Puasa Merupakan Ibadah yang Unik, Begini Penjelasan Quraish Shihab
Rabu, 06 April 2022 - 13:56 WIB
Secara jelas Al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Muhammad SAW misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga."
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat” menjelaskan ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka.
Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah SWT. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.
Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya.
Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Qur'an, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.
Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.
Puasa dan Takwa
Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah".
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya: makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit; tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana; atau "api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
Kedua, siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak salat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah SWT). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT (yang menyiksa)."
Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara lain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah SWT.
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat” menjelaskan ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka.
Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah SWT. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.
Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya.
Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Qur'an, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.
Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.
Puasa dan Takwa
Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah".
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya: makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit; tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana; atau "api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
Kedua, siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak salat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah SWT). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT (yang menyiksa)."
Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara lain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah SWT.
(mhy)