Jelang Ramadhan: Ini Hukum yang Menunggak Utang Puasa
Jum'at, 25 Maret 2022 - 17:02 WIB
Ramadhan sebentar lagi. Bagi mereka yang masih berutang puasa maka hendaknya segera dilunasi. Berikut adalah konsekwensinya apabila belum membayar utang puasa tahun lalu, sementara Ramadhan berikutnya tiba.
Hukum terkait tatacara melunasi utang puasa di dalam Al-Qur’an merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 184 dan 185 yang memiliki redaksi hampir sama. Allah berfirman di ayat 184:
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui ( QS Al-Baqarah :184).
Meski di dalam Al-Qur’an tidak ada batas waktu untuk melunasi utang puasa, dengan beberapa pertimbangan dari hadis nabi dan yang lainnya, mayoritas ulama’ menyatakan bahwa batas melunasi utang puasa adalah sampai rentang waktu yang dapat digunakan melunasi puasa, sebelum datang Ramadhan berikutnya. Sehingga apabila puasa yang terhutang ada sepuluh hari, maka batas mengakhirkan puasa adalah sepuluh hari sebelum Ramadhan berikutnya. Apabila tidak dilunasi sampai batas waktu yang ditentukan, padahal tidak ada udzur yang menyertainya, ia dianggap berdosa.
Selain itu, ulama’ juga menganjurkan agar utang puasa harus segera dilunasi. Hal ini untuk mengantisipasi hal-hal di luar dugaan sebagaimana meninggal sebelum sempat melunasinya. Bahkan Mazhab Hanafiyah saja yang menyatakan bahwa orang yang mengakhirkan puasa sampai melewati Ramadhan berikutnya tanpa udzur ia dianggap tidak berdosa, menganjarkan agar melunasi puasa hendaknya dilakukan segera.
Hanya saja, Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan, redaksi “pada hari-hari yang lain” pada ayat di atas menunjukkan bahwa mengqada atau melunasi utang puasa tidak memiliki aturan waktu tertentu. Sebab redaksi tersebut menunjuk waktu secara umum tanpa menentukan satu waktu tertentu. Sehingga seakan-akan yang diinginkan adalah yang terpenting dilunasi di lain waktu.
Konsekwensi
Lalu, apa konsekwensinya bila kita tidak melunasi utang puasa sampai Ramadhan berikutnya?
Sejumlah ulama berpendapat, apabila hal itu disebabkan udzur, seperti sakit yang berlanjut sampai Ramadhan berikutnya, maka ia hanya memiliki kewajiban mengqada puasa saja usai Ramadhan berikutnya. Apabila tidak memiliki udzur, maka menurut Mazhab Syafiiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah, disamping mangqada puasa ia juga wajib membayar fidyah sejumlah satu mud untuk tiap satu hari puasa.
Bahkan manurut pendapat dalam Mazhab Syafiiyah , jumlah fidyah yang ia tanggung berlipat ganda sejumlah Ramadhan yang diliwati. Maka apabila tidak bisa melunasi utang puasa sejumlah 5 hari sampai 3 Ramadhan berikutnya, maka jumlah fidyahnya adalah: 5 (hari puasa) x 3 (Ramadhan yang terlewati) = 15 mud. Apabila 1 mud adalah 6 ons, maka 15 mud = 90 ons atau 9 Kg beras yang wajib ia bayarkan.
Tentang kewajiban membayar puasa selain juga diwajibkan membayar fidyah disampaikan Syekh M Nawawi Banten dalam Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja mengatakan yang wajib qadha dan fidyah adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha puasa Ramadhan padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba.
Hal ini didasarkan pada hadits: Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Menurut Syekh Nawawi, di luar kategori ‘memiliki kesempatan’ adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur.
Syekh Nawawi mengatakan alasan seperti ini tak bisa diterima; sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat sholat), tetapi tidak tahu batal sholat karenanya.
"Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi),” ujar Syekh Nawawi.
