Cara Cerdas Bersedekah dalam Pandangan Imam al Ghazali
Rabu, 05 Januari 2022 - 12:37 WIB
Sedekah merupakan amalan yang dicintai Allah Subhanahu wa ta'ala. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sedekah, salah satunya dalam surat:
“Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah: 271).
Namun demikian, ternyata ada cara terbaik dalam bersedekah ini seperti yang disarankan Imam Al-Ghazali , yakni cara cerdas berinfak atau bersedekah. Bagaimana maksudnya? Menurut Imam Al-Ghazali, sebaiknya orang yang hendak berinfak menyalurkan sedekahnya tepat sasaran, yaitu kepada ahli agama dan berusaha mengoreksi secara teliti kondisi orang-orang, baik yang hidup berpura-pura cukup yang menyembunyikan dan merahasiakan kekurangannya, tidak banyak berkeluh kesah dan tidak mengadukan kemiskinannya. Atau dia termasuk orang yang sangat menjaga harga diri, sementara telah terkuras habis kekayaannya, namun ia masih berada pada kebiasaan semula, sehingga ia hidup menggunakan jilbab basa-basi.
Maka, Imam Al-Ghazali menyebutkan, menyalurkan infak kepada mereka akan mendapatkan balasan pahala berlipat ganda daripada diberikan kepada mereka yang terang-terangan meminta-minta. Begitu juga seharusnya seorang hamba menyalurkan sedekahnya kepada orang-orang yang bisa memanfaatkan secara baik, misalnya para ahli ilmu. Sebab, hal ini bisa menjadi bantuan baginya dalam menuntut ilmu karena mencari ilmu merupakan ibadah yang paling mulia, asal niatnya benar.”
Salah satu contoh berinfak cerdas ini dilakukan Ibnu Al-Mubarok. Dinukil dari Tafsir al-Qasimi, Ibnu al-Mubarok senantiasa mengkhususkan infaknya kepada para ahli ilmu. Ketika beliau ditanya, “Mengapa tidak engkau berikan kepada orang secara umum?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika pikiran para ulama sibuk mencari kebutuhan (hidupnya) maka ia tidak bisa konsentrasi sepenuhnya kepada ilmu dan tidak fokus dalam belajar. Maka membuat mereka bisa mempelajari ilmu secara konsen lebih utama.” (Tafsir al-Qasimi, 3/250)
Melihat contoh di atas, maka bisa disimpulkan bahwa bahwa infak lebih bermanfaat ketika diberikan kepada orang miskin yang menjaga diri dari meminta-minta dan kepada penuntut ilmu syar’i.
Kenapa berinfak kepada orang yang berilmu adalah cara yang cerdas? Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata:
“Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah, salah seorang mendatangi Nabi (untuk belajar), sementara saudaranya bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi, maka Nabi bersabda: “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia.” (HR. At-Tirmidzi dan al-Hakim dalam Mustadrak, shahih)
Dalam kitab 'Tuhfatul Ahwadzi', Al-Mubarakfury rahimahullah menjelaskan sabda Nabi, yaitu “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia” yang menggunakan shigat majhul (kata kerja pasif) seolah ingin berkata, “Yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rezeki karena sebab keberkahan saudaramu. Namun, saudaramu itu diberi rezeki karena sebab usahamu. Maka hendaknya jangan kamu mengungkit-ungkit pemberianmu.”
Orang yang menginfakkan hartanya untuk para penuntut ilmu, dia akan mendulang banyak pahala, amalnya akan memperberat timbangan nya di sisi Allah Ta’ala . Menfasilitasi para penuntut ilmu agar lebih konsentrasi belajar merupakan bentuk ta’awun dalam kebaikan.
Sedangkan, memberi infak kepada orang miskin sebaiknya dilihat dari orangnya yang betul-betul menjaga dirinya dari meminta-minta. Kenapa demikian? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya:
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap atau dua suap makanan dan satu dua butir kurma.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab, “Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan tidak ada yang menyadari (kemiskinannya) sehingga tidak ada yang memberinya sedekah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatupun kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Uang atau harta yang diinfakkan untuk orang mukmin sebagaimana hadis di atas insyaallah akan sangat membantu mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala . Juga untuk membiayai hidup keluarganya sehingga mampu menjalani kehidupan dengan tercukupinya kebutuhan lahir dan batinnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)
Wallahu A'lam
اِنۡ تُبۡدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِىَۚ وَاِنۡ تُخۡفُوۡهَا وَ تُؤۡتُوۡهَا الۡفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيۡرٌ لَّكُمۡؕ وَيُكَفِّرُ عَنۡكُمۡ مِّنۡ سَيِّاٰتِكُمۡؕ وَاللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِيۡرٌ
“Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah: 271).
Namun demikian, ternyata ada cara terbaik dalam bersedekah ini seperti yang disarankan Imam Al-Ghazali , yakni cara cerdas berinfak atau bersedekah. Bagaimana maksudnya? Menurut Imam Al-Ghazali, sebaiknya orang yang hendak berinfak menyalurkan sedekahnya tepat sasaran, yaitu kepada ahli agama dan berusaha mengoreksi secara teliti kondisi orang-orang, baik yang hidup berpura-pura cukup yang menyembunyikan dan merahasiakan kekurangannya, tidak banyak berkeluh kesah dan tidak mengadukan kemiskinannya. Atau dia termasuk orang yang sangat menjaga harga diri, sementara telah terkuras habis kekayaannya, namun ia masih berada pada kebiasaan semula, sehingga ia hidup menggunakan jilbab basa-basi.
Maka, Imam Al-Ghazali menyebutkan, menyalurkan infak kepada mereka akan mendapatkan balasan pahala berlipat ganda daripada diberikan kepada mereka yang terang-terangan meminta-minta. Begitu juga seharusnya seorang hamba menyalurkan sedekahnya kepada orang-orang yang bisa memanfaatkan secara baik, misalnya para ahli ilmu. Sebab, hal ini bisa menjadi bantuan baginya dalam menuntut ilmu karena mencari ilmu merupakan ibadah yang paling mulia, asal niatnya benar.”
Salah satu contoh berinfak cerdas ini dilakukan Ibnu Al-Mubarok. Dinukil dari Tafsir al-Qasimi, Ibnu al-Mubarok senantiasa mengkhususkan infaknya kepada para ahli ilmu. Ketika beliau ditanya, “Mengapa tidak engkau berikan kepada orang secara umum?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika pikiran para ulama sibuk mencari kebutuhan (hidupnya) maka ia tidak bisa konsentrasi sepenuhnya kepada ilmu dan tidak fokus dalam belajar. Maka membuat mereka bisa mempelajari ilmu secara konsen lebih utama.” (Tafsir al-Qasimi, 3/250)
Melihat contoh di atas, maka bisa disimpulkan bahwa bahwa infak lebih bermanfaat ketika diberikan kepada orang miskin yang menjaga diri dari meminta-minta dan kepada penuntut ilmu syar’i.
Kenapa berinfak kepada orang yang berilmu adalah cara yang cerdas? Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata:
“Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah, salah seorang mendatangi Nabi (untuk belajar), sementara saudaranya bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi, maka Nabi bersabda: “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia.” (HR. At-Tirmidzi dan al-Hakim dalam Mustadrak, shahih)
Dalam kitab 'Tuhfatul Ahwadzi', Al-Mubarakfury rahimahullah menjelaskan sabda Nabi, yaitu “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia” yang menggunakan shigat majhul (kata kerja pasif) seolah ingin berkata, “Yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rezeki karena sebab keberkahan saudaramu. Namun, saudaramu itu diberi rezeki karena sebab usahamu. Maka hendaknya jangan kamu mengungkit-ungkit pemberianmu.”
Orang yang menginfakkan hartanya untuk para penuntut ilmu, dia akan mendulang banyak pahala, amalnya akan memperberat timbangan nya di sisi Allah Ta’ala . Menfasilitasi para penuntut ilmu agar lebih konsentrasi belajar merupakan bentuk ta’awun dalam kebaikan.
Sedangkan, memberi infak kepada orang miskin sebaiknya dilihat dari orangnya yang betul-betul menjaga dirinya dari meminta-minta. Kenapa demikian? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya:
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap atau dua suap makanan dan satu dua butir kurma.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab, “Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan tidak ada yang menyadari (kemiskinannya) sehingga tidak ada yang memberinya sedekah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatupun kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Uang atau harta yang diinfakkan untuk orang mukmin sebagaimana hadis di atas insyaallah akan sangat membantu mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala . Juga untuk membiayai hidup keluarganya sehingga mampu menjalani kehidupan dengan tercukupinya kebutuhan lahir dan batinnya.
Allah Ta’ala berfirman:
لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)
Wallahu A'lam
(wid)