Seberat Apakah Puasa Ramadhan di Tengah Pandemik Ini?

Sabtu, 18 April 2020 - 17:05 WIB
Ustaz Miftah El-Banjary, Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Al-Quran. Foto/ist
Ustaz Miftah El-Banjary

Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Al-Qur'an

Perintah berpuasa Ramadhan sebagai syariat Islam kedua setelah salat 5 waktu terjadi pada tahun ke-2 Hijrah pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW). Ada tiga aspek yang membuat perintah berpuasa ketika itu sangat terasa berat.

1. Perintah Berpuasa Ramadhan Bertepatan Musim Panas.

Ramadhan yang terambil kata: "Ramadh" secara bahasa berarti membakar. Sebab, Ramadhan dalam perhitungan kalender Arab biasa bertepatan pada musim-musim panas.



Anda bisa bayangkan betapa beratnya berpuasa dalam keadaan haus dahaga pada puncak musim panas musim di negeri bergurun yang suhunya bisa mencapai 32 hingga 40 derajat lebih. Lebih-lebih, kala musim panas waktu siang lebih panjang dan malam lebih singkat.

Tak mengherankan hampir di semua negara Timur Tengah, Afrika dan sebagian Eropa waktu berpuasa ada yang sampai 14 jam hingga 20 jam lamanya. Saya pernah merasakan hampir 5 kali berpuasa pada suhu puncak musim panas dan waktu berpuasa yang jauh lebih lama dari Indonesia, sekitar 14 jam.

Memang tidak mudah kondisi seperti itu. Kita yang hidup di negeri tropis memang seharusnya bersyukur berpuasa di bulan Ramadhan yang suhunya masih tetap normal berkisar antara 27 hingga 33 derajat dengan waktu berpuasa normal antara 12 hingga 13 jam saja.

2. Perintah Berpuasa Baru Disyariatkan di Tahun ke-2 Hijriyah.

Artinya, bagi sebagian para sahabat yang baru memeluk Islam di Madinah, mereka harus berpuasa menahan haus dan lapar di siang hari, sedangkan sebagian besar mereka masih ada yang lemah kadar keimanannya. Tentu hal ini tidak mudah bagi mereka yang baru berpindah agama dari kepercayaan pagamisme; penyembah berhala yang tidak memiliki aturan hukum kemudian diikat dengan sejumlah ketentuan hukum syariat yang sangat mengikat.

3. Kewajiban Berperang Jihad di Medan Pertempuran.

Perintah berperang di medan pertempuran merupakan perintah yang baru disyariatkan setelah Rasulullah dan para sahabat berhijrah ke Madinah dalam rangka mempertahankan Islam dari serangan kafir Quraisy yang ingin menghancurkan Islam.

Ini tentu persoalannya adalah soal hidup dan mati. Artinya, jika mereka menang mereka akan hidup, meski terkadang dengan segala risiko yang boleh jadi berakibat kecacatan fisik akibat peperangan tersebut. Jika mati sekalipun insya Allah dinilai sebagai seorang pejuang Syuhada, namun meninggalkan anak dan istrinya terpisah selama-lamanya. Perang pertama kali dalam Islam adalah perang Badar yang terjadi bertepatan dengan perintah syariat puasa, tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah.

Coba perhatikan ketiga aspek di atas. Para sahabat Nabi diperintahkan berpuasa di bulan yang biasa terjadinya puncak musim panas di tengah gurun yang sangat terik membakar. Ditambah ada sebagian iman mereka yang masih lemah dan harus melatih diri dalam aturan syariat Islam yang mengikat.

Pada saat yang sama juga mereka diwajibkan berperang mengangkat senjata ke medan pertempuran dengan jumlah pasukan serta persenjataan yang minim. Mereka harus berhadapan dengan musuh yang memiliki kekuatan dua kali lipat jumlah pasukan serta persenjataan yang jauh lebih lengkap.

Coba bayangkan, bagaimana beratnya berperang mengangkat senjata dalam keadaan lapar dan haus dahaga. Jika bersahur sekali pun pastilah seadanya, sebab mereka tengah di medan pertempuran dengan pasokan makanan yang serba terbatas. Berperang dalam keadaan lapar dan haus di tengah gumpalan debu gurun pasir bukanlah hal yang mudah, melainkan hanya atas dasar kekuatan iman saja.

Ya, hanya satu kekuatan keimanan saja, bukan yang lain. Mengapa saya tekankan pada persoalan tiga hal ini? Pesannya adalah bahwa Ramadhan yang kita hadapi saat pandemi ini bukanlah Ramadhan yang berat jika dibandingkan Ramadhan yang dialami para sahabat di masa Rasulullah SAW.

Mengapa kita membanding-bandingkankan puasa Ramadhan kali ini dengan masa Ramadhan di masa Rasulullah dan sahabatnya? Sebab, ada banyak orang yang berkeluh kesah dan menganggap Ramadhan kali ini di tengah pandemik wabah Covid-19 merupakan Ramadhan yang sulit.

Tidak! Ramadhan kita tidak akan pernah sesulit yang pernah dialami para generasi kita sebelumnya. Selanjutnya, dalam sejarah Islam, ada banyak peperangan yang dimenangkan pihak kaum muslimin dari setiap kekhalifahan Islam, dari setiap generasi terbaik Islam, pada setiap bulan Ramadhan dalam kurun peradaban sejarah Islam itu sendiri.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
cover top ayah
فَاصۡبِرۡ لِحُكۡمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعۡ مِنۡهُمۡ اٰثِمًا اَوۡ كَفُوۡرًا‌ۚ‏ (٢٤) وَاذۡكُرِ اسۡمَ رَبِّكَ بُكۡرَةً وَّاَصِيۡلًا (٢٥) وَمِنَ الَّيۡلِ فَاسۡجُدۡ لَهٗ وَسَبِّحۡهُ لَيۡلًا طَوِيۡلًا (٢٦)
Maka bersabarlah untuk melaksanakan ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka. Dan sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.

(QS. Al-Insan Ayat 24-26)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More