Kisah Pertentangan Politik Abu Bakar dengan Umar bin Khattab yang Paling Menonjol
Senin, 16 Mei 2022 - 21:14 WIB
Umar bin Khattab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dua orang sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga. Selain itu, Rasulullah juga mengistimewakan keduanya. Hanya saja, dalam hal urusan politik keduanya tidak bisa dianggap sama.
Dari Hudzaifah radliyallahu'anhu berkata: 'Kami duduk-duduk di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidak tahu sampai kapan aku akan hidup bersama kalian, oleh karena itu teladanilah dua orang sepeninggalku (sambil menunjuk Abu Bakar dan Umar bin Khattab)". (Hadis Jami' At-Tirmidzi No. 3596)
Dari Amru bin al-Ash, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil:
"Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya 'Siapa manusia yang paling engkau cintai?' beliau bersabda: "Aisyah". Aku berkata: 'Kalau dari lelaki?' Beliau menjawab: "ayahnya (Abu Bakar)". 'Lalu siapa?' Beliau menjawab: "Umar" lalu menyebutkan beberapa orang lelaki." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dua figur yang sama-sama dicintai Nabi ini tidak serta merta selalu sependapat dalam masalah politik. Terkadang keduanya berbeda tajam dalam beberapa hal.
Kebijakan Abu Bakar sesudah dibaiat menjadi khalifah, tidak ingin ia meninggalkan apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan tidak akan melakukan tindakan apa pun yang tidak dilakukan oleh Rasulullah.
Oleh karena itu, perintah pertama yang dikeluarkan dalam pemerintahannya ialah meneruskan pengiriman pasukan yang sudah disiapkan Rasulullah dengan pimpinan Usamah bin Zaid untuk menyerbu Romawi di Syam.
Sejak masa Rasulullah, kaum Muslimin memang sudah tidak puas dengan perintah ini, sebab Usamah masih terlalu muda dalam usianya yang belum mencapai dua puluh tahun itu. Yang membuat mereka lebih tidak puas karena dikhawatirkan Madinah akan terperangkap ke dalam bahaya kalau Madinah ditinggalkan pasukan ini; orang-orang Arab akan menyerbunya dan akan merongrong kewibawaannya.
Mereka berkata kepada Abu Bakar: "Mereka [yakni pasukan Usamah] Muslimin pilihan, dan seperti Anda ketahui, orang-orang Arab sudah memberontak kepada Anda. Maka semestinya mereka terpisah dari Anda."
Abu Bakar menjawab dengan cukup bijak: "Demi Yang memegang nyawa Abu Bakar, sekiranya ada serigala akan menerkam saya, niscaya akan saya teruskan pengiriman pasukan Usamah ini, seperti yang sudah diperintahkan Rasulullah SAW. Sekalipun di kota ini sudah tak ada orang lagi selain saya, tetap akan saya laksanakan!"
Adakah politik Umar dalam situasi semacam ini sama dengan politik Abu Bakar dalam arti kekuatan dan kebijaksanaannya? Ada disebutkan bahwa Usamah meminta kepada Umar agar memintakan izin kepada Abu Bakar memanggil pasukan ke Madinah untuk membantu dalam menghadapi kaum musyrik.
Kaum Ansar berkata kepada Umar: "Kalau Abu Bakar menolak dan kami harus berangkat juga tolong sampaikan atas nama kami, agar yang memimpin kami orang yang usianya lebih tua dari Usamah."
Permintaan Usamah dan permintaan Ansar itu oleh Umar tidak ditolak. Ia langsung menemui Abu Bakar dan menyampaikan apa yang mereka minta. Tetapi jawaban Khalifah: "Sekiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam."
Dan mengenai permintaan Ansar ia berkata: "Celaka Anda Umar! Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang menempatkan dia, lalu saya yang akan mencabutnya?"
Pasukan Usamah pun akhirnya berangkat. Di antara anggota pasukannya itu terdapat tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Ansar, termasuk Umar bin Khattab, yang tidak berbeda dengan yang lain, harus tunduk kepada kepemimpinan Usamah sebagai komandan pasukan.
Abu Bakar juga ikut pergi melepas dan menyampaikan pesan kepada pasukan itu. Setelah tiba saatnya ia akan kembali, ia berkata kepada Usamah: "Usamah, kalau menurut pendapat Anda Umar perlu diperbantukan kepada saya, silakan." Usamah mengizinkan Umar meninggalkan pasukannya itu dan kembali (ke Madinah) bersama Abu Bakar.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Umar bin Khattab” mengatakan sebaiknya kita berhenti sejenak untuk memberikan perhatian tentang perbedaan haluan politik ini antara Abu Bakar dengan Umar. “Abu Bakar hanya seorang pengikut, bukan pembaru. Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah akan dikerjakannya. Terserah apa yang akan dikatakan oleh kaum Muslimin, kendati mereka akan menentang pendapatnya. Ia tak akan mendengarkan apa yang mereka katakan selama perintah itu dari Rasulullah,” tulisnya.
Perintah Rasulullah agar meneruskan pengiriman pasukan Usamah, maka perintah ini harus terlaksana. Menurut Haikal, biar Muhajirin dan Ansar berselisih, biar seluruh jazirah berontak. Madinah sekalipun, biar terperangkap dalam bahaya. Semua itu tidak akan membuat Abu Bakar mundur dari melaksanakan perintah Rasulullah.
