Surat Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Makna Menyembah Setan
Kamis, 20 Januari 2022 - 14:22 WIB
Surah Yasin ayat 60-61 berisi perintah Allah kepada anak cucu Adam agar menaati Allah SWT dan meninggalkan menyembah setan. Allah SWT memperingatkan untuk tidak mengikuti setan karena setan adalah musuh yang nyata sejak awal penciptaan manusia yaitu ketika Adam AS dan Hawa tertipu oleh bujuk rayu setan.
Allah SWT berfirman:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS Yasin : 60-61)
Berkenaan dengan terjemah versi Kemenag pada surah Yasin ayat 60-61 di atas, kata a’had (اَعْهَدْ) di terjemahkan dengan ‘aku memerintahkan’. Selain makna ini, beberapa mufasir berbeda-beda dalam mengemukakan penafsirannya. Misalnya penafsiran yang dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, atau yang masyhur di sebut dengan Tafsir Thabari.
Dalam karyanya tersebut, al-Thabari menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص) dan kata amur (أمر). Masing-masing kata tersebut bermakna aku mewasiatkan dan aku memerintahkan. Jika melihat dari kedua kata tersebut, Kemenag memilih menggunakan kata amur (أمر) untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) . Hal ini berbeda dengan makna yang digunakan oleh Quraish Shihab.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah lebih memilih untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص), yaitu “aku wasiatkan”. Secara bahasa kata a’had yang berasal dari kata ‘ahd (عهد) memang sinonim dengan kata washiyah (وصية). Hal ini sebagaimana tertera dalam kamus al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i karya al-Fayyumi.
Dalam menafsirkan ayat 60 Ath-Thabari menyatakan Allah SWT seakan mengatakan, “bukankah aku telah mewasiatkan dan memerintahkan kalian ketika di dunia untuk tidak menyembah setan? Kalian malah mentaati setan dalam bermaksiat kepada Allah SWT”.
Kalimat innahu lakum ‘aduwwun mubiin, al-Thabari menerangkan bahwa Allah SWT telah memperingatkan untuk tidak mengikuti setan karena setan adalah musuh yang nyata sejak awal penciptaan manusia yaitu ketika Adam AS dan Hawa tertipu oleh bujuk rayu setan.
Sedangkan untuk ayat ke 61, menurut al-Thabari, adalah penegasan kembali bagi para penduduk neraka dan seluruh umat manusia bahwa satu-satunya jalan yang lurus adalah hanya dengan menyembah Allah SWT. Ketaatan dan ikhlas dalam beribadah, tidak mengikuti kehendak dan bujuk rayu setan, adalah sebenar-benarnya agama (al-din al-shahih).
Sedangkan Imam al-Qusyairi menjelaskan, pada kedua ayat tersebut seolah-olah Allah SWT berfirman, “Aku telah menasihati dan memperingati kalian, berapa kali aku mengingatkan tetapi kalian tidak menerima ancaman-Ku, tidak melaksanakan perintah-Ku, malah kalian menyalahi Ku, kalian telah menzalimi diri kalian sendiri, oleh karenanya terjadilah apa yang seharusnya terjadi."
Al-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasysyaaf mengungkapkan bahwa kata al-‘ahdu pada ayat di atas bermakna al-washiyyah (wasiat) sedangkan kata ‘ibadat pada kalimat an laa ta’buduu al-syaythaan berarti tidak mantaatinya dalam segala bentuk rayuan dan godaannya.
Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menganggap bentuk janji atau wasiat Allah SWT sebagaimana tertera dalam ayat 60 di atas bisa dijelaskan dalam dua kategori.
Pertama, adalah janji atau wasiat Allah SWT kepada Nabi Adam AS, bapak umat manusia sebagaimana tertera dalam QS Thaha ayat 115.
Kedua, janji atau wasiat kepada anak keturunan Adam sebagaimana disebutkan pada ayat ini dan juga ayat-ayat yang lain seperti dalam QS al-A’raf [7] ayat 172.
Ketiga, peringatan tentang janji Allah SWT ini telah disampaikan para Rasul kepada setiap kaumnya. Oleh karena itu, kata al-Zamakhsyari, orang-orang yang berakal (al-uqalaa‘) bahwa setan selalu memerintahkan untuk berbuat keburukan.
Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah juga menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan kecaman kepada kaum musyrikin dan para pendurhaka dengan menggunakan seruan ‘wahai putra-putri adam’.
