Bagaimana Nasab Anak Hasil Perzinaan Perempuan Tak Bersuami?
Sabtu, 28 Agustus 2021 - 14:11 WIB
Sebelumnya telah dibahas tentang nasab anak hasil perzinaan atau perselingkuhan perempuan yang telah bersuami. Selanjutnya, mari kita bahas mengenai anak yang lahir dari perempuan yang tak bersuami.
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut berada dalam dua kondisi.
Pertama, bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan kepada lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.
Kedua, ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang mengaku itu. Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang empat yaitu Imam Abu Hanifah , Imam Malik , Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ) dan pendapat Ibnu Hazm.
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni. Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasulullah SAW :
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian. (HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi. Lihat Fathul Bâri 12/52)
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi SAW tidak menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi kandungan hadits ini.
2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya di zaman Jahiliyah.”
Maka Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam Islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. (HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493).
3. Sabda Nabi SAW:
لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ
Tidak ada perzinahan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan. (HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382).
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut berada dalam dua kondisi.
Pertama, bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan kepada lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.
Kedua, ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang mengaku itu. Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang empat yaitu Imam Abu Hanifah , Imam Malik , Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ) dan pendapat Ibnu Hazm.
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni. Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasulullah SAW :
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian. (HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi. Lihat Fathul Bâri 12/52)
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi SAW tidak menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi kandungan hadits ini.
2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya di zaman Jahiliyah.”
Maka Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam Islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. (HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493).
3. Sabda Nabi SAW:
لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ
Tidak ada perzinahan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan. (HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382).
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi: