Kisah Shahabiyah Nabi: Laila Al-Ghifariyah Perawat Cilik di Medan Perang
Minggu, 17 Oktober 2021 - 22:09 WIB
Kisah Shahabiyah Nabi Laila Al-Ghifariyah perlu diketahui umat muslim dalam kiprahnya di medan perang. Umat muslim biasanya akrab dengan nama-nama Shahabiyah Nabi (sahabat Nabi dari kalangan perempuan) seperti Asma binti Abu Bakar As-Shiddq, Asma Binti Umais, Sumayyah binti Khayyath dan sebagainya.
Ternyata ada banyak Shahabiyah Nabi yang namanya asing namun kiprahnya dicatat dalam sejarah Islam. Salah satunya Laila Al-Ghifariyah radhiyallahu 'anha (wafat 40 H). Beliau adalah sosok perempuancilik yang ikut andil di medan perang. Beliau bertugas mengobati para sahabat yang terluka di medan perang.
Selain Laila Al-Ghifariyah, ada juga beberapa Shahabiyah Nabi yang bertugas membantu Sahabat yang terluka di antaranya Ummu Sinan al-Aslamiyah, Ummu Ziyad al-Asyja'iyah, Umayah binti Qais al-Gifariyah, Ummu Dlahhak binti Mas'ud, Ummu Kabsyah al-Qudha'iyah.
Sosok Laila Al-Ghifariyah tergolong istimewa karena Sahabat wanita terpandang ini sering mengikuti Rasulullah ke medan perang untuk mengobati pejuang yang sakit dan terluka. Pada waktu Perang Jamal, Laila ikut berangkat ke Basrah berperang di-barisan Sayyidina Ali bin Abu Thalib.
Imam at-Thabarani meriwayatkan dari Laila Al-Ghifariyah dia berkata: "Aku pernah keluar berjihad bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan aku mengobati orang-orang yang luka. (Maima'uz-Zawa'id)
Seuntai Kalung dari Rasulullah
Dalam Sirah Ibn Hisyam tentang peristiwa perang Khaibar dikisahkan, saat melewati kabilah Ghifar menuju Khaibar di utara Madinah, Nabi dan pasukan disambut kaum wanita dari anak-anak hingga orang tua. Mereka berdesak-desakan mengikuti prajurit untuk menawarkan bantuan.
Di antara kaum wanita itu terdapat seorang anak yang baru menginjak remaja. Namanya Laila, anak yang cerdas dan penuh semangat. Nabi merasa kasihan karena Laila masih kecil dan berjalan kaki. Kemudian Beliau menaikkannya ke unta beliau.
Nabi berhenti dan Laila ikut turun. Rupanya ada darah di pelana yang diduduki sahabiyah yang masih remaja itu. Laila sangat malu. Ia kembali menaiki unta itu untuk menutupi darah haidnya yang pertama itu agar tidak telihat oleh Baginda Nabi.
"Ada apa denganmu? kamu haid?" tanya Nabi lembut.
Laila tertunduk dan salah tingkah. Sambil malu-malu ia menjawab: "Iya Rasulullah." Baginda Nabi tidak risih dan tidak gusar.
"Bersihkan dirimu, ambil air satu bejana beri garam, lalu bersihkan pelana yang terkena darah. Setelah itu kembalilah ke tempat dudukmu semula," kata Nabi.
Nabi tetap bersikap tenang, membiarkan Laila bersama beliau untuk membuktikan bahwa ia istimewa diantara kaum wanita. Nabi berhasil menundukkan Khaibar dan pulang dengan membawa sejumlah harta ghanimah, dan memberikan sebagiannya kepada kaum wanita Ghifar.
Laila mendapat seuntai kalung pemberian Nabi. Beliau sendiri yang mengalungkan ke lehernya, bukti bahwa beliau mencintai, menghormati dan memberi semangat gadis itu.
Bagi Laila, bukan kalung indah itu yang membuatnya bahagia, melainkan sikap beliau yang luar biasa kepadanya. Laila tak pernah melepaskan kalung agar tidak hilang. Dan setiap bersuci dari haid, ia tidak pernah lupa mencampur air bersuci itu dengan garam.