Selain menandakan bahwa pesan itu telah diturunkan sejak masa Nabi Adam AS, hingga masa terakhir, juga untuk mengingatkan semua pihak bahwa permusuhan dengan setan telah mengakar jauh, tidak mungkin hilang apalagi berkurang.
Dalam ayat yang lain, terang Quraish, yakni pada QS al-A’raf ayat 172 Allah SWT telah memperingati agar bani Adam tidak tertipu oleh setan sebagaimana Adam dan Hawa yang dikeluarkan dari surga.
Menurut Quraish, penggunaan kata a’had (aku berpesan) dan u’budunii (sembahlah Aku) dalam dua ayat di atas menunjukkan dua hal.
Pertama, mengisyaratkan bahwa pesan itu sungguh jelas dan penting karena Allah SWT sendiri yang menyampaikan, sehinga Dialah sumbernya secara langsung.
Kedua, mengisyaratkan penyembahan tidak diperkenankan kecuali hanya kepada-Nya, tidak kepada siapa pun.
Ketiga, bentuk kata ganti orang pertama tunggal menandakan tidak ada keterlibatan siapa pun, hanya Allah SWT, seperti dalam hal beribadah dan menerima taubat. Jika menggunakan bentuk jamak, maka hal itu mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam hal yang dibicarakan maupun untuk menggambarkan Allah SWT.
Menyembah Setan
Berdasarkan riwayat dari Ibn Mudzir, al-Suyuti dalam al-Dur al-Mantsur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan menyembah setan adalah mengikuti ajakan setan dengan mematuhi segala macam bisikan-bisikannya. Padahal jelas-jelas setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia.
Al-Thabari menambahkan bahwa setan secara terang-terangan mendeklarasikan permusuhan terhadap manusia. Misalnya ketika ia menolak sujud kepada Nabi Adam AS lalu dengan itu ia dilaknat dan menghasut Nabi Adam dan Siti Hawa sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Hal ini terungkap dalam surah al-A’raf ayat 16 berikut:
“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
Dari ayat ini sudah sangat jelas bahwa setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Namun kebanyakan manusia lebih memilih mengikuti bisikan setan daripada ajakan dari para utusan Allah SWT. Padahal para utusan itu membawa risalah dari Allah agar manusia menapaki jalan yang benar, sebagaimana diungkapkan secara ekplisit dalam ayat ke 61 dari surah Yasin ini.
Allah SWT berfirman:
اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَۚ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ
وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS Yasin : 60-61)
Berkenaan dengan terjemah versi Kemenag pada surah Yasin ayat 60-61 di atas, kata a’had (اَعْهَدْ) di terjemahkan dengan ‘aku memerintahkan’. Selain makna ini, beberapa mufasir berbeda-beda dalam mengemukakan penafsirannya. Misalnya penafsiran yang dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, atau yang masyhur di sebut dengan Tafsir Thabari.
Dalam karyanya tersebut, al-Thabari menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص) dan kata amur (أمر). Masing-masing kata tersebut bermakna aku mewasiatkan dan aku memerintahkan. Jika melihat dari kedua kata tersebut, Kemenag memilih menggunakan kata amur (أمر) untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) . Hal ini berbeda dengan makna yang digunakan oleh Quraish Shihab.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah lebih memilih untuk menafsirkan kata a’had (اَعْهَدْ) dengan kata ‘ushi (أوص), yaitu “aku wasiatkan”. Secara bahasa kata a’had yang berasal dari kata ‘ahd (عهد) memang sinonim dengan kata washiyah (وصية). Hal ini sebagaimana tertera dalam kamus al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i karya al-Fayyumi.
Dalam menafsirkan ayat 60 Ath-Thabari menyatakan Allah SWT seakan mengatakan, “bukankah aku telah mewasiatkan dan memerintahkan kalian ketika di dunia untuk tidak menyembah setan? Kalian malah mentaati setan dalam bermaksiat kepada Allah SWT”.
Kalimat innahu lakum ‘aduwwun mubiin, al-Thabari menerangkan bahwa Allah SWT telah memperingatkan untuk tidak mengikuti setan karena setan adalah musuh yang nyata sejak awal penciptaan manusia yaitu ketika Adam AS dan Hawa tertipu oleh bujuk rayu setan.
