Kisah Sufi: Si Lumpuh dan Si Buta
Rabu, 17 November 2021 - 13:57 WIB
Idries Shah dalam bukunya berjudulTales of The Dervishes berkisah, pada suatu hari, ada seorang lumpuh pergi ke sebuah Serai ('Losmen'), dan duduk di sebelah seseorang yang sudah lebih dulu di sana. "Saya tidak akan pernah bisa datang ke pesta Sultan," keluhnya. "Karena kakiku yang lumpuh ini, aku tak bisa berjalan cepat."
Orang di sampingnya itu mengangkat kepalanya. "Saya pun telah diundang," katanya. "Tapi keadaanku lebih buruk daripada Saudara. Saya buta, dan tak bisa melihat jalan, meskipun saya juga diundang."
Orang ketiga, yang mendengar percakapan mereka itu, berkata, "Tetapi, kalau saja Tuan menyadarinya, kalian berdua memiliki cara untuk mencapai tujuan. Yang buta bisa berjalan, membopong yang lumpuh. Kalian bisa mempergunakan kaki Si Buta, dan mata Si Lumpuh untuk menunjukkan jalan."
Demikianlah keduanya bisa mencapai ujung jalan, di mana pesta sudah menanti. Tetapi dalam perjalanannya, mereka singgah untuk mengaso di sebuah losmen lain. Mereka menjelaskan keadaan mereka kepada dua orang lain yang duduk sedih di sana.
Kedua orang lain itu, yang satunya tuli, dan yang lain bisu. Keduanya juga diundang ke pesta. Yang bisu mendengar, tetapi tak bisa menjelaskannya kepada temannya yang tuli. Yang tuli bisa bicara, tetapi tak ada yang bisa dikatakannya.
Tak ada dari kedua orang itu yang bisa datang ke pesta; sebab kali ini tak ada orang ketiga yang bisa menjelaskan kepada mereka bahwa ada hambatan, lebih-lebih bagaimana mereka bisa mengatasi hambatan itu.
***
Idries Shah melanjutkan, diriwayatkan bahwa Abdul Qadir yang agung meninggalkan sebuah jubah Sufi yang bertambal sulam untuk diberikan kepada seorang penerus pemakai mantel itu, yang baru akan lahir hampir enam ratus tahun setelah kematian Sufi Agung itu.
Pada tahun 1563, Sayid Sikandar Shah, Qadiri, setelah mendapatkan kepercayaan ini, meneruskan dan mewariskan mantel itu kepada Syeh Ahmad Faruqi dari Sirhind.
Guru Naqshbandi ini telah dinobatkan sebagai anggota enam belas Kaum Darwis oleh ayahnya, yang telah mencari dan menyusun kembali adat dan pengetahuan Sufisme yang sebelumnya terserak-serak, dalam pengelanaannya yang jauh dan berbahaya.
Diyakini bahwa Sirhind merupakan tempat yang ditentukan bagi kemunculan Guru Agung, dan dari generasi ke generasi orang-orang suci telah menantikan perwujudannya.
Sebagai akibat kemunculan Faruqi dan penerimaannya oleh semua kepala kaum pada masanya, Kaum Naqshbandi kini meresmikan pengikut-pengikutnya menjadi empat aliran utama dalam Sufisme: Chishti, Qadiri, Suhrawardi, dan Naqshbandi.
"Si Lumpuh dan Si Buta" dianggap berasal dari Syaikh Ahmad Faruqi, yang meninggal pada tahun 1615. Kisah ini diandaikan dibaca hanya setelah menerima perintah untuk membacanya; atau oleh mereka yang telah mempelajari karya Hakim Sanai, " Orang-orang Buta dan Gajah ".
Kisah ini juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ahmad Bahar dalam bukunya yang berjudul "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi". Juga Sapardi Djoko Damono dalam bukunya berjudul "Kisah-Kisah Sufi Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau".
Orang di sampingnya itu mengangkat kepalanya. "Saya pun telah diundang," katanya. "Tapi keadaanku lebih buruk daripada Saudara. Saya buta, dan tak bisa melihat jalan, meskipun saya juga diundang."
Orang ketiga, yang mendengar percakapan mereka itu, berkata, "Tetapi, kalau saja Tuan menyadarinya, kalian berdua memiliki cara untuk mencapai tujuan. Yang buta bisa berjalan, membopong yang lumpuh. Kalian bisa mempergunakan kaki Si Buta, dan mata Si Lumpuh untuk menunjukkan jalan."
Demikianlah keduanya bisa mencapai ujung jalan, di mana pesta sudah menanti. Tetapi dalam perjalanannya, mereka singgah untuk mengaso di sebuah losmen lain. Mereka menjelaskan keadaan mereka kepada dua orang lain yang duduk sedih di sana.
Kedua orang lain itu, yang satunya tuli, dan yang lain bisu. Keduanya juga diundang ke pesta. Yang bisu mendengar, tetapi tak bisa menjelaskannya kepada temannya yang tuli. Yang tuli bisa bicara, tetapi tak ada yang bisa dikatakannya.
Tak ada dari kedua orang itu yang bisa datang ke pesta; sebab kali ini tak ada orang ketiga yang bisa menjelaskan kepada mereka bahwa ada hambatan, lebih-lebih bagaimana mereka bisa mengatasi hambatan itu.
***
Idries Shah melanjutkan, diriwayatkan bahwa Abdul Qadir yang agung meninggalkan sebuah jubah Sufi yang bertambal sulam untuk diberikan kepada seorang penerus pemakai mantel itu, yang baru akan lahir hampir enam ratus tahun setelah kematian Sufi Agung itu.
Pada tahun 1563, Sayid Sikandar Shah, Qadiri, setelah mendapatkan kepercayaan ini, meneruskan dan mewariskan mantel itu kepada Syeh Ahmad Faruqi dari Sirhind.
Guru Naqshbandi ini telah dinobatkan sebagai anggota enam belas Kaum Darwis oleh ayahnya, yang telah mencari dan menyusun kembali adat dan pengetahuan Sufisme yang sebelumnya terserak-serak, dalam pengelanaannya yang jauh dan berbahaya.
Diyakini bahwa Sirhind merupakan tempat yang ditentukan bagi kemunculan Guru Agung, dan dari generasi ke generasi orang-orang suci telah menantikan perwujudannya.
Sebagai akibat kemunculan Faruqi dan penerimaannya oleh semua kepala kaum pada masanya, Kaum Naqshbandi kini meresmikan pengikut-pengikutnya menjadi empat aliran utama dalam Sufisme: Chishti, Qadiri, Suhrawardi, dan Naqshbandi.
"Si Lumpuh dan Si Buta" dianggap berasal dari Syaikh Ahmad Faruqi, yang meninggal pada tahun 1615. Kisah ini diandaikan dibaca hanya setelah menerima perintah untuk membacanya; atau oleh mereka yang telah mempelajari karya Hakim Sanai, " Orang-orang Buta dan Gajah ".
Kisah ini juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ahmad Bahar dalam bukunya yang berjudul "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi". Juga Sapardi Djoko Damono dalam bukunya berjudul "Kisah-Kisah Sufi Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau".
(mhy)
Lihat Juga :