Kisah Iyas bin Mu’awiyah al-Muzanni Luruskan Anggapan Guru Yahudi Surga Itu Aneh
Jum'at, 15 April 2022 - 15:05 WIB
Iyas bin Mu’awiyah al-Muzanni adalah seorang hakim Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz . Dia dikenal zuhud dan amat cerdas. Suatu ketika ia pernah berdebat dengan seorang guru Yahudi yang menganggap surga itu aneh.
Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam bukunya berjudul " Mereka adalah Para Tabiin ", menceritakan sejak kecil Iyas telah tampak bakat dan kecerdasan Putra al-Muzanni yang satu ini. Orang-orang sering membicarakan kehebatan dan beritanya kendati beliau masih kanak-kanak.
Diriwayatkan bahwa, ketika masih kecil beliau belajar ilmu hisab di sebuah sekolah yang diajar oleh seorang Yahudi ahli Dzimmah (orang non-muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam).
Pada suatu hari berkumpul lah kawan-kawannya dari kalangan Yahudi itu, lalu mereka asyik membicarakan masalah agama mereka tanpa menyadari bahwa Iyas turut mendengarkannya.
Guru Yahudi itu berkata kepada teman-teman Iyas, “Tidakkah kalian merasa heran kepada Kaum Muslimin itu? Mereka berkata bahwa mereka akan makan di Surga, namun tidak akan buang air besar?”
“Bolehkah aku ikut campur dalam perkara yang kalian bicarakan itu wahai guru?” potong Iyas
“Silahkan!” kata sang guru.
“Apakah semua yang kita makan di dunia ini, akan keluar menjadi kotoran?” tanya Iyas kemudian.
“Tidak!” jawab guru.
“Lalu ke mana perginya yang tidak keluar itu?” tanya Iyas lagi.
“Tersalurkan sebagai makanan jasmani,” jawab sang guru.
“Kemudian dengan alasan apa kalian mengingkari? Jika makanan yang kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap oleh tubuh, maka tidaklah mustahil di surga kelak seluruhnya diserap oleh tubuh dan akan menjadi makanan jasmani,” ujar Iyas kemudian.
Merasa kalah dengan argumen dari Iyas, guru itu memberikan isyarat dengan tangannya sambil berkata kepada Iyas, “Semoga Allah mematikanmu sebelum dewasa.”
Menjadi Hakim
Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni, lahir pada tahun 46 H di daerah Yamamah Najed. Kemudian beliau berpindah ke Bashrah beserta seluruh keluarganya. Di sanalah beliau tumbuh berkembang dan belajar.
Beliau sering mondar-mandir ke Damaskus saat masih belia, tentunya untuk menimba ilmu dari sisa-sisa sahabat yang mulia dan tokoh-tokoh tabi’in yang agung.
Pada suatu malam, Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz tidak bisa tidur. Hilang rasa kantuknya. Beliau tidak mampu memejamkan matanya. Resah dan gelisah hatinya. Di saat malam yang dingin itu, di Damsyik pikiran beliau sedang sibuk dengan urusan pemilihan hakim Bashrah. Harapannya adalah agar bisa menegakkan keadilan di tengah manusia, yang akan menjadi menghukum dengan hukum Allah Ta’ala diterapkan tanpa gentar dan gila pujian.
Pilihannya jatuh pada dua orang yang dipandangnya bak kuda balap kembar dalam ilmu fiqih. Keduanya tegas dan kukuh dalam kebenaran, cemerlang pemikiran-pemikirannya dan tepat dalam pandangannya. Jika didapatkan satu keunggulan tertentu dari salah satu dari keduanya, ia memiliki keunggulan lain yang mampu mengimbanginya.
Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam bukunya berjudul " Mereka adalah Para Tabiin ", menceritakan sejak kecil Iyas telah tampak bakat dan kecerdasan Putra al-Muzanni yang satu ini. Orang-orang sering membicarakan kehebatan dan beritanya kendati beliau masih kanak-kanak.
Diriwayatkan bahwa, ketika masih kecil beliau belajar ilmu hisab di sebuah sekolah yang diajar oleh seorang Yahudi ahli Dzimmah (orang non-muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam).
Pada suatu hari berkumpul lah kawan-kawannya dari kalangan Yahudi itu, lalu mereka asyik membicarakan masalah agama mereka tanpa menyadari bahwa Iyas turut mendengarkannya.
Guru Yahudi itu berkata kepada teman-teman Iyas, “Tidakkah kalian merasa heran kepada Kaum Muslimin itu? Mereka berkata bahwa mereka akan makan di Surga, namun tidak akan buang air besar?”
“Bolehkah aku ikut campur dalam perkara yang kalian bicarakan itu wahai guru?” potong Iyas
“Silahkan!” kata sang guru.
“Apakah semua yang kita makan di dunia ini, akan keluar menjadi kotoran?” tanya Iyas kemudian.
“Tidak!” jawab guru.
“Lalu ke mana perginya yang tidak keluar itu?” tanya Iyas lagi.
“Tersalurkan sebagai makanan jasmani,” jawab sang guru.
“Kemudian dengan alasan apa kalian mengingkari? Jika makanan yang kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap oleh tubuh, maka tidaklah mustahil di surga kelak seluruhnya diserap oleh tubuh dan akan menjadi makanan jasmani,” ujar Iyas kemudian.
Merasa kalah dengan argumen dari Iyas, guru itu memberikan isyarat dengan tangannya sambil berkata kepada Iyas, “Semoga Allah mematikanmu sebelum dewasa.”
Menjadi Hakim
Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni, lahir pada tahun 46 H di daerah Yamamah Najed. Kemudian beliau berpindah ke Bashrah beserta seluruh keluarganya. Di sanalah beliau tumbuh berkembang dan belajar.
Beliau sering mondar-mandir ke Damaskus saat masih belia, tentunya untuk menimba ilmu dari sisa-sisa sahabat yang mulia dan tokoh-tokoh tabi’in yang agung.
Pada suatu malam, Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz tidak bisa tidur. Hilang rasa kantuknya. Beliau tidak mampu memejamkan matanya. Resah dan gelisah hatinya. Di saat malam yang dingin itu, di Damsyik pikiran beliau sedang sibuk dengan urusan pemilihan hakim Bashrah. Harapannya adalah agar bisa menegakkan keadilan di tengah manusia, yang akan menjadi menghukum dengan hukum Allah Ta’ala diterapkan tanpa gentar dan gila pujian.
Pilihannya jatuh pada dua orang yang dipandangnya bak kuda balap kembar dalam ilmu fiqih. Keduanya tegas dan kukuh dalam kebenaran, cemerlang pemikiran-pemikirannya dan tepat dalam pandangannya. Jika didapatkan satu keunggulan tertentu dari salah satu dari keduanya, ia memiliki keunggulan lain yang mampu mengimbanginya.