap siang dan malam sebanyak 700 rakaat.
Ia membaca Al-Qur’an setiap malam. Allah menggambarkan perempuan-perempuan shalihah dalam firmanNya,
” Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”(QS. An-Nisa:34) .
Perempuan yang memelihara diri dan harta saat suaminya tidak ada adalah nilai terbesar yang diidamkan dalam diri wanita. Mu'adzah al-Adawiyyah termasuk dalam golongan ini. Ketika datang malam, ia berkata, ”Ini adalah hari kematianku.”Ia tidak mau tidur.”
(Baca juga : PW Muhammadiyah Jatim Kritik Naskah Khutbah Jumat Kemenag, Ini Alasannya )
Ketika datang malam, ia berkata,”Ini adalah malam kematianku.” Maka ia tidak tidur hingga pagi. Lalu ketika dia tertidur, ia bangkit dan berlari dalam rumahnya dan mencela dirinya sendiri. Kemudian ia terus-menerus berkeliling hingga pagi karena takut kematian saat ia lengah dan tertidur.
Saat musim dingin datang menyerang, Muadzah sengaja mengenakan pakaian dengan bahan yang lebih tipis hingga udara dingin itu menghalanginya tertidur dan ia tidak bermalas-malasan dari beribadah dan berdoa. Dengan ditemani suaminya, ia bekerja keras untuk ibadah hingga keduanya menjadi perumpamaan.
Abu as-Siwar al-Adawi mengatakan,”Bani Adiy adalah komunitas yang paling keras berusaha. Inilah Abu ash-Shahba yang tak tidur malam hari dan tidak berbuka di siang hari. Inilah istrinya Mu'adzah binti Abdullah yang tak pernah mengangkat kepalanya ke langit selama 40 tahun.”
(Baca juga : Trump Menolak Menyerah Meski Proses Transisi Sudah Dimulai )
Di samping dikenal sebagai ahli ibadah, Mu'adzah juga dikenal sebagai seorang perempuan ahli fiqih dan alim. Yahya bin Ma’in mengomentari tentang dirinya, ” Mu'adzah seorang yang tsiqah dan menjadi hujjah.” Ibnu Hibban juga memasukannya dalam jajaran perawi tsiqah juga memberikan pujian kepadanya.
Pada tahun 62 H, suami dan anaknya menemui syahid di Sajistan. Saat berita sampai padanya, ia tak menampar muka atau merobek pakaian, tetapi sabar dan mengembalikannya kepada Allah. Banyak perempuan berkumpul di rumahnya untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, Mu'adzah berkata kepada mereka,”Selamat datang kepada kalian jika kalian datang untuk menyampaikan ucapan selamat. Namun jika kalian datang bukan untuk tujuan tersebut, pulanglah.”
Para perempuan itu terkagum dengan kesabaran Mu'adzah. Mereka keluar dengan membicarakan kesabaran yang telah Allah berikan padanya. Peristiwa ini semakin menambah kedudukannya dan posisinya di mata mereka.
(Baca juga : Ibra Ngamuk Wajah dan Namanya Dipakai Game FIFA 21 tanpa Izin! )
Ummu al-Aswad binti Zaid al-Adawiyyah yang pernah disusui olehnya berkata,”Mu'adzah berkata kepadaku saat Abu ash-Shahba dan anaknya terbunuh,”Demi Allah, wahai putriku!Tidaklah kecintaanku untuk tetap tinggal di dunia untuk kesenangan hidup dan ketenangan jiwa. Tapi sungguh saya tidak suka tetap tinggal kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai cara. Semoga Allah mengumpulkan antara diriku dengan Abu ash-Shahba beserta anaknya di surga.
Mu'adzah mewujudkan perkataan ini dalam perbuatan. Tak ada malam yang ia lewati kecuali senantiasa berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan takut dan berharap bertemu denganNya serta berangan-angan mendapatkan rahmatNya. Sejak suaminya syahid, ia tak lagi bersandar di kasur tidurnya hingga meninggal, karena khawatir merasakan kelembutan kasur hingga lupa dengan apa yang ia janjikan kepada Allah untuk senantiasa berdoa.
Dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu hajar menuturkan kehormatan tertinggi bagi Mu'adzah yang menunjukan kedudukannya dalam ibadah. Ada seorang warga Bashrah mengatakan,”Saya mendatangi Mu'adzah, lalu Muadzah berkata,” Saya mengeluhkan perutku.”Ia telah memberikan resepnya dengan tuak guci. Maka, saya berikan kepadanya secangkir tuak itu dan saya letakkan, maka Mu'adzah berkata,’Ya Allah, seandainya Engkau mengetahu bahwa Aisyah memberikan hadis padaku, sesungguhnya Nabi SAW, melarang tuak guci maka cukupkanlah diriku dengan apa yang Engkau kehendaki.”
Perkataannya tak pernah lepas dari nasihat dan peringatan tentang dunia. Ia pernah berkata kepada perempuan yang disusuinya,” Wahai anakku, jadikanlah pertemuan dengan Allah SWT dengan diiringi sikap waspada dan pengharapan. Sebab, saya melihat orang yang berharap mendapatkan hak dengan kebaikan tempat kembali di hari ia menghadapNya. Saya melihat orang yang takut mendapatkan angannya akan keselamatan di hari di mana orang-orang berdiri menghadap Tuhan semesta Alam.”
