Bagaimana Mempraktikkan Keyakinan Asyhadu Alla Ilaha Ilallah?
Selasa, 08 Juni 2021 - 13:49 WIB
Pakar Tasawuf, KH Luqman Hakim , mengatakan pada hakikatnya semua orang memiliki mata hati dan dapat terbuka. Namun, terbukanya mata hati tanpa pancaran cahaya membuat pemiliknya akan memandang sesuatu dengan warna gelap.
Ada orang yang hebat, cerdas, pintar hingga berhasil menemukan banyak inovasi. "Tetapi, orang itu tidak mengenal Tuhan yang sesungguhnya berada di balik seluruh kehebatannya. Artinya, orang tersebut terbuka mata hati, namun tidak ada cahayanya," tuturnya saat mengisi Pesantren Digital MTT bertema Mengenal Cahaya Mata Hati yang berlangsung secara virtual, Senin (7/6/2021).
Kiai Luqman melanjutkan, inilah pentingnya nur atau cahaya dari mata hati sehingga mata hati dapat memandang sebuah objek.
Pemahaman itu seperti disampaikan Ibnu Athailah Assakandari yang mengungkapkan "Pancaran mata hati jika dipancari oleh nur yang terjadi adalah pancaran nur tadi menampakkan atau mempersaksikan padamu akan Mahadekatnya Allah padamu."
Menurutnya, inilah yang disebut nurul iman, ketika memancar itu adalah aplikasi dari iman tadi.
Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotul Muhibbin, Caringin Bogor itu meneruskan ada orang yang mengatakan, "Oh ya saya beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa; tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah. Jika hanya begitu, sebenarnya tidak ada nur dan tidak ada aplikasi iman," katanya sebagaimana dikutip laman resmi Nahdlatul Ulama.
Bagaimana mempraktikkan keyakinan Asyhadu alla ilaha ilallah? Menurut Kiai Luqman, pertama kali Allah memberi nur kepada iman seseorang, kepada mata hatinya, dan muncul sebuah kesadaran, Ya Allah, Engkau ini Mahadekat, bahkan Engkau lebih dekat dibandingkan diriku sendiri.
Itu (iman tentang pengakuan dekatnya diri dengan Allah), tidak bisa diukur dengan jarak, ruang, waktu, gerak, diam perubahan, karena Maha. Karena Maha maka yang ditumbuhkan adalah sebuah kesadaran 'Allah Mahadekat dibanding diriku sendiri," bebernya.
Artinya, Allah meliputi seluruh diri manusia. Segala kejadian, sebab akibat apa pun maka Allah lebih dulu ada di balik itu semuanya.
Akan tetapi kalau tidak memiliki cahaya mata hati, ketika ada kejadian seseorang akan menyalahkan sebabnya karena sesuatu atau karena orang lain.
"Gagal-sukses, enak-enggak enak, Allah dulu yang dipandang, karena Dia lebih dekat dibanding dirimu sendiri. Peristiwa yang dekat denganmu, apa yang dipandang dekat, Allah harus lebih dulu dipandang sebagai 'sang penyebab'. Kesadaran untuk itu sulit tanpa cahaya mata hati," ujar Kiai Luqman.
Bukti bahwa seseorang menyadari hakikat yang sesungguhnya adalah mempersaksikan apa yang tampak nyata betul ada, adalah dengan menyadari ketiadaan diri. "Ya, Allah sesungguhnya aku ini enggak ada, tiba-tiba begitu. Karena kita tenggelam dalam kedekatan ilahiah. (Orang akan berkata) enggak ada diriku. Kenapa? Karena yang ada adalah Engkau," imbuhnya.
Seorang hamba akan betul-betul menyadari, bagaimana Allah tidak ada, sedangkan Allah berada di balik sebab akibat apa pun. "Kemarin, dahulu, sekarang, Engkau adalah di balik itu semua. Bagaimana Engkau enggak ada?" kata Kiai Luqman.
Apabila seseorang sudah menyadari bahwa yang tampil adalah Mahaada-nya Allah pasti aku pun tiada, segalanya tiada. "Inilah suasana fana," kata Kiai Luqman.
Ada orang yang hebat, cerdas, pintar hingga berhasil menemukan banyak inovasi. "Tetapi, orang itu tidak mengenal Tuhan yang sesungguhnya berada di balik seluruh kehebatannya. Artinya, orang tersebut terbuka mata hati, namun tidak ada cahayanya," tuturnya saat mengisi Pesantren Digital MTT bertema Mengenal Cahaya Mata Hati yang berlangsung secara virtual, Senin (7/6/2021).
Kiai Luqman melanjutkan, inilah pentingnya nur atau cahaya dari mata hati sehingga mata hati dapat memandang sebuah objek.
Pemahaman itu seperti disampaikan Ibnu Athailah Assakandari yang mengungkapkan "Pancaran mata hati jika dipancari oleh nur yang terjadi adalah pancaran nur tadi menampakkan atau mempersaksikan padamu akan Mahadekatnya Allah padamu."
Menurutnya, inilah yang disebut nurul iman, ketika memancar itu adalah aplikasi dari iman tadi.
Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotul Muhibbin, Caringin Bogor itu meneruskan ada orang yang mengatakan, "Oh ya saya beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa; tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah. Jika hanya begitu, sebenarnya tidak ada nur dan tidak ada aplikasi iman," katanya sebagaimana dikutip laman resmi Nahdlatul Ulama.
Bagaimana mempraktikkan keyakinan Asyhadu alla ilaha ilallah? Menurut Kiai Luqman, pertama kali Allah memberi nur kepada iman seseorang, kepada mata hatinya, dan muncul sebuah kesadaran, Ya Allah, Engkau ini Mahadekat, bahkan Engkau lebih dekat dibandingkan diriku sendiri.
Itu (iman tentang pengakuan dekatnya diri dengan Allah), tidak bisa diukur dengan jarak, ruang, waktu, gerak, diam perubahan, karena Maha. Karena Maha maka yang ditumbuhkan adalah sebuah kesadaran 'Allah Mahadekat dibanding diriku sendiri," bebernya.
Artinya, Allah meliputi seluruh diri manusia. Segala kejadian, sebab akibat apa pun maka Allah lebih dulu ada di balik itu semuanya.
Akan tetapi kalau tidak memiliki cahaya mata hati, ketika ada kejadian seseorang akan menyalahkan sebabnya karena sesuatu atau karena orang lain.
"Gagal-sukses, enak-enggak enak, Allah dulu yang dipandang, karena Dia lebih dekat dibanding dirimu sendiri. Peristiwa yang dekat denganmu, apa yang dipandang dekat, Allah harus lebih dulu dipandang sebagai 'sang penyebab'. Kesadaran untuk itu sulit tanpa cahaya mata hati," ujar Kiai Luqman.
Bukti bahwa seseorang menyadari hakikat yang sesungguhnya adalah mempersaksikan apa yang tampak nyata betul ada, adalah dengan menyadari ketiadaan diri. "Ya, Allah sesungguhnya aku ini enggak ada, tiba-tiba begitu. Karena kita tenggelam dalam kedekatan ilahiah. (Orang akan berkata) enggak ada diriku. Kenapa? Karena yang ada adalah Engkau," imbuhnya.
Seorang hamba akan betul-betul menyadari, bagaimana Allah tidak ada, sedangkan Allah berada di balik sebab akibat apa pun. "Kemarin, dahulu, sekarang, Engkau adalah di balik itu semua. Bagaimana Engkau enggak ada?" kata Kiai Luqman.
Apabila seseorang sudah menyadari bahwa yang tampil adalah Mahaada-nya Allah pasti aku pun tiada, segalanya tiada. "Inilah suasana fana," kata Kiai Luqman.
(mhy)