Surat Yasin Ayat 11-12: Jangan Mudah Mengatakan Kafir meski kepada Orang Kafir
Kamis, 18 November 2021 - 15:14 WIB
Surat Yasin ayat 11 -12 secara umum menerangkan tentang seruan Allah kepada Nabi Muhammad bahwa peringatan yang ia sampaikan kepada orang kafir hanya diterima oleh mereka yang mau mengikuti, sekaligus menyampaikan bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah SWT.
Di sisi lain, ayat ini sekaligus mengingatkan kita agar tidak mudah mengatakan kafir kepada seseorang, sekalipun dia adalah “kafir”. Sebab atas kehendak-Nya, Ia bisa menghidupkan hati untuk mendapat hidayah kebenaran.
Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh). (QS Yasin : 11-12)
Ali As-Shabuni menafsirkan ayat 11 sebagai informasi kepada Nabi Muhammad bahwa yang akan mengikuti seruannya hanyalah mereka yang beriman kepada Al-Qur’an dan mengamalkan isinya. Selain itu mereka juga takut kepada Allah meski tidak bisa melihat-Nya.
Menarik untuk disimak penjelasan Abu Hayyan tentang kata wakhasyiya ar-rahman. Menurutnya, dua kata ini saling terkait, kata ar-rahman menunjukkan sifat rahmah (pengasih). Sifat yang cenderung kepada pengharapan, dimana rasa berharap itu selalu diiringi kesadaran akan adanya sifat kasih-sayang, yang akhirnya menghadirkan perasaan takut (khasyyah) kepada-Nya, yakni takut kehilangan nikmat-nimat yang telah Allah SWT limpahkan.
Selain itu, kata al-Ghaib juga dimaknai Qurthubi dengan khasyyah, yakni rasa takut pada sesuatu yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh pandangan manusia, seperti azab api neraka.
Jika mereka telah memenuhi kriteria-kriteria di atas, “fabasysyirhum bi maghfiratin wa ajrin karim”, maka mereka berhak mendapatkan kabar gembira, yakni ampunan dan keridhaan dari Allah swt, serta mendapat balasan berupa surga. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain:
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar. ( QS al-Mulk :12 )
Wahbah Zuhaili menerangkan tentang asbabun nuzul ayat 12, ia mengutip hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq dari Abi Sa’id yang berkata bahwa suatu ketika Bani Salimah datang mengadu kepada Rasulullah SAW terkait jauhnya jarak tempat tinggal mereka dengan masjid, kemudian turunlah ayat ini. Nabi pun berkata kepada mereka “tetaplah tinggal di tempat kalian, karena akan dicatat bekas-bekas (yang kalian tinggalkan)”.
Versi yang hampir sama juga dijelaskan oleh Tirmidzi, Hakim, dan Thabrani bahwa Nabi berkata, “Sesungguhnya bekas yang kalian tinggalkan akan dicatat, maka janganlah pindah”. Pada riwayat ini dijelaskan tentang keinginan Bani Salimah untuk pindah di samping masjid Nabi, namun Nabi melarangnya.
Ibnu Katsir memahami kalimat inna nahnu nuhyil mauta pada ayat 12 dengan dua makna, yakni; 1) dibangkitkan dari kubur ketika hari kiamat sudah tiba, 2) isyarat bahwa Allah mampu menghidupkan hati seseorang yang telah mati ataupun sesat untuk menuju hidayah-Nya, sekalipun orang tersebut kafir.
Allah SWT berfirman:
Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya ( QS Al-Hadid: 17 )
Ayat ini sekaligus mengingatkan kita agar tidak mudah mengatakan kafir kepada seseorang, sekalipun dia adalah “kafir”. Sebab atas kehendak-Nya, Ia bisa menghidupkan hati untuk mendapat hidayah kebenaran. Dan sebaliknya, atas kehendak-Nya pula Ia bisa mematikan hati dan menjauhkan-Nya dari kebenaran.
Setiap Langkah Dicatat
Adapun kata atsar pada ayat ini secara literal dimaknai dengan bekas. Lebih rinci at-Thabari menjelaskan yang dimaksud dengan atsar (bekas) adalah setiap langkahmu di dunia yang baik ataupun buruk itu akan dicatat.
Menukil hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jarir bin Abdillah al-Bajali, bahwasanya Nabi bersabda:
“Barangsiapa yang menunjukkan suatu perkara yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat, yakni pahala dari dirinya sendiri dan dari orang lain yang mengikutinya. Sebaliknya, jika menujukkan kepada perkara buruk, maka ia juga akan mendapatkan dosa dua kali lipat, yaitu dosa disebabkan dirinya sendiri, dan dari orang lain yang mengikuti dirinya”.
Kemudian amal-amal yang dilakukan selama di dunia itu dicatat dalam sebuah buku khusus yang disebut Mujahid dan Qatadah dengan Lauhul Mahfuzh .
Mereka juga menyebut buku tersebut dengan ummul kitab yakni buku induk, menurut Sayyid Qutb dalam buku tersebut tidak ada yang luput, lupa, ataupun keliru untuk dicatat, sesuai dengan apa yang dilakukan manusia ketika di dunia.
Ibnu Katsir mengutip hadis lain yang berada di dalam kitab Sahih Muslim melalui Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
Apabila anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariyah (yang terus mengalir pahalanya) sesudah ia tiada.
Di sisi lain, ayat ini sekaligus mengingatkan kita agar tidak mudah mengatakan kafir kepada seseorang, sekalipun dia adalah “kafir”. Sebab atas kehendak-Nya, Ia bisa menghidupkan hati untuk mendapat hidayah kebenaran.
Allah SWT berfirman:
اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ
Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh). (QS Yasin : 11-12)
Ali As-Shabuni menafsirkan ayat 11 sebagai informasi kepada Nabi Muhammad bahwa yang akan mengikuti seruannya hanyalah mereka yang beriman kepada Al-Qur’an dan mengamalkan isinya. Selain itu mereka juga takut kepada Allah meski tidak bisa melihat-Nya.
Baca Juga
Menarik untuk disimak penjelasan Abu Hayyan tentang kata wakhasyiya ar-rahman. Menurutnya, dua kata ini saling terkait, kata ar-rahman menunjukkan sifat rahmah (pengasih). Sifat yang cenderung kepada pengharapan, dimana rasa berharap itu selalu diiringi kesadaran akan adanya sifat kasih-sayang, yang akhirnya menghadirkan perasaan takut (khasyyah) kepada-Nya, yakni takut kehilangan nikmat-nimat yang telah Allah SWT limpahkan.
Selain itu, kata al-Ghaib juga dimaknai Qurthubi dengan khasyyah, yakni rasa takut pada sesuatu yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh pandangan manusia, seperti azab api neraka.
Jika mereka telah memenuhi kriteria-kriteria di atas, “fabasysyirhum bi maghfiratin wa ajrin karim”, maka mereka berhak mendapatkan kabar gembira, yakni ampunan dan keridhaan dari Allah swt, serta mendapat balasan berupa surga. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar. ( QS al-Mulk :12 )
Wahbah Zuhaili menerangkan tentang asbabun nuzul ayat 12, ia mengutip hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq dari Abi Sa’id yang berkata bahwa suatu ketika Bani Salimah datang mengadu kepada Rasulullah SAW terkait jauhnya jarak tempat tinggal mereka dengan masjid, kemudian turunlah ayat ini. Nabi pun berkata kepada mereka “tetaplah tinggal di tempat kalian, karena akan dicatat bekas-bekas (yang kalian tinggalkan)”.
Versi yang hampir sama juga dijelaskan oleh Tirmidzi, Hakim, dan Thabrani bahwa Nabi berkata, “Sesungguhnya bekas yang kalian tinggalkan akan dicatat, maka janganlah pindah”. Pada riwayat ini dijelaskan tentang keinginan Bani Salimah untuk pindah di samping masjid Nabi, namun Nabi melarangnya.
Ibnu Katsir memahami kalimat inna nahnu nuhyil mauta pada ayat 12 dengan dua makna, yakni; 1) dibangkitkan dari kubur ketika hari kiamat sudah tiba, 2) isyarat bahwa Allah mampu menghidupkan hati seseorang yang telah mati ataupun sesat untuk menuju hidayah-Nya, sekalipun orang tersebut kafir.
Allah SWT berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya ( QS Al-Hadid: 17 )
Ayat ini sekaligus mengingatkan kita agar tidak mudah mengatakan kafir kepada seseorang, sekalipun dia adalah “kafir”. Sebab atas kehendak-Nya, Ia bisa menghidupkan hati untuk mendapat hidayah kebenaran. Dan sebaliknya, atas kehendak-Nya pula Ia bisa mematikan hati dan menjauhkan-Nya dari kebenaran.
Setiap Langkah Dicatat
Adapun kata atsar pada ayat ini secara literal dimaknai dengan bekas. Lebih rinci at-Thabari menjelaskan yang dimaksud dengan atsar (bekas) adalah setiap langkahmu di dunia yang baik ataupun buruk itu akan dicatat.
Menukil hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jarir bin Abdillah al-Bajali, bahwasanya Nabi bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْاِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ اَجْرُها واجْرُ مَن عمِلَ بها مِن بَعده , مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهَا شَيْئًا , وَ مَنْ سَنَّ فِي الْاِسْلاَم سُنَّةً سَيِّئَةً , كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهَا شَيْئًا
“Barangsiapa yang menunjukkan suatu perkara yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat, yakni pahala dari dirinya sendiri dan dari orang lain yang mengikutinya. Sebaliknya, jika menujukkan kepada perkara buruk, maka ia juga akan mendapatkan dosa dua kali lipat, yaitu dosa disebabkan dirinya sendiri, dan dari orang lain yang mengikuti dirinya”.
Kemudian amal-amal yang dilakukan selama di dunia itu dicatat dalam sebuah buku khusus yang disebut Mujahid dan Qatadah dengan Lauhul Mahfuzh .
Mereka juga menyebut buku tersebut dengan ummul kitab yakni buku induk, menurut Sayyid Qutb dalam buku tersebut tidak ada yang luput, lupa, ataupun keliru untuk dicatat, sesuai dengan apa yang dilakukan manusia ketika di dunia.
Ibnu Katsir mengutip hadis lain yang berada di dalam kitab Sahih Muslim melalui Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
"إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ، انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: مِنْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدِهِ".
Apabila anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariyah (yang terus mengalir pahalanya) sesudah ia tiada.
(mhy)
Lihat Juga :