Laila pun tumbuh dewasa. Ia mengabdi kepada Islam dengan kemampuan yang bisa ia berikan. Ketika dalam keadaan sekarat, ia berwasiat agar setelah meningal ia dimandikan dengan air campuran garam, dan kalung pemberian Nabi itu dikuburkan bersamanya.
Ternyata ada banyak Shahabiyah Nabi yang namanya asing namun kiprahnya dicatat dalam sejarah Islam. Salah satunya Laila Al-Ghifariyah radhiyallahu 'anha (wafat 40 H). Beliau adalah sosok perempuancilik yang ikut andil di medan perang. Beliau bertugas mengobati para sahabat yang terluka di medan perang.
Selain Laila Al-Ghifariyah, ada juga beberapa Shahabiyah Nabi yang bertugas membantu Sahabat yang terluka di antaranya Ummu Sinan al-Aslamiyah, Ummu Ziyad al-Asyja'iyah, Umayah binti Qais al-Gifariyah, Ummu Dlahhak binti Mas'ud, Ummu Kabsyah al-Qudha'iyah.
Sosok Laila Al-Ghifariyah tergolong istimewa karena Sahabat wanita terpandang ini sering mengikuti Rasulullah ke medan perang untuk mengobati pejuang yang sakit dan terluka. Pada waktu Perang Jamal, Laila ikut berangkat ke Basrah berperang di-barisan Sayyidina Ali bin Abu Thalib.
Imam at-Thabarani meriwayatkan dari Laila Al-Ghifariyah dia berkata: "Aku pernah keluar berjihad bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan aku mengobati orang-orang yang luka. (Maima'uz-Zawa'id)
Seuntai Kalung dari Rasulullah
Dalam Sirah Ibn Hisyam tentang peristiwa perang Khaibar dikisahkan, saat melewati kabilah Ghifar menuju Khaibar di utara Madinah, Nabi dan pasukan disambut kaum wanita dari anak-anak hingga orang tua. Mereka berdesak-desakan mengikuti prajurit untuk menawarkan bantuan.
Di antara kaum wanita itu terdapat seorang anak yang baru menginjak remaja. Namanya Laila, anak yang cerdas dan penuh semangat. Nabi merasa kasihan karena Laila masih kecil dan berjalan kaki. Kemudian Beliau menaikkannya ke unta beliau.
Nabi berhenti dan Laila ikut turun. Rupanya ada darah di pelana yang diduduki sahabiyah yang masih remaja itu. Laila sangat malu. Ia kembali menaiki unta itu untuk menutupi darah haidnya yang pertama itu agar tidak telihat oleh Baginda Nabi.
"Ada apa denganmu? kamu haid?" tanya Nabi lembut.
Laila tertunduk dan salah tingkah. Sambil malu-malu ia menjawab: "Iya Rasulullah." Baginda Nabi tidak risih dan tidak gusar.
"Bersihkan dirimu, ambil air satu bejana beri garam, lalu bersihkan pelana yang terkena darah. Setelah itu kembalilah ke tempat dudukmu semula," kata Nabi.
Nabi tetap bersikap tenang, membiarkan Laila bersama beliau untuk membuktikan bahwa ia istimewa diantara kaum wanita. Nabi berhasil menundukkan Khaibar dan pulang dengan membawa sejumlah harta ghanimah, dan memberikan sebagiannya kepada kaum wanita Ghifar.
Laila mendapat seuntai kalung pemberian Nabi. Beliau sendiri yang mengalungkan ke lehernya, bukti bahwa beliau mencintai, menghormati dan memberi semangat gadis itu.
Bagi Laila, bukan kalung indah itu yang membuatnya bahagia, melainkan sikap beliau yang luar biasa kepadanya. Laila tak pernah melepaskan kalung agar tidak hilang. Dan setiap bersuci dari haid, ia tidak pernah lupa mencampur air bersuci itu dengan garam.
Laila pun tumbuh dewasa. Ia mengabdi kepada Islam dengan kemampuan yang bisa ia berikan. Ketika dalam keadaan sekarat, ia berwasiat agar setelah meningal ia dimandikan dengan air campuran garam, dan kalung pemberian Nabi itu dikuburkan bersamanya.
(rhs)