Ternyata Ada 6 Bentuk Ghibah yang Diperbolehkan, Apa Saja Itu?
Selasa, 09 Februari 2021 - 12:17 WIB
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi kecukupan nafkah untukku dan anakku, bolehkah aku ambil darinya tanpa sepengetahuan dirinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah sebatas yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Hadis Muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Shahih al-Jami’)
4. Ghibah dalam rangka mengingatkan kaum muslimin dari kebuah Keburukan dan menasehati mereka.
Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di antaranya, keburukan perawi yang biasa disebutkan oleh perawi yang lain dalam masalah periwayatan hadits Nabi. Ini dikenal dengan ilmu Jarh wa ta’dil. Ini dibolehkan berdasarkan Ijma’ kaum muslimin. Bahkan wajib, karena dibutuhkan.
Contoh lain, ketika dalam proses taaruf/khitbah seorang perempuan yang ingin dinikahi, atau seorang laki-laki yang melamar. Pihak wali tidak boleh menyembunyikan keadaan yang ada pada perempuan yang ingin dinikahkan. Bahkan, wali tersebut harus menyebutkan kondisi perempuan/laki-laki dalam rangka meraih maslahat pernikahan.
Dari Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ia berkata, “..Maka ketika saya sudah halal (selesai masa ‘iddah), saya sampaikan kepada beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm sudah maju melamarku.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Dengankan Mu’awiyah, dia miskin tidak memiliki harta.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat muslim disebutkan, “Adapun Abu Jahm, dia adalah seorang laki-laki yang suka memukul wanita.”
Contoh lain ghibah jenis ini yang dibolehkan adalah, jika seseorang melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi ahli Bid’ah atau orang fasik dalam rangka mengambil ilmu darinya, sementara ada kekhawatiran dampak negatif terhadap si penuntut ilmu itu, maka orang yang melihat itu harus memberinya nasehat dengan menjelaskan kondisi sebenarnya orang fasik/ahli bid’ah yang ia datangi.
Syaratnya, tindakan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan murni dalam rangka maksud nasehat agar tidak salah paham dalam masalah ini. Tidak boleh dilakukan dalam rangka dengki atau permusuhan.
Contoh lain, jika ada seseorang yang memegang sebuah jabatan namun ia tidak menunaikannya dengan baik, baik itu karena sengaja, lalai, atau memang dia tidak layak memegang jabatan tersebut, maka kasus seperti ini harus dilaporkan kepada pimpinannya. Agar dirinya mendapatkan nasehat, peringatan, atau bahkan dialihkan jabatannya pada pekerjaan yang dia mampu.
5. Ghibah dalam rangka menjelaskan rerbuatan fasik dan bid’ah seseorang yang dilakukan secara terang-terangan
Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamr, merampas harta orang lain, mengambil harta secara zalim, dan melakukan tindakan-tindakan batil, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan.
Namun, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada sebab lain yang membolehkannya.
6. Ghibah dalam rangka mngenalkan
Jika seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka boleh mengenalkan dengan julukan itu. Seperti si fulan yang buta matanya, si fulan yang pincang kakinya. Tapi, penyebutan itu tidak dboleh dilakukan dalam rangka menghina, hanya sekedar untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah mengenalinya dengan sebutan-sebutan yang baik dan positif. (Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi, 441/442)
“Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi kecukupan nafkah untukku dan anakku, bolehkah aku ambil darinya tanpa sepengetahuan dirinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah sebatas yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Hadis Muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Shahih al-Jami’)
Baca Juga
4. Ghibah dalam rangka mengingatkan kaum muslimin dari kebuah Keburukan dan menasehati mereka.
Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di antaranya, keburukan perawi yang biasa disebutkan oleh perawi yang lain dalam masalah periwayatan hadits Nabi. Ini dikenal dengan ilmu Jarh wa ta’dil. Ini dibolehkan berdasarkan Ijma’ kaum muslimin. Bahkan wajib, karena dibutuhkan.
Contoh lain, ketika dalam proses taaruf/khitbah seorang perempuan yang ingin dinikahi, atau seorang laki-laki yang melamar. Pihak wali tidak boleh menyembunyikan keadaan yang ada pada perempuan yang ingin dinikahkan. Bahkan, wali tersebut harus menyebutkan kondisi perempuan/laki-laki dalam rangka meraih maslahat pernikahan.
Dari Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ia berkata, “..Maka ketika saya sudah halal (selesai masa ‘iddah), saya sampaikan kepada beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm sudah maju melamarku.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Dengankan Mu’awiyah, dia miskin tidak memiliki harta.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat muslim disebutkan, “Adapun Abu Jahm, dia adalah seorang laki-laki yang suka memukul wanita.”
Contoh lain ghibah jenis ini yang dibolehkan adalah, jika seseorang melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi ahli Bid’ah atau orang fasik dalam rangka mengambil ilmu darinya, sementara ada kekhawatiran dampak negatif terhadap si penuntut ilmu itu, maka orang yang melihat itu harus memberinya nasehat dengan menjelaskan kondisi sebenarnya orang fasik/ahli bid’ah yang ia datangi.
Syaratnya, tindakan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan murni dalam rangka maksud nasehat agar tidak salah paham dalam masalah ini. Tidak boleh dilakukan dalam rangka dengki atau permusuhan.
Contoh lain, jika ada seseorang yang memegang sebuah jabatan namun ia tidak menunaikannya dengan baik, baik itu karena sengaja, lalai, atau memang dia tidak layak memegang jabatan tersebut, maka kasus seperti ini harus dilaporkan kepada pimpinannya. Agar dirinya mendapatkan nasehat, peringatan, atau bahkan dialihkan jabatannya pada pekerjaan yang dia mampu.
Baca Juga
5. Ghibah dalam rangka menjelaskan rerbuatan fasik dan bid’ah seseorang yang dilakukan secara terang-terangan
Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamr, merampas harta orang lain, mengambil harta secara zalim, dan melakukan tindakan-tindakan batil, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan.
Namun, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada sebab lain yang membolehkannya.
6. Ghibah dalam rangka mngenalkan
Jika seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka boleh mengenalkan dengan julukan itu. Seperti si fulan yang buta matanya, si fulan yang pincang kakinya. Tapi, penyebutan itu tidak dboleh dilakukan dalam rangka menghina, hanya sekedar untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah mengenalinya dengan sebutan-sebutan yang baik dan positif. (Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi, 441/442)