Kisah Inspiratif: Abaikan Pembesar, Sang Qadhi Pilih Menantu yang Jujur
Senin, 01 November 2021 - 21:12 WIB
Syekh Nuh berkata: "Sesungguhnya aku memiliki seorang putri yang sangat cantik dan sudah pernah dikhitbah (dilamar) oleh banyak para pembesar dan orang-orang penting, tetapi aku masih belum tau. Siapa di antara mereka yang harus aku jadikan menantu, apa saranmu atas masalahku ini?"
Mubarok berkata: "Orang-orang kafir zaman jahiliyyah, mereka lebih mengutamakan keturunan, nasab, kemasyhuran keluarga, juga kedudukan."
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih mengutamakan keelokan dan kecantikan. Pada masa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Para sahabat lebih mengutamakan kebaikan agama juga ketakwaan."
"Sedangkan di zaman kita sekarang, dalam masalah mencari mantu, para orang tua lebih mengutamakan banyaknya harta benda. Oleh karena itu wahai Syekh, Anda bebas menentukan pilihan anda dari empat hal ini."
Mendapat jawaban demikian, Syekh Nuh berkata: "Wahai pemuda, aku lebih memilih calon yang kokoh agamanya, bertakwa dan amanah. Oleh karena itu, aku ingin menjadikan engkau sebagai menantuku. Karena aku sungguh telah menemukan kebaikan, agama yang kokoh, juga amanah pada dirimu. Juga engkau adalah pemuda yang memiliki iffah (kemuliaan diri) juga penjagaan diri yang bagus."
Mendegar ucapan tuannya, Mubarok berkata: "Wahai tuan, saya adalah seorang budak yang berasal dari India dan berkulit hitam yang telah engkau beli dengan hartamu, kenapa engkau malah ingin menikahkan aku dengan anakmu? Mengapa engkau malah meilihku dan ridlo kepadaku?"
"Berdirilah bersamaku menuju rumahku untuk merembug masalah ini," kata Syekh Nuh bin Maryam.
Setelah Syekh Nuh bersama Mubarok sampai di rumah, beliau berkata kepada istrinya: "Ketahuilah, pemuda India ini adalah seorang pemuda yang baik agamanya juga bertaqwa, aku suka akan kesalehannya dan aku ingin menikahkannya dengan anak kita, apa pendapatmu mengenai hal ini?"
"Semua keputusan berada di tanganmu wahai suamiku, tetapi berilah aku waktu sebentar untuk memberitahu anak kita, aku ingin mendengar jawabannya," kata sang istri.
Kemudian istri Syekh Nuh bin Maryam berkata kepada putrinya tentang keinginan ayahnya. Mendengar perkataan ibunya, gadis tersebut menjawab: "Jika hal itu sudah menjadi pilihan ayah dan ibu, maka aku akan melaksanakannya. Aku tidak akan pernah menentang keputusan ayah dan ibu, aku akan selalu berbuat baik kepada ayah dan ibu."
Mendapat persetujuan dari anak gadisnya yang sangat salihah ini, Syekh Nuh bin Maryam segera menikahkan Mubarok dengan anak gadisnya tersebut.
Setelah pernikahan, Syekh Nuh bin Maryam memberi harta yang sangat banyak kepada kedua Mubarok dan putrinya. Tidak lama kemudian, lahirlah dari kedua pasangan yang saleh dan salihah, seorang anak laki-laki tampan yang kemudian dinamai Abdullah.
Dialah anak yang kelak sangat terkenal di kalangan Ulama Islam dengan nama Abdullah Bin Mubarok, seorang ulama besar yang memiliki banyak ilmu, zuhud, dan banyak meriwayatkan Hadits-hadits Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Abdullah Bin Mubarak (Ibnul Mubarak) ulama besar kelahiran Tahun 118 H di Marwa Khurasan dan wafat Tahun 181 Hijriyah. Sampai saat ini, nama besar Abdullah bin Mubarok masih dikenang dalam dunia Islam.
Referensi:
Kitab at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk karya al-Imam al-Ghazali
Mubarok berkata: "Orang-orang kafir zaman jahiliyyah, mereka lebih mengutamakan keturunan, nasab, kemasyhuran keluarga, juga kedudukan."
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih mengutamakan keelokan dan kecantikan. Pada masa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Para sahabat lebih mengutamakan kebaikan agama juga ketakwaan."
"Sedangkan di zaman kita sekarang, dalam masalah mencari mantu, para orang tua lebih mengutamakan banyaknya harta benda. Oleh karena itu wahai Syekh, Anda bebas menentukan pilihan anda dari empat hal ini."
Mendapat jawaban demikian, Syekh Nuh berkata: "Wahai pemuda, aku lebih memilih calon yang kokoh agamanya, bertakwa dan amanah. Oleh karena itu, aku ingin menjadikan engkau sebagai menantuku. Karena aku sungguh telah menemukan kebaikan, agama yang kokoh, juga amanah pada dirimu. Juga engkau adalah pemuda yang memiliki iffah (kemuliaan diri) juga penjagaan diri yang bagus."
Mendegar ucapan tuannya, Mubarok berkata: "Wahai tuan, saya adalah seorang budak yang berasal dari India dan berkulit hitam yang telah engkau beli dengan hartamu, kenapa engkau malah ingin menikahkan aku dengan anakmu? Mengapa engkau malah meilihku dan ridlo kepadaku?"
"Berdirilah bersamaku menuju rumahku untuk merembug masalah ini," kata Syekh Nuh bin Maryam.
Setelah Syekh Nuh bersama Mubarok sampai di rumah, beliau berkata kepada istrinya: "Ketahuilah, pemuda India ini adalah seorang pemuda yang baik agamanya juga bertaqwa, aku suka akan kesalehannya dan aku ingin menikahkannya dengan anak kita, apa pendapatmu mengenai hal ini?"
"Semua keputusan berada di tanganmu wahai suamiku, tetapi berilah aku waktu sebentar untuk memberitahu anak kita, aku ingin mendengar jawabannya," kata sang istri.
Kemudian istri Syekh Nuh bin Maryam berkata kepada putrinya tentang keinginan ayahnya. Mendengar perkataan ibunya, gadis tersebut menjawab: "Jika hal itu sudah menjadi pilihan ayah dan ibu, maka aku akan melaksanakannya. Aku tidak akan pernah menentang keputusan ayah dan ibu, aku akan selalu berbuat baik kepada ayah dan ibu."
Mendapat persetujuan dari anak gadisnya yang sangat salihah ini, Syekh Nuh bin Maryam segera menikahkan Mubarok dengan anak gadisnya tersebut.
Setelah pernikahan, Syekh Nuh bin Maryam memberi harta yang sangat banyak kepada kedua Mubarok dan putrinya. Tidak lama kemudian, lahirlah dari kedua pasangan yang saleh dan salihah, seorang anak laki-laki tampan yang kemudian dinamai Abdullah.
Dialah anak yang kelak sangat terkenal di kalangan Ulama Islam dengan nama Abdullah Bin Mubarok, seorang ulama besar yang memiliki banyak ilmu, zuhud, dan banyak meriwayatkan Hadits-hadits Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Abdullah Bin Mubarak (Ibnul Mubarak) ulama besar kelahiran Tahun 118 H di Marwa Khurasan dan wafat Tahun 181 Hijriyah. Sampai saat ini, nama besar Abdullah bin Mubarok masih dikenang dalam dunia Islam.
Referensi:
Kitab at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk karya al-Imam al-Ghazali
(rhs)