Takdir, Becermin dari Tujuan Politis Penguasa Dinasti Umayah

Jum'at, 11 Desember 2020 - 13:07 WIB
Ilustrasi/Ist
KETIKA Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menggantikan Khalifah IV, Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan, "Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai salat?" Ia memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,

"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu (HR Bukhari).

Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia sedikit pun. Kebijakan memopulerkan doa ini, dinilai oleh banyak pakar sebagai " bertujuan politis ," karena dengan doa itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).

Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima oleh kebanyakan ulama . Ada yang demikian menggebu menolaknya sehingga secara sadar atau tidak-mengumandangkan pernyataan la qadar (tidak ada takdir ). Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah sendiri menegaskan,

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ



Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (QS Al-Kahf [18]: 29).

Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya sendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini juga disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah. Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah "Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS Al-Shaffat [37]: 96).

Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya bukankah Al-Quran menegaskan bahwa, "Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).

Prof Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Qur'an " menggambarkan perdebatan yang tak kunjung habis di antara para teolog itu. "Masing-masing menjadikan Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka," ujarnya. ( )

Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya.

Yang jelas, menurut Prof Quraish, Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidak pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para teolog itu. "Mereka sepenuhnya yakin tentang takdir Allah yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi sedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi mereka menyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalah sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah," jelasnya. ( )


Menurut Quraish, sikap Nabi dan para sahabat tersebut lahir, karena mereka tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demi ayat, atau sepotong-sepotong terlepas dari konteksnya, tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. (Bersambung)
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(mhy)
cover top ayah
يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ اِنۡ كُنۡـتُمۡ فِىۡ رَيۡبٍ مِّنَ الۡبَـعۡثِ فَاِنَّـا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ تُرَابٍ ثُمَّ مِنۡ نُّـطۡفَةٍ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنۡ مُّضۡغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَّغَيۡرِ مُخَلَّقَةٍ لِّـنُبَيِّنَ لَـكُمۡ‌ ؕ وَنُقِرُّ فِى الۡاَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلًا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوۡۤا اَشُدَّكُمۡ ‌ۚ وَمِنۡكُمۡ مَّنۡ يُّتَوَفّٰى وَمِنۡكُمۡ مَّنۡ يُّرَدُّ اِلٰٓى اَرۡذَلِ الۡعُمُرِ لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۡۢ بَعۡدِ عِلۡمٍ شَيۡــًٔـا‌ ؕ وَتَرَى الۡاَرۡضَ هَامِدَةً فَاِذَاۤ اَنۡزَلۡنَا عَلَيۡهَا الۡمَآءَ اهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡ وَاَنۡۢبَـتَتۡ مِنۡ كُلِّ زَوۡجٍۢ بَهِيۡجٍ
Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah.

(QS. Al-Hajj Ayat 5)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More