Hadis Palsu Bisa Menggelincirkan Umat pada Kedustaan yang Disandarkan kepada Rasulullah SAW
Rabu, 06 Juli 2022 - 16:37 WIB
Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani mengatakan hadis maudhu atau palsu, bisa juga disebut hadis hoaks, bisa membuat umat tergelincir dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW .
"Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail," ujar Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam kitabnya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" dan telah diterjemahkan AM Basamalah dengan judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'.
Sembari berdoa agar kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya, Al-Albani mengambil contoh satu hadis maudhu yang berbunyi:
"Siapa saja yang memberi makan saudaranya dengan roti hingga kenyang dan memberinya minum hingga cukup, Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh tujuh khandaq. Jarak antara dua khandaq adalah perjalanan lima ratus tahun."
Menurut Al-Albani, hadis maudhu' ini telah diriwayatkan oleh al-Hakim, I/ 95, juga oleh Ibnu Asakir II/115, dari sanad Idris bin Yahya al-Khaulani, dari Raja bin Abi Atha.
"Ada kemusykilan dalam riwayat ini," katanya. "Pada satu sisi al-Hakim berkata sanadnya sahih seperti juga disepakati oleh adz-Dzahabi, namun pada sisi lain ia berkata bahwa Raja ini tidak ada yang mempercayainya, bahkan termasuk orang yang tertuduh."
Kemudian, dengarkan apa yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan, "Shuwailih telah dikatakan oleh al-Hakim sebagai seorang perawi hadis maudhu'." Pernyataan seperti itu juga diungkapkan oleh Ibnu Hibban.
Jadi, di satu pihak Ibnu Hibban memvonis hadis tersebut sebagai hadis maudhu', sedangkan di pihak lain al-Hakim memvonis sebagai riwayat yang sahih sