Shajarat al-Durr, Perempuan Pendiri Dinasti Mamluk yang Berakhir Tragis
Selasa, 26 Oktober 2021 - 05:15 WIB
Akhirnya ia memutuskan untuk sementara waktu menyembunyikan kabar duka ini, sambil ia memanggil Turan Shah, putra tertua Al Saleh dari istri pertamanya, untuk datang ke Kairo dan mengambil alih kepemimpinan ayahnya. Tapi rentang waktu antara kematian Al Saleh dan kedatangan Turan Shah bukan sebentar. Di sinilah kemudian kepiawaian Shajarat al-Durr terlihat nyata.
Ia memanggil semua orang kepercayaan dan membuat satu skenario konspirasi yang rumit untuk mengamankan rahasia wafatnya Sultan.
Selama masa itu, otoritas negara praktis sepenuhnya berada di bawah kendali Shajarat al-Durr. Hebatnya, skenario ini berjalan mulus, negara baik-baik saja, meskipun ancaman dari luar terus mendesak masuk ke Istana. Dan setelah lebih dari tiga bulan, akhirnya Turan Shah bersama pasukannya tiba dari Turki.
Perintah pertama Shajarat al-Durr kepada putra tirinya ini adalah mengambil alih komando pasukan dan mengalahkan Louis IX. Dengan racikan strategi yang memang sudah matang dipersiapkan oleh Shajarat al-Durr, Turan Shah akhirnya berhasil mengalahkan Pasukan Salib, dan menangkap Louis IX.
Setelah berhasil mengalahkan Pasukan Salib, tahta Kairo kemudian diserahkan kepada Turan Shah yang sekaligus menjadi Sultan Dinasti Ayyubiyah.
Namun situasi mendadak berubah ketika negara diperintah oleh Turan Shah. Ia tidak memiliki kecakapan yang mumpuni, dan tidak disukai oleh rakyatnya.
Situasi politik dalam negeri menjadi semakin kacau ketika Turan Shah lebih mengutamakan pesukan yang dibawanya dari Syiria ketimbang orang-orang Mamluk yang sudah bertahun-tahun menjadi elit di Ayyubiyah.
Gesekan ini berujung pada terbunuhnya Turan Shah pada 2 Mei 1250. Orang-orang Mamluk kemudian menobatkan Shajarat al-Durr sebagai Sultana.
Dengan tewasnya Turan Shah, maka berakhirlah masa Dinasti Ayyubiyah, dan bersamaan dengan itu, diangkatnya Shajarat al-Durr sebagai Sultana, telah menandai lahirnya dinasti Mamluk yang akan memerintah Mesir hingga awal abad ke 19 Masehi.
Tantangan Perempuan
Tak lama setelah Shajarat al-Durr diangkat menjadi Sultan Mesir, tantangan pertamapun datang, yaitu budaya patriarki itu sendiri. Tidak sedikit yang mengecam keputusan yang menempatkan Shajarat al-Durr sebagai “Khilafah” dan memerintah satu areal kekuasaan yang cukup luas pada masanya. Kecaman ini tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri.
Salah satu kritik atau kecaman serius datang dari Abbasiyah . Khalifah al-Musta’sim menyatakan: “Kami telah mendengar bahwa Anda diperintah oleh seorang wanita sekarang. Jika Anda kehabisan orang di Mesir, beri tahu kami supaya kami dapat mengirimi Anda seorang pria untuk memerintah Anda.”
Akhirnya, untuk meredam situasi yang kurang kondusif ini, Shajarat al-Durr kemudian menikahi seorang prajurit rendahan bernama Izz al-Din Aybek dari Mamluk, dan memberikan mahkota kepadanya.
Sejarah mencatat, Shajarat al-Durr praktis hanya memerintah selama 80 hari sebagai Sultan Mesir secara de facto maupun de jure, sebelum akhirnya mahkota berpindah ke Izz al-Din Aybek.
Meski begitu, siapapun tau bahwa Aybek hanya dalih. Secara de facto, kekuasaan di Mesir tetap dipegang sepenuhnya oleh Shajarat al-Durr. Secara de facto, pemerintahan Shajarat al-Durr di Mesir berlangsung selama 7 tahun.
Para sejarawan mengatakan bahwa ia memiliki tipe kepemimpinan yang sangat kuat, serta berhasil menegakkan keadilan dan menyejahterakan masyarakatnya. Sehingga rezim pertama Mamluk – yang sebenarnya orang asing di Mesir – mendapat legitimasti dan dukungan yang luas dari masyarakat setempat.
