Merayakan Idul Fitri dalam Kesunyian
Sabtu, 23 Mei 2020 - 15:29 WIB
Biyanto
Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
TANPA terasa hari kemenangan Idul Fitri telah datang. Yang berbeda, pada tahun ini umat merayakan Idul Fitri dalam kesunyian akibat kondisi pandemi Covid-19 . (
)
Tentu dibutuhkan penyesuaian tata cara beribadah dan merayakan hari besar agama di tengah kondisi darurat. Untuk itulah sejumlah ormas keagamaan mengeluarkan panduan beribadah di tengah Covid-19. Pada intinya imbauan itu berisi anjuran agar umat menjalankan ibadah di rumah bersama keluarga tercinta.
Untuk menghindari bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa, pemerintah juga telah membuat kebijakan agar umat menyelenggarakan salat Idul Fitri di rumah bersama keluarga tercinta.
Memaknai Mudik di Tengah Pandemi
Perayaan Idul Fitri juga selalu diikuti budaya mudik ke kampung halaman. Budaya mudik seolah menjadi ritual bagi mereka yang berada di perantauan.
Tujuannya adalah merayakan Idul Fitri bersama orangtua, saudara, dan teman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa istilah mudik berasal dari kata ”udik” berarti kampung, desa, atau dusun.
Kata udik juga diartikan hulu sungai, tempat semua aliran air berawal. Dari situlah dipahami bahwa mudik berkaitan dengan ajaran agar seseorang kembali ke daerah asal untuk mengingat masa lalunya saat memulai kehidupan di kampung halaman.
Yang menarik untuk dicermati mudik telah menjadi budaya lintas etnis dan agama. Budaya mudik tidak mengenal latar belakang sosial ekonomi. Semua orang dari berbagai etnis, budaya, agama, dan kelas sosial-ekonomi, berkeyakinan bahwa mudik ke kampung halaman sangat bermakna bagi kehidupan.
Berbagai motivasi turut menyertai pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem orangtua, silaturrahim dengan saudara, nyekar anggota keluarga yang telah meninggal dunia, reuni bersama teman, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Tradisi berbagi yang dilakukan pemudik merupakan pelajaran berharga. Mereka telah mengamalkan ajaran yang sangat penting, yakni memberi (religious gift).
Karena tergolong fenomena yang unik, Andre Moller dalam Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2002) mengatakan bahwa mudik merupakan aktivitas keagamaan yang khas di Nusantara untuk menyambut Ramadhan dan Idul Fitri.
Dengan berbagai motivasi biasanya pemudik rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Pemudik juga begitu menikmati perjalanan meski harus bersusah payah, berdesak-desakan, bahkan terkadang tidak mempedulikan keselamatan diri.
Tengoklah ketika pemudik berdesak-desakan di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Harus diakui, ritual mudik pada tahun ini pasti tidak semeriah sebelumnya. Hal itu karena pemerintah secara resmi telah melarang mudik.
Pemerintah juga berkomitmen untuk memberikan sanksi bagi pelanggar mudik. Bukan hanya pemerintah, para ulama yang berhimpun dalam berbagai organisasi keagamaan juga menghimbau para perantau untuk tidak mudik. Peraturan ini tidak hanya untuk perantau dalam negeri, para pekerja migran Indonesia di luar negeri juga dilarang mudik.
Larangan pemerintah dan imbauan ulama penting sebagai bagian dari usaha memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Umat diharapkan mematuhi semua peraturan pemerintah dan himbauan ulama.
Mudik Spriritual
Sementara pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam penanganan Covid-19 juga harus konsisten. Dapat dibayangkan jika pemerintah tidak konsisten dengan peraturan yang diundangkan.
Petugas di lapangan pasti kesulitan menerjemahkan peraturan yang berubah-ubah. Dampaknya, umat juga akan kebingungan. Kondisi ini berpotensial untuk memicu perdebatan yang tak berujung.
Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
TANPA terasa hari kemenangan Idul Fitri telah datang. Yang berbeda, pada tahun ini umat merayakan Idul Fitri dalam kesunyian akibat kondisi pandemi Covid-19 . (
Baca Juga
Tentu dibutuhkan penyesuaian tata cara beribadah dan merayakan hari besar agama di tengah kondisi darurat. Untuk itulah sejumlah ormas keagamaan mengeluarkan panduan beribadah di tengah Covid-19. Pada intinya imbauan itu berisi anjuran agar umat menjalankan ibadah di rumah bersama keluarga tercinta.
Untuk menghindari bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa, pemerintah juga telah membuat kebijakan agar umat menyelenggarakan salat Idul Fitri di rumah bersama keluarga tercinta.
Memaknai Mudik di Tengah Pandemi
Perayaan Idul Fitri juga selalu diikuti budaya mudik ke kampung halaman. Budaya mudik seolah menjadi ritual bagi mereka yang berada di perantauan.
Tujuannya adalah merayakan Idul Fitri bersama orangtua, saudara, dan teman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa istilah mudik berasal dari kata ”udik” berarti kampung, desa, atau dusun.
Kata udik juga diartikan hulu sungai, tempat semua aliran air berawal. Dari situlah dipahami bahwa mudik berkaitan dengan ajaran agar seseorang kembali ke daerah asal untuk mengingat masa lalunya saat memulai kehidupan di kampung halaman.
Yang menarik untuk dicermati mudik telah menjadi budaya lintas etnis dan agama. Budaya mudik tidak mengenal latar belakang sosial ekonomi. Semua orang dari berbagai etnis, budaya, agama, dan kelas sosial-ekonomi, berkeyakinan bahwa mudik ke kampung halaman sangat bermakna bagi kehidupan.
Berbagai motivasi turut menyertai pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem orangtua, silaturrahim dengan saudara, nyekar anggota keluarga yang telah meninggal dunia, reuni bersama teman, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Tradisi berbagi yang dilakukan pemudik merupakan pelajaran berharga. Mereka telah mengamalkan ajaran yang sangat penting, yakni memberi (religious gift).
Karena tergolong fenomena yang unik, Andre Moller dalam Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2002) mengatakan bahwa mudik merupakan aktivitas keagamaan yang khas di Nusantara untuk menyambut Ramadhan dan Idul Fitri.
Dengan berbagai motivasi biasanya pemudik rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Pemudik juga begitu menikmati perjalanan meski harus bersusah payah, berdesak-desakan, bahkan terkadang tidak mempedulikan keselamatan diri.
Tengoklah ketika pemudik berdesak-desakan di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Harus diakui, ritual mudik pada tahun ini pasti tidak semeriah sebelumnya. Hal itu karena pemerintah secara resmi telah melarang mudik.
Pemerintah juga berkomitmen untuk memberikan sanksi bagi pelanggar mudik. Bukan hanya pemerintah, para ulama yang berhimpun dalam berbagai organisasi keagamaan juga menghimbau para perantau untuk tidak mudik. Peraturan ini tidak hanya untuk perantau dalam negeri, para pekerja migran Indonesia di luar negeri juga dilarang mudik.
Larangan pemerintah dan imbauan ulama penting sebagai bagian dari usaha memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Umat diharapkan mematuhi semua peraturan pemerintah dan himbauan ulama.
Mudik Spriritual
Sementara pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam penanganan Covid-19 juga harus konsisten. Dapat dibayangkan jika pemerintah tidak konsisten dengan peraturan yang diundangkan.
Petugas di lapangan pasti kesulitan menerjemahkan peraturan yang berubah-ubah. Dampaknya, umat juga akan kebingungan. Kondisi ini berpotensial untuk memicu perdebatan yang tak berujung.