Begini Nasab Anak Hasil Perselingkuhan Perempuan yang Bersuami
loading...
A
A
A
Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan sah menurut ketentuan agama. Anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib anak mulâ’anah yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya. Sebab, nasab kedua anak ini terputus dari sisi bapak.
Mulâ’anah (الملاعنة) adalah kata dasar (Mashdar) dari لاَعَنَ – يُلاَعِنُ – مُلاَعَنَةً وَ لِعَانًا bermakna melaknat
Nabi SAW menyatakan tentang anak zina:
ِلأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada…[Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268. (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)]
Beliau SAW juga menasabkan anak mulâ’anah kepada ibunya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu pernah menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengadakan mulâ’anah antara seorang lelaki dengan istrinya. Lalu lelaki itu mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.[HR al-Bukhâri, Kitâbuth-Thalâq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah. Lihat Fathul Baari (9/460)]
Imam Ibnul Qayyim dalam Zâdul Ma’âd ketika menjelaskan konsekuensi hukum dari sebuah mula’aanah antara seorang suami dengan istrinya menyatakan: “Hukum keenam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak. Karena Rasulullah SAW menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak. Inilah yang benar dan merupakan pendapat mayoritas ulama”.
Syaikh Mushthafâ al’Adawi dalam Jâmi’ Ahkâmin Nisâ` juga mengatakan, “Inilah pendapat mayoritas ulama, nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya. Sebab, Rasulullah SAW menetapkan agar tidak dinasabkan kepada bapaknya.
Senada dengan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn dalam Syarhul Mumti’ mengatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan. Maka dia tidak dinasabkan kepada seorang pun, baik kepada lelaki yang menzinainya atau suami wanita tersebut apabila ia bersuami. Alasannya, ia tidak memiliki bapak yang syar’i (melalui pernikahan yang sah, red)”.
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinaan, apabila ditinjau dari status ibunya, dapat dikategorikan menjadi dua yaitu si ibu berstatus sebagai istri orang dan bukan sedang bersuami, janda atau lajang.
Yang akan kita bahas ini kali adalah status anak hasil zina olehsi ibu yang berstatus sebagai istri orang.
Apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang anak dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuhan dengannya.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits dari Aa’isyah Radhiyallahu anhuma:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
"Anak yang lahir adalah milik pemilik ranjang (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian. (HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi, lihat Fathul Bâri, 12/52)
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib anak mulâ’anah yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya. Sebab, nasab kedua anak ini terputus dari sisi bapak.
Mulâ’anah (الملاعنة) adalah kata dasar (Mashdar) dari لاَعَنَ – يُلاَعِنُ – مُلاَعَنَةً وَ لِعَانًا bermakna melaknat
Nabi SAW menyatakan tentang anak zina:
ِلأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada…[Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268. (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)]
Beliau SAW juga menasabkan anak mulâ’anah kepada ibunya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu pernah menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengadakan mulâ’anah antara seorang lelaki dengan istrinya. Lalu lelaki itu mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.[HR al-Bukhâri, Kitâbuth-Thalâq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah. Lihat Fathul Baari (9/460)]
Imam Ibnul Qayyim dalam Zâdul Ma’âd ketika menjelaskan konsekuensi hukum dari sebuah mula’aanah antara seorang suami dengan istrinya menyatakan: “Hukum keenam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak. Karena Rasulullah SAW menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak. Inilah yang benar dan merupakan pendapat mayoritas ulama”.
Syaikh Mushthafâ al’Adawi dalam Jâmi’ Ahkâmin Nisâ` juga mengatakan, “Inilah pendapat mayoritas ulama, nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya. Sebab, Rasulullah SAW menetapkan agar tidak dinasabkan kepada bapaknya.
Senada dengan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn dalam Syarhul Mumti’ mengatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan. Maka dia tidak dinasabkan kepada seorang pun, baik kepada lelaki yang menzinainya atau suami wanita tersebut apabila ia bersuami. Alasannya, ia tidak memiliki bapak yang syar’i (melalui pernikahan yang sah, red)”.
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinaan, apabila ditinjau dari status ibunya, dapat dikategorikan menjadi dua yaitu si ibu berstatus sebagai istri orang dan bukan sedang bersuami, janda atau lajang.
Yang akan kita bahas ini kali adalah status anak hasil zina olehsi ibu yang berstatus sebagai istri orang.
Apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang anak dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuhan dengannya.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits dari Aa’isyah Radhiyallahu anhuma:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
"Anak yang lahir adalah milik pemilik ranjang (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian. (HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi, lihat Fathul Bâri, 12/52)