Begini Sikap Suami Ketika Istri Berbuat Nusyuz

Kamis, 27 Januari 2022 - 07:15 WIB
Jika seorang istri bersikap nusyuz, seorang suami harus bijaksana dalam mengambil keputusan untuk menghadapinya. Foto ilustraso/ist
Jika seorang istri bersikap nusyuz , berarti kehiduapnrumah tangga sedang dalam masalah besar. Dalam suasana seperti itu, suami dituntut harus cerdas dalam mengelola situasi. Suami dituntut harus bijaksana dalam mengambil setiap langkah keputusan. Suami harus adil dalam bersikap. Suami harus mengerti ilmunya ketika istri berbuat nusyuz .

Dalam literatur Islam, nusyuz adalah sikap pembangkangan dan ketidaktaatan istri terhadap suami. Namun, beruntung sekali bahwa umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dibekali dengan pedoman hidup yang super lengkap. Pedoman itu berupa firman-firman Allah yang tersusun dalam 114 surat.



"Problem solving dari seluruh pokok permasalahan dalam rumah tangga juga tercantum di dalamnya, termasuk masalah nusyuz,"ungkap ustadz Sodik Fajar, dai yang juga pengasuh laman dakwah ini.

Menurutnya, di antara susunan 114 surat dalam Al-Quran, petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dalam mengatasi nusyuz istri terhadap suami terdapat dalam surat an-Nisa’, tepatnya pada ayat ke-34.

Konsep global yang digunakan berdasar penjabaran surat an-Nisa ayat 34 adalah bertahap dalam memberikan sanksi. Syaikh as-Sa’di saat menginterpretasi surat an-Nisa’ ayat 34 ini menjelaskan, “Hendaknya suami memberi hukuman atau sanksi kepada istrinya dari tahapan yang ringan, lalu naik ke tahapan berikutnya,”(Tafsir Karimurrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, 1/177).

Namun demikian, dalam memahami tahapan yang harus dilakukan dalam proses menyadarkan ketika istri berbuat nusyuz, seorang suami perlu melihat bagaimana praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengimplementasikan ayat tersebut. Sehingga, menggabungkan pemahaman firman Allah surat an-Nisa’: 34 dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebuah metode ngaji yang sangat fundamental dalam hal ini.

Sehingga langkah suami ketika mendapati sikap istri nusyuz ini, antara lain:

1. Beri nasehat

فَعِظُوهُنَّ


“..Maka, nasehatilah mereka…” (QS. An-Nisa’: 34)

Menasehati bukan perkara yang bisa dianggap mudah begitu saja. Agar tepat sasaran, menasehati perlu mempertimbangkan waktu. Suami dituntut untuk betul-betul bisa mencari celah waktu yang tepat untuk menasehati ketika istri berbuat nusyuz. Pilihan waktu yang salah, menjadikan nasehat yang sejatinya mampu merubah sifat malah berbalik membuat istri tambah tidak taat.

Pilihan bahasa dan retorika berbicara juga memengaruhi kualitas nasehat. Seorang suami harus memiliki karakter santun dan lemah lembut dalam bertutur kata, terutama terhadap istri atau orang tua istri. Bukan dalam rangka untuk menggombal semata, namun, nasehat tanpa balutan kata yang sesuai akan tampak seolah tak bermakna. Didengar saja tak nyaman, apalagi dimaknai sampai menyentuh hati.

Dalam konsep Islam, konten nasehat itu terdiri dari dua unsur; at-Targhib dan at-Tarhib. At-Targhib memuat kalimat indah yang memotivasi istri dengan kepastian janji-janji Allah ‘Azza wa Jalla, keutamaan istri shalihah, besarnya pahala ketaatan istri kepada suami, kabar-kabar baik seputar kewajiban istri kepada suami, dan sebagainya.

Sementara at-Tarhib memuat kalimat-kalimat ancaman Allah ‘Azza wa Jalla kepada istri yang durhaka kepada suami, dahsyatnya siksaan bagi istri yang tidak taat kepada suami, kabar tentang betapa ngerinya azab Allah ‘Azza wa Jalla terhadap para wanita yang menyimpang dari kewajibannya sebagai seorang istri, dan sebagainya.

Saat menjelaskan makna dari potongan firman Allah ‘Azza wa Jalla, “…Maka, nasehatilah mereka…,” Ibnu Katsir mengatakan, “Hendaknya suami menasehatinya dan menakut-nakutinya dengan azab Allah atas perbuatannya yang menyimpang. Sebab Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada istri agar menaati suami, dan mengharamkan untuk durhaka, karena suami memiliki keutamaan yang lebih atas istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/493)

Konten nasehat berupa at-Targhib wa at-Tarhib juga dikemukakan oleh Imam asy-Syaukani saat menafsirkan ayat di atas. Yaitu, ingatkan istri terhadap kewajiban untuk menaati suami dan mempergaulinya dengan baik, memotivasi istri dengan balasan jannah jika menaati suami, dan ancamlah istri dengan azab Allah jika mendurhakai suami. (Fathul Qadir, 1/461)



