Kisah Detik-Detik Awal Perjalanan Spiritual Ibrahim bin Adham
Jum'at, 01 Oktober 2021 - 17:39 WIB
“Orang macam apa ini?” seru mereka.
Ibrahim pergi dari tempat itu, dan melanjutkan perjalanan ke Nishapur (sekarang di Iran). Di sana dia mencari tempat yang terpencil, sebuah tempat yang memungkinkan bagi dirinya untuk menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah.
Akhirnya dia menemukan gua (yang kelak menjadi) terkenal (karena Ibrahim pernah tinggal di sana) itu, tempat dia tinggal di sana selama sembilan tahun, setiap tiga tahun di masing-masing ceruk (artinya di sana ada tiga ceruk).
Siapa yang tahu apa yang dikerjakannya di sana sepanjang siang dan malam? Karena diperlukan seseorang yang kuat dengan kegigihan yang luar biasa untuk dapat berada di sana sendirian pada malam hari.
Setiap Kamis dia akan mendaki ke atas gua dan mengumpulkan seikat kayu bakar. Keesokan paginya dia akan berangkat ke Nishapur, dan di sana dia menjualnya.
Setelah melaksanakan salat Jumat, dia akan membeli roti dengan uang yang diperolehnya, memberikan setengahnya kepada pengemis dan menggunakan setengahnya lagi untuk berbuka puasa. Jadi dia melakukan hal ini setiap minggu.
Suatu malam pada musim dingin dia berada di ceruk gua itu. Cuacanya sangat dingin, dan dia harus memecahkan es (agar menjadi air) untuk mencuci. Sepanjang malam dia menggigil, salat sampai subuh. Menjelang fajar, dia terancam mati karena kedinginan.
Secara tidak sengaja, pikiran tentang api datang ke pikirannya. Dia melihat bulu di tanah. Membungkus dirinya dengan bulu itu, dia tertidur.
Ketika dia bangun, hari sudah siang hari, dan dia menjadi hangat. Dia melihat, dan menyadari bahwa bulu itu adalah seekor naga, matanya bagaikan cawan berdarah. Ketakutan yang amat sangat menerpanya.
“Ya Allah,” dia berseru, “Engkau mengirimkan benda ini kepadaku dalam bentuk kelembutan. Sekarang aku melihatnya dalam bentuk yang mengerikan. Aku tidak mampu menanggungnya.”
Naga itu segera bergerak menjauh, dua atau tiga kali mengusap wajahnya di atas tanah di hadapannya, dan menghilang
Ibrahim pergi dari tempat itu, dan melanjutkan perjalanan ke Nishapur (sekarang di Iran). Di sana dia mencari tempat yang terpencil, sebuah tempat yang memungkinkan bagi dirinya untuk menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah.
Akhirnya dia menemukan gua (yang kelak menjadi) terkenal (karena Ibrahim pernah tinggal di sana) itu, tempat dia tinggal di sana selama sembilan tahun, setiap tiga tahun di masing-masing ceruk (artinya di sana ada tiga ceruk).
Siapa yang tahu apa yang dikerjakannya di sana sepanjang siang dan malam? Karena diperlukan seseorang yang kuat dengan kegigihan yang luar biasa untuk dapat berada di sana sendirian pada malam hari.
Setiap Kamis dia akan mendaki ke atas gua dan mengumpulkan seikat kayu bakar. Keesokan paginya dia akan berangkat ke Nishapur, dan di sana dia menjualnya.
Setelah melaksanakan salat Jumat, dia akan membeli roti dengan uang yang diperolehnya, memberikan setengahnya kepada pengemis dan menggunakan setengahnya lagi untuk berbuka puasa. Jadi dia melakukan hal ini setiap minggu.
Suatu malam pada musim dingin dia berada di ceruk gua itu. Cuacanya sangat dingin, dan dia harus memecahkan es (agar menjadi air) untuk mencuci. Sepanjang malam dia menggigil, salat sampai subuh. Menjelang fajar, dia terancam mati karena kedinginan.
Secara tidak sengaja, pikiran tentang api datang ke pikirannya. Dia melihat bulu di tanah. Membungkus dirinya dengan bulu itu, dia tertidur.
Ketika dia bangun, hari sudah siang hari, dan dia menjadi hangat. Dia melihat, dan menyadari bahwa bulu itu adalah seekor naga, matanya bagaikan cawan berdarah. Ketakutan yang amat sangat menerpanya.
“Ya Allah,” dia berseru, “Engkau mengirimkan benda ini kepadaku dalam bentuk kelembutan. Sekarang aku melihatnya dalam bentuk yang mengerikan. Aku tidak mampu menanggungnya.”
Naga itu segera bergerak menjauh, dua atau tiga kali mengusap wajahnya di atas tanah di hadapannya, dan menghilang
(mhy)