Dari Hudzaifah radliyallahu'anhu berkata: 'Kami duduk-duduk di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidak tahu sampai kapan aku akan hidup bersama kalian, oleh karena itu teladanilah dua orang sepeninggalku (sambil menunjuk Abu Bakar dan Umar bin Khattab)". (Hadis Jami' At-Tirmidzi No. 3596)
Dari Amru bin al-Ash, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil:
"Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya 'Siapa manusia yang paling engkau cintai?' beliau bersabda: "Aisyah". Aku berkata: 'Kalau dari lelaki?' Beliau menjawab: "ayahnya (Abu Bakar)". 'Lalu siapa?' Beliau menjawab: "Umar" lalu menyebutkan beberapa orang lelaki." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dua figur yang sama-sama dicintai Nabi ini tidak serta merta selalu sependapat dalam masalah politik. Terkadang keduanya berbeda tajam dalam beberapa hal.
Kebijakan Abu Bakar sesudah dibaiat menjadi khalifah, tidak ingin ia meninggalkan apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan tidak akan melakukan tindakan apa pun yang tidak dilakukan oleh Rasulullah.
Oleh karena itu, perintah pertama yang dikeluarkan dalam pemerintahannya ialah meneruskan pengiriman pasukan yang sudah disiapkan Rasulullah dengan pimpinan Usamah bin Zaid untuk menyerbu Romawi di Syam.
Sejak masa Rasulullah, kaum Muslimin memang sudah tidak puas dengan perintah ini, sebab Usamah masih terlalu muda dalam usianya yang belum mencapai dua puluh tahun itu. Yang membuat mereka lebih tidak puas karena dikhawatirkan Madinah akan terperangkap ke dalam bahaya kalau Madinah ditinggalkan pasukan ini; orang-orang Arab akan menyerbunya dan akan merongrong kewibawaannya.
Mereka berkata kepada Abu Bakar: "Mereka [yakni pasukan Usamah] Muslimin pilihan, dan seperti Anda ketahui, orang-orang Arab sudah memberontak kepada Anda. Maka semestinya mereka terpisah dari Anda."
Abu Bakar menjawab dengan cukup bijak: "Demi Yang memegang nyawa Abu Bakar, sekiranya ada serigala akan menerkam saya, niscaya akan saya teruskan pengiriman pasukan Usamah ini, seperti yang sudah diperintahkan Rasulullah SAW. Sekalipun di kota ini sudah tak ada orang lagi selain saya, tetap akan saya laksanakan!"
Adakah politik Umar dalam situasi semacam ini sama dengan politik Abu Bakar dalam arti kekuatan dan kebijaksanaannya? Ada disebutkan bahwa Usamah meminta kepada Umar agar memintakan izin kepada Abu Bakar memanggil pasukan ke Madinah untuk membantu dalam menghadapi kaum musyrik.
Kaum Ansar berkata kepada Umar: "Kalau Abu Bakar menolak dan kami harus berangkat juga tolong sampaikan atas nama kami, agar yang memimpin kami orang yang usianya lebih tua dari Usamah."
Permintaan Usamah dan permintaan Ansar itu oleh Umar tidak ditolak. Ia langsung menemui Abu Bakar dan menyampaikan apa yang mereka minta. Tetapi jawaban Khalifah: "Sekiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam."
Dan mengenai permintaan Ansar ia berkata: "Celaka Anda Umar! Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang menempatkan dia, lalu saya yang akan mencabutnya?"
Pasukan Usamah pun akhirnya berangkat. Di antara anggota pasukannya itu terdapat tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Ansar, termasuk Umar bin Khattab, yang tidak berbeda dengan yang lain, harus tunduk kepada kepemimpinan Usamah sebagai komandan pasukan.
Abu Bakar juga ikut pergi melepas dan menyampaikan pesan kepada pasukan itu. Setelah tiba saatnya ia akan kembali, ia berkata kepada Usamah: "Usamah, kalau menurut pendapat Anda Umar perlu diperbantukan kepada saya, silakan." Usamah mengizinkan Umar meninggalkan pasukannya itu dan kembali (ke Madinah) bersama Abu Bakar.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Umar bin Khattab” mengatakan sebaiknya kita berhenti sejenak untuk memberikan perhatian tentang perbedaan haluan politik ini antara Abu Bakar dengan Umar. “Abu Bakar hanya seorang pengikut, bukan pembaru. Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah akan dikerjakannya. Terserah apa yang akan dikatakan oleh kaum Muslimin, kendati mereka akan menentang pendapatnya. Ia tak akan mendengarkan apa yang mereka katakan selama perintah itu dari Rasulullah,” tulisnya.
Perintah Rasulullah agar meneruskan pengiriman pasukan Usamah, maka perintah ini harus terlaksana. Menurut Haikal, biar Muhajirin dan Ansar berselisih, biar seluruh jazirah berontak. Madinah sekalipun, biar terperangkap dalam bahaya. Semua itu tidak akan membuat Abu Bakar mundur dari melaksanakan perintah Rasulullah.