Dalam menasehati istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menggunakan bahasa kiasan dengan pilihan kata yang sangat menyentuh untuk memperlembut nasehat. Trik ini pernah beliau gunakan untuk meredam nusyuz Aisyah berupa kecemburuan terhadap istri beliau yang lain, Shafiyah, yang diwujudkan dalam ujaran tidak mengenakkan, “Shafiyah berpostur pendek!” Perbuatan nusyuz Aisyah ini ditimpali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kata-kata,

لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ


“Sungguh, engkau telah mengucapkan kalimat yang sekiranya dicampur dengan air laut, niscaya ia akan mengubahnya.” (Sunan Abu Daud, 4/269, Sunan at-Tirmidzi, 4/660)

2. Pisah ranjang dengannya

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ


“…Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka…” (QS. An-Nisa’: 34)

Sangat mungkin tak cukup hanya sekedar dihukum dengan nasehat lisan saat istri berbuat nusyuz. Jika kondisinya seperti ini, perlu solusi lanjutan. Dari nasehat lisan, sedikit meningkat ke level tindakan; pisah ranjang dengan istri.

Agaknya terkesan ekstrim dan tidak adil menegur perbuatan nusyuz dengan cara berpisah ranjang dengan istri. Namun sebenarnya tidak. Ukurannya adalah tingkat kedurhakaan istri. Semakin parah tingkat kedurhakaan dan pembangkangan istri terhadap suami, maka perlu ditingkatkan pula model hukuman suami untuk menyikapi perilaku istrinya tersebut.

Terkecuali dalam kasus-kasus tertentu yang memang dengan nasehat lisan saja sudah cukup untuk menyadarkan istri dari perilaku nusyuz. Ibarat batu, semakin keras komposisi batu, maka butuh alat yang semakin kuat pula untuk memecahkannya.

Penafsiran penggalan ayat “…Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka…” sangatlah beragam. Namun, seluruh perbedaan penafsiran para ulama tersebut mengarah pada satu maksud utama pemberian sanksi kepada istri yang berbuat nusyuz, yaitu dengan tidak tidur bersama istri di ranjang, atau membelakanginya ketika tidur bersamanya dalam satu ranjang, atau tidak berhubungan badan dengannya, atau tidak mengajaknya berbicara. Semua mengarah kepada satu makna; hajr. Hajr berarti meninggalkan atau menjauhi (Lisanul ‘Arab, 5/250).

Oleh Ibnu Katsir, Hajr dimaknai dengan tidak mengumpuli istri, tidak satu ranjang dengan istri, berpaling dari istri, dan tidak berbicara dengan istri. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/493)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempraktekkan cara ini. Ketika beliau merahasiakan sesuatu kepada Hafshah, ternyata Hafshah malah menceritakannya kepada Aisyah. Lalu keduanya malah saling membantu menyusahkan posisi Nabi melalui beberan rahasia itu. Perilaku nusyuz Hafshah dan Aisyah inilah yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya mengambil jalan pisah ranjang dengan keduanya selama sebulan dalam rangka menyadarkan kedua istri beliau akan keburukan perilaku nusyuz tersebut. (Tafsir As-Sa’di, 1/177)

3. Pukul dengan Lembut

وَاضْرِبُوهُنَّ


“…Dan pukullah mereka…” (QS. An-Nisa’: 34)

Keliru jika memaknai “memukul istri” dalam ayat di atas dengan pukulan sebagaimana seorang petinju yang njotosi lawan tandingnya. “Memukul” dalam ayat tersebut maksudnya adalah memukul istri dengan pukulan yang tidak melukai dan tidak membahayakan. Pukulan yang mendidik, pukulan tak membekas, tanpa meninggalkan luka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/493)

Kenapa sampai harus memukul istri? Karena istri berbuat nusyuz, sudah disadarkan dengan nasehat lisan, lalu pisah ranjang, namun itu belum juga menyadarkan istrinya dari tindakan nusyuz. Memukul istri adalah langkah ketiga dalam menyadarkan istri, setelah langkah pertama dan kedua sudah ditempuh, dan gagal.

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memukul istrinya? Tidak, Rasulullah tak pernah memukul istrinya. Pernyataan ini diperkuat langsung oleh kesaksian Aisyah istri beliau. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah memukul siapapun dengan tangannya, baik kepada istrinya atau kepada pembantunya, kecuali saat beliau berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad, no. 2209)

Artinya, dalam kehidupannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mendapati perbuatan istri-istri beliau yang membangkang (nusyuz) sampai pada tingkatan cara menyadarkannya harus dengan memukul. Pernah suatu kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk, sedikit mendorong, bagian dada Aisyah dengan posisi tangan mengepal. Oleh para ulama fikih, tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tidak dimaknai dengan memukul sebagaimana tafsir ayat di atas. Tindakan itu hanya sanksi ringan karena Aisyah telah berburuk sangka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa-i, 4/93)



Wallahu A'lam
(wid)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abdullah bin Busr, seorang badui bertanya: Wahai Rasulullah, siapa orang terbaik itu? Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam menjawab: Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.

(HR. Tirmidzi No. 2251)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More