Dari keterangan Syekh Nawawi Banten ini, kita dapat melihat apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-tunda.
Bila disebabkan karena kelalaian, tentu yang bersangkutan wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari utang puasanya.
Hukum terkait tatacara melunasi utang puasa di dalam Al-Qur’an merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 184 dan 185 yang memiliki redaksi hampir sama. Allah berfirman di ayat 184:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui ( QS Al-Baqarah :184).
Meski di dalam Al-Qur’an tidak ada batas waktu untuk melunasi utang puasa, dengan beberapa pertimbangan dari hadis nabi dan yang lainnya, mayoritas ulama’ menyatakan bahwa batas melunasi utang puasa adalah sampai rentang waktu yang dapat digunakan melunasi puasa, sebelum datang Ramadhan berikutnya. Sehingga apabila puasa yang terhutang ada sepuluh hari, maka batas mengakhirkan puasa adalah sepuluh hari sebelum Ramadhan berikutnya. Apabila tidak dilunasi sampai batas waktu yang ditentukan, padahal tidak ada udzur yang menyertainya, ia dianggap berdosa.
Selain itu, ulama’ juga menganjurkan agar utang puasa harus segera dilunasi. Hal ini untuk mengantisipasi hal-hal di luar dugaan sebagaimana meninggal sebelum sempat melunasinya. Bahkan Mazhab Hanafiyah saja yang menyatakan bahwa orang yang mengakhirkan puasa sampai melewati Ramadhan berikutnya tanpa udzur ia dianggap tidak berdosa, menganjarkan agar melunasi puasa hendaknya dilakukan segera.
Hanya saja, Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan, redaksi “pada hari-hari yang lain” pada ayat di atas menunjukkan bahwa mengqada atau melunasi utang puasa tidak memiliki aturan waktu tertentu. Sebab redaksi tersebut menunjuk waktu secara umum tanpa menentukan satu waktu tertentu. Sehingga seakan-akan yang diinginkan adalah yang terpenting dilunasi di lain waktu.
Konsekwensi
Lalu, apa konsekwensinya bila kita tidak melunasi utang puasa sampai Ramadhan berikutnya?
Sejumlah ulama berpendapat, apabila hal itu disebabkan udzur, seperti sakit yang berlanjut sampai Ramadhan berikutnya, maka ia hanya memiliki kewajiban mengqada puasa saja usai Ramadhan berikutnya. Apabila tidak memiliki udzur, maka menurut Mazhab Syafiiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah, disamping mangqada puasa ia juga wajib membayar fidyah sejumlah satu mud untuk tiap satu hari puasa.
Bahkan manurut pendapat dalam Mazhab Syafiiyah , jumlah fidyah yang ia tanggung berlipat ganda sejumlah Ramadhan yang diliwati. Maka apabila tidak bisa melunasi utang puasa sejumlah 5 hari sampai 3 Ramadhan berikutnya, maka jumlah fidyahnya adalah: 5 (hari puasa) x 3 (Ramadhan yang terlewati) = 15 mud. Apabila 1 mud adalah 6 ons, maka 15 mud = 90 ons atau 9 Kg beras yang wajib ia bayarkan.
Tentang kewajiban membayar puasa selain juga diwajibkan membayar fidyah disampaikan Syekh M Nawawi Banten dalam Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja mengatakan yang wajib qadha dan fidyah adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha puasa Ramadhan padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba.
Hal ini didasarkan pada hadits: Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Menurut Syekh Nawawi, di luar kategori ‘memiliki kesempatan’ adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur.
Syekh Nawawi mengatakan alasan seperti ini tak bisa diterima; sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat sholat), tetapi tidak tahu batal sholat karenanya.
"Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi),” ujar Syekh Nawawi.
Dari keterangan Syekh Nawawi Banten ini, kita dapat melihat apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-tunda.
Bila disebabkan karena kelalaian, tentu yang bersangkutan wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari utang puasanya.
(mhy)