Sedangkan untuk ayat ke 61, menurut al-Thabari, adalah penegasan kembali bagi para penduduk neraka dan seluruh umat manusia bahwa satu-satunya jalan yang lurus adalah hanya dengan menyembah Allah SWT. Ketaatan dan ikhlas dalam beribadah, tidak mengikuti kehendak dan bujuk rayu setan, adalah sebenar-benarnya agama (al-din al-shahih).
Sedangkan Imam al-Qusyairi menjelaskan, pada kedua ayat tersebut seolah-olah Allah SWT berfirman, “Aku telah menasihati dan memperingati kalian, berapa kali aku mengingatkan tetapi kalian tidak menerima ancaman-Ku, tidak melaksanakan perintah-Ku, malah kalian menyalahi Ku, kalian telah menzalimi diri kalian sendiri, oleh karenanya terjadilah apa yang seharusnya terjadi."
Al-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasysyaaf mengungkapkan bahwa kata al-‘ahdu pada ayat di atas bermakna al-washiyyah (wasiat) sedangkan kata ‘ibadat pada kalimat an laa ta’buduu al-syaythaan berarti tidak mantaatinya dalam segala bentuk rayuan dan godaannya.
Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menganggap bentuk janji atau wasiat Allah SWT sebagaimana tertera dalam ayat 60 di atas bisa dijelaskan dalam dua kategori.
Pertama, adalah janji atau wasiat Allah SWT kepada Nabi Adam AS, bapak umat manusia sebagaimana tertera dalam QS Thaha ayat 115.
Kedua, janji atau wasiat kepada anak keturunan Adam sebagaimana disebutkan pada ayat ini dan juga ayat-ayat yang lain seperti dalam QS al-A’raf [7] ayat 172.
Ketiga, peringatan tentang janji Allah SWT ini telah disampaikan para Rasul kepada setiap kaumnya. Oleh karena itu, kata al-Zamakhsyari, orang-orang yang berakal (al-uqalaa‘) bahwa setan selalu memerintahkan untuk berbuat keburukan.
Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah juga menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan kecaman kepada kaum musyrikin dan para pendurhaka dengan menggunakan seruan ‘wahai putra-putri adam’.
Selain menandakan bahwa pesan itu telah diturunkan sejak masa Nabi Adam AS, hingga masa terakhir, juga untuk mengingatkan semua pihak bahwa permusuhan dengan setan telah mengakar jauh, tidak mungkin hilang apalagi berkurang.
Dalam ayat yang lain, terang Quraish, yakni pada QS al-A’raf ayat 172 Allah SWT telah memperingati agar bani Adam tidak tertipu oleh setan sebagaimana Adam dan Hawa yang dikeluarkan dari surga.
Menurut Quraish, penggunaan kata a’had (aku berpesan) dan u’budunii (sembahlah Aku) dalam dua ayat di atas menunjukkan dua hal.
Pertama, mengisyaratkan bahwa pesan itu sungguh jelas dan penting karena Allah SWT sendiri yang menyampaikan, sehinga Dialah sumbernya secara langsung.
Kedua, mengisyaratkan penyembahan tidak diperkenankan kecuali hanya kepada-Nya, tidak kepada siapa pun.
Ketiga, bentuk kata ganti orang pertama tunggal menandakan tidak ada keterlibatan siapa pun, hanya Allah SWT, seperti dalam hal beribadah dan menerima taubat. Jika menggunakan bentuk jamak, maka hal itu mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam hal yang dibicarakan maupun untuk menggambarkan Allah SWT.
Menyembah Setan
Berdasarkan riwayat dari Ibn Mudzir, al-Suyuti dalam al-Dur al-Mantsur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan menyembah setan adalah mengikuti ajakan setan dengan mematuhi segala macam bisikan-bisikannya. Padahal jelas-jelas setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia.
Al-Thabari menambahkan bahwa setan secara terang-terangan mendeklarasikan permusuhan terhadap manusia. Misalnya ketika ia menolak sujud kepada Nabi Adam AS lalu dengan itu ia dilaknat dan menghasut Nabi Adam dan Siti Hawa sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Hal ini terungkap dalam surah al-A’raf ayat 16 berikut:
قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ
ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ
ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ
“(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
Dari ayat ini sudah sangat jelas bahwa setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Namun kebanyakan manusia lebih memilih mengikuti bisikan setan daripada ajakan dari para utusan Allah SWT. Padahal para utusan itu membawa risalah dari Allah agar manusia menapaki jalan yang benar, sebagaimana diungkapkan secara ekplisit dalam ayat ke 61 dari surah Yasin ini.
Baca Juga
(mhy)
Lihat Juga :