Wawasan Kebangsaan Dalam Al-Quran (2): Persatuan Bukan Penyatuan

Jum'at, 16 April 2021 - 17:29 WIB
Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan binatang pun demikian.

Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu ... (QS Al-An'am [6]: 38).

Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang berpendapat minimal empat puluh atau 100 orang. Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim as misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu.

Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120).

Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Al-Quran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal.



Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/ penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan.

Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, kitab suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan.

Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48:

Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja).

Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan.

Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan.

Baca juga: Sejarah Ilmu Tafsir Al-Qur'an, Pengertian dan Jenisnya (2)

Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing.

Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105).

Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan.

Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa.

Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat.

Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu yakni Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan --yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah-- hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.

Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, yaitu seorang yang sudah tua berzina, orang miskin namun sombong, dan pemimpin yang pendusta.

(HR. Nasa'i No. 2528)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More