Abu Nawas dan Kambing Besar dengan Tanduk Sejengkal
Selasa, 19 Mei 2020 - 03:02 WIB
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). (
)
Seorang saudagar kaya telah bertahun-tahun berumah tangga namun tak kunjung punya momongan. Allah belum mentakdirkan dirinya punya anak.
“Hai istriku, sebaiknya kita bernazar kepada Allah,” kata saudagar itu kepada istrinya, suatu ketika. “Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin.”
Nazar itu ternyata ces pleng. Istrinya pun hamil dan melahirkan bayi yang sehat.
Kemudian sang saudagar menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah. Tidurpun tidak nyenyak. Terpikir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.
Ketika sampai di rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai tempat pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan anda kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi,” jawab audagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu ia menguratakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal dimanapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula.
“Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain,” ujar mereka.
Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah.
Mulailah ia berpikir untuk ke Baghdad menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, raja yang adil, arif dan bijaksana. Maka niat itupun ia wujudkan. ( )
Sesampai di sana kebetulan baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri. “Hai anak muda, engkau berasal dari mana?” tanya baginda setelah melihat kedatangan saudagar muda ini.
“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab sang saudagar. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang?” tanya baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah baginda Sultan. Maka diceritakanlah perihal nazar itu sampai kepada keputusan para penghulu negeri Kopiah dan niatnya menemui baginda Sultan di Bagdad.
“Selanjutnya hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu dengan nada mengiba.
“Baikah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar.”
Seorang saudagar kaya telah bertahun-tahun berumah tangga namun tak kunjung punya momongan. Allah belum mentakdirkan dirinya punya anak.
“Hai istriku, sebaiknya kita bernazar kepada Allah,” kata saudagar itu kepada istrinya, suatu ketika. “Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin.”
Nazar itu ternyata ces pleng. Istrinya pun hamil dan melahirkan bayi yang sehat.
Kemudian sang saudagar menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah. Tidurpun tidak nyenyak. Terpikir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.
Ketika sampai di rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai tempat pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan anda kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi,” jawab audagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu ia menguratakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal dimanapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula.
“Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain,” ujar mereka.
Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah.
Mulailah ia berpikir untuk ke Baghdad menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, raja yang adil, arif dan bijaksana. Maka niat itupun ia wujudkan. ( )
Sesampai di sana kebetulan baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri. “Hai anak muda, engkau berasal dari mana?” tanya baginda setelah melihat kedatangan saudagar muda ini.
“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab sang saudagar. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang?” tanya baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah baginda Sultan. Maka diceritakanlah perihal nazar itu sampai kepada keputusan para penghulu negeri Kopiah dan niatnya menemui baginda Sultan di Bagdad.
“Selanjutnya hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu dengan nada mengiba.
“Baikah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar.”