Hitam Maupun Putih Sama Sesatnya? Ini Beda Dukun dan Sihir Dengan Karomah
Kamis, 25 Februari 2021 - 15:28 WIB
Abu Ubaidah Yusuf mengakui, antara karomah dan sihir ada kemiripan dari sisi sama-sama keluarbiasaan dan kedigdayaan. Namun, harus diingat bahwa kedigdayaan dan keluarbiasaan yang muncul pada seseorang tidak mesti menunjukkan kebaikan. Akan tetapi, kebaikan seseorang harus diukur dengan barometer syari’at.
Tidakkah engkau lihat bahwa Dajjal juga memiliki keluarbiasaan, tetapi apakah hal itu menunjukkan dia shalih dan baik?!! Jadi, dalam hal ini harus dibedakan antara karomah dan istidraj.
Karomah adalah ke luarbiasaan yang Allah SWT anugerahkan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa. Adapun kedigdayaan yang muncul dari orang yang menyimpang, penyihir, dan para Dajjal, maka hal itu disebut istidraj dan tipu daya Iblis.
Imam Syafi’i v telah menyingkap kedok mereka: Ibnu Abi Hatim berkata: Menceritakan kepada kami Yunus: Aku berkata kepada Syafi’i: Kawan kita Laits mengatakan, “Seandainya saya melihat pengekor hawa nafsu berjalan di atas air, saya tidak akan menerimanya.”
Syafi’i berkata, “Dia masih kurang, seandainya saya melihatnya dapat berjalan di udara, saya tidak akan menerimanya.” (Siyar A’lam Nubala‘ 3/3282 oleh adz-Dzahabi)
Alangkah indahnya ucapan seorang penyair:
Bila engkau lihat seorang dapat terbang
Dan berjalan di atas lautan
Padahal dia tidak menaati undang-undang syari’at
Maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah yang dimanjakan. Jadi, sehebat apa pun kejadian luar biasa yang dipertontonkan para dukun tidak bisa dikatakan sebagai karomah dan pelakunya tidak bisa dikatakan sebagai wali Allah, sebab banyak perbedaan antara sihir dan perdukunan dengan karomah:
1. Sihir dan perdukunan terjadi dengan bantuan setan, sedangkan karomah biasanya adalah kebetulan.
2. Sihir dan perdukunan itu dilakukan orang fasik, sedangkan karomah dari orang shalih yang konsisten dalam beragama.
3. Sihir dan perdukunan melakukan pelanggaran-pelanggaran syari’at berupa kekufuran dan kejahatan, sedangkan karomah tidak mungkin demikian. (Lihat Fathul Bari 10/223 oleh Ibnu Hajar, al-Furqan Baina Auliya‘ ar-Rahman wa Auliya‘ asy-Syaithan hlm. 61–64 oleh Ibnu Taimiyyah, Karamatul Auliya‘, Dirasah Aqadiyyah hlm. 237–245 oleh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-’Anqari).
Tidakkah engkau lihat bahwa Dajjal juga memiliki keluarbiasaan, tetapi apakah hal itu menunjukkan dia shalih dan baik?!! Jadi, dalam hal ini harus dibedakan antara karomah dan istidraj.
Karomah adalah ke luarbiasaan yang Allah SWT anugerahkan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa. Adapun kedigdayaan yang muncul dari orang yang menyimpang, penyihir, dan para Dajjal, maka hal itu disebut istidraj dan tipu daya Iblis.
Imam Syafi’i v telah menyingkap kedok mereka: Ibnu Abi Hatim berkata: Menceritakan kepada kami Yunus: Aku berkata kepada Syafi’i: Kawan kita Laits mengatakan, “Seandainya saya melihat pengekor hawa nafsu berjalan di atas air, saya tidak akan menerimanya.”
Syafi’i berkata, “Dia masih kurang, seandainya saya melihatnya dapat berjalan di udara, saya tidak akan menerimanya.” (Siyar A’lam Nubala‘ 3/3282 oleh adz-Dzahabi)
Alangkah indahnya ucapan seorang penyair:
Bila engkau lihat seorang dapat terbang
Dan berjalan di atas lautan
Padahal dia tidak menaati undang-undang syari’at
Maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah yang dimanjakan. Jadi, sehebat apa pun kejadian luar biasa yang dipertontonkan para dukun tidak bisa dikatakan sebagai karomah dan pelakunya tidak bisa dikatakan sebagai wali Allah, sebab banyak perbedaan antara sihir dan perdukunan dengan karomah:
1. Sihir dan perdukunan terjadi dengan bantuan setan, sedangkan karomah biasanya adalah kebetulan.
2. Sihir dan perdukunan itu dilakukan orang fasik, sedangkan karomah dari orang shalih yang konsisten dalam beragama.
3. Sihir dan perdukunan melakukan pelanggaran-pelanggaran syari’at berupa kekufuran dan kejahatan, sedangkan karomah tidak mungkin demikian. (Lihat Fathul Bari 10/223 oleh Ibnu Hajar, al-Furqan Baina Auliya‘ ar-Rahman wa Auliya‘ asy-Syaithan hlm. 61–64 oleh Ibnu Taimiyyah, Karamatul Auliya‘, Dirasah Aqadiyyah hlm. 237–245 oleh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-’Anqari).
(mhy)