Shajarat al-Durr meninggal dunia pada tahun 1257 Masehi. Hanya saja, kisah akhir kehidupan Shajarat al-Durr sangat tragis. Iapun mungkin tidak pernah menyadari bahwa keputusannya 7 tahun yang lalu, ketika ia menikahi Aybek akan berbuah pahit.
Akhir yang Tragis
Ia memanggil semua orang kepercayaan dan membuat satu skenario konspirasi yang rumit untuk mengamankan rahasia wafatnya Sultan.
Selama masa itu, otoritas negara praktis sepenuhnya berada di bawah kendali Shajarat al-Durr. Hebatnya, skenario ini berjalan mulus, negara baik-baik saja, meskipun ancaman dari luar terus mendesak masuk ke Istana. Dan setelah lebih dari tiga bulan, akhirnya Turan Shah bersama pasukannya tiba dari Turki.
Perintah pertama Shajarat al-Durr kepada putra tirinya ini adalah mengambil alih komando pasukan dan mengalahkan Louis IX. Dengan racikan strategi yang memang sudah matang dipersiapkan oleh Shajarat al-Durr, Turan Shah akhirnya berhasil mengalahkan Pasukan Salib, dan menangkap Louis IX.
Setelah berhasil mengalahkan Pasukan Salib, tahta Kairo kemudian diserahkan kepada Turan Shah yang sekaligus menjadi Sultan Dinasti Ayyubiyah.
Namun situasi mendadak berubah ketika negara diperintah oleh Turan Shah. Ia tidak memiliki kecakapan yang mumpuni, dan tidak disukai oleh rakyatnya.
Situasi politik dalam negeri menjadi semakin kacau ketika Turan Shah lebih mengutamakan pesukan yang dibawanya dari Syiria ketimbang orang-orang Mamluk yang sudah bertahun-tahun menjadi elit di Ayyubiyah.
Gesekan ini berujung pada terbunuhnya Turan Shah pada 2 Mei 1250. Orang-orang Mamluk kemudian menobatkan Shajarat al-Durr sebagai Sultana.
Dengan tewasnya Turan Shah, maka berakhirlah masa Dinasti Ayyubiyah, dan bersamaan dengan itu, diangkatnya Shajarat al-Durr sebagai Sultana, telah menandai lahirnya dinasti Mamluk yang akan memerintah Mesir hingga awal abad ke 19 Masehi.
Tantangan Perempuan
Tak lama setelah Shajarat al-Durr diangkat menjadi Sultan Mesir, tantangan pertamapun datang, yaitu budaya patriarki itu sendiri. Tidak sedikit yang mengecam keputusan yang menempatkan Shajarat al-Durr sebagai “Khilafah” dan memerintah satu areal kekuasaan yang cukup luas pada masanya. Kecaman ini tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri.
Salah satu kritik atau kecaman serius datang dari Abbasiyah . Khalifah al-Musta’sim menyatakan: “Kami telah mendengar bahwa Anda diperintah oleh seorang wanita sekarang. Jika Anda kehabisan orang di Mesir, beri tahu kami supaya kami dapat mengirimi Anda seorang pria untuk memerintah Anda.”
Akhirnya, untuk meredam situasi yang kurang kondusif ini, Shajarat al-Durr kemudian menikahi seorang prajurit rendahan bernama Izz al-Din Aybek dari Mamluk, dan memberikan mahkota kepadanya.
Sejarah mencatat, Shajarat al-Durr praktis hanya memerintah selama 80 hari sebagai Sultan Mesir secara de facto maupun de jure, sebelum akhirnya mahkota berpindah ke Izz al-Din Aybek.
Meski begitu, siapapun tau bahwa Aybek hanya dalih. Secara de facto, kekuasaan di Mesir tetap dipegang sepenuhnya oleh Shajarat al-Durr. Secara de facto, pemerintahan Shajarat al-Durr di Mesir berlangsung selama 7 tahun.
Para sejarawan mengatakan bahwa ia memiliki tipe kepemimpinan yang sangat kuat, serta berhasil menegakkan keadilan dan menyejahterakan masyarakatnya. Sehingga rezim pertama Mamluk – yang sebenarnya orang asing di Mesir – mendapat legitimasti dan dukungan yang luas dari masyarakat setempat.
Shajarat al-Durr meninggal dunia pada tahun 1257 Masehi. Hanya saja, kisah akhir kehidupan Shajarat al-Durr sangat tragis. Iapun mungkin tidak pernah menyadari bahwa keputusannya 7 tahun yang lalu, ketika ia menikahi Aybek akan berbuah pahit.
Akhir yang Tragis