Ia pernah memperingatkan untuk tidak tertipu dan terfokus pada dunia. ”Saya temani dunia selama 70 tahun. Saya tak melihat ketenangan mata sama sekali didalamnya.”
(Baca juga : Dihantam Longsor, Jalan Nasional di Madina Lumpuh Total )
Mu'adzah telah menyerahkan dirinya untuk beribadah dan salat. Hampir tak tersisa waktu kecuali ia dalam kesiagaan dengan salatnya. Ia menghidupkan semua malamnya untuk salat, berzikir dan bertasbih. Ia melaksanakan salat pada setiap siang dan malam sebanyak 700 rakaat.
Ia membaca Al-Qur’an setiap malam. Allah menggambarkan perempuan-perempuan shalihah dalam firmanNya,
” Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”(QS. An-Nisa:34) .
Perempuan yang memelihara diri dan harta saat suaminya tidak ada adalah nilai terbesar yang diidamkan dalam diri wanita. Mu'adzah al-Adawiyyah termasuk dalam golongan ini. Ketika datang malam, ia berkata, ”Ini adalah hari kematianku.”Ia tidak mau tidur.”
(Baca juga : PW Muhammadiyah Jatim Kritik Naskah Khutbah Jumat Kemenag, Ini Alasannya )
Ketika datang malam, ia berkata,”Ini adalah malam kematianku.” Maka ia tidak tidur hingga pagi. Lalu ketika dia tertidur, ia bangkit dan berlari dalam rumahnya dan mencela dirinya sendiri. Kemudian ia terus-menerus berkeliling hingga pagi karena takut kematian saat ia lengah dan tertidur.
Saat musim dingin datang menyerang, Muadzah sengaja mengenakan pakaian dengan bahan yang lebih tipis hingga udara dingin itu menghalanginya tertidur dan ia tidak bermalas-malasan dari beribadah dan berdoa. Dengan ditemani suaminya, ia bekerja keras untuk ibadah hingga keduanya menjadi perumpamaan.
Abu as-Siwar al-Adawi mengatakan,”Bani Adiy adalah komunitas yang paling keras berusaha. Inilah Abu ash-Shahba yang tak tidur malam hari dan tidak berbuka di siang hari. Inilah istrinya Mu'adzah binti Abdullah yang tak pernah mengangkat kepalanya ke langit selama 40 tahun.”
(Baca juga : Trump Menolak Menyerah Meski Proses Transisi Sudah Dimulai )
Di samping dikenal sebagai ahli ibadah, Mu'adzah juga dikenal sebagai seorang perempuan ahli fiqih dan alim. Yahya bin Ma’in mengomentari tentang dirinya, ” Mu'adzah seorang yang tsiqah dan menjadi hujjah.” Ibnu Hibban juga memasukannya dalam jajaran perawi tsiqah juga memberikan pujian kepadanya.
Pada tahun 62 H, suami dan anaknya menemui syahid di Sajistan. Saat berita sampai padanya, ia tak menampar muka atau merobek pakaian, tetapi sabar dan mengembalikannya kepada Allah. Banyak perempuan berkumpul di rumahnya untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, Mu'adzah berkata kepada mereka,”Selamat datang kepada kalian jika kalian datang untuk menyampaikan ucapan selamat. Namun jika kalian datang bukan untuk tujuan tersebut, pulanglah.”
Para perempuan itu terkagum dengan kesabaran Mu'adzah. Mereka keluar dengan membicarakan kesabaran yang telah Allah berikan padanya. Peristiwa ini semakin menambah kedudukannya dan posisinya di mata mereka.
(Baca juga : Ibra Ngamuk Wajah dan Namanya Dipakai Game FIFA 21 tanpa Izin! )
Ummu al-Aswad binti Zaid al-Adawiyyah yang pernah disusui olehnya berkata,”Mu'adzah berkata kepadaku saat Abu ash-Shahba dan anaknya terbunuh,”Demi Allah, wahai putriku!Tidaklah kecintaanku untuk tetap tinggal di dunia untuk kesenangan hidup dan ketenangan jiwa. Tapi sungguh saya tidak suka tetap tinggal kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai cara. Semoga Allah mengumpulkan antara diriku dengan Abu ash-Shahba beserta anaknya di surga.
Mu'adzah mewujudkan perkataan ini dalam perbuatan. Tak ada malam yang ia lewati kecuali senantiasa berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan takut dan berharap bertemu denganNya serta berangan-angan mendapatkan rahmatNya. Sejak suaminya syahid, ia tak lagi bersandar di kasur tidurnya hingga meninggal, karena khawatir merasakan kelembutan kasur hingga lupa dengan apa yang ia janjikan kepada Allah untuk senantiasa berdoa.
Dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu hajar menuturkan kehormatan tertinggi bagi Mu'adzah yang menunjukan kedudukannya dalam ibadah. Ada seorang warga Bashrah mengatakan,”Saya mendatangi Mu'adzah, lalu Muadzah berkata,” Saya mengeluhkan perutku.”Ia telah memberikan resepnya dengan tuak guci. Maka, saya berikan kepadanya secangkir tuak itu dan saya letakkan, maka Mu'adzah berkata,’Ya Allah, seandainya Engkau mengetahu bahwa Aisyah memberikan hadis padaku, sesungguhnya Nabi SAW, melarang tuak guci maka cukupkanlah diriku dengan apa yang Engkau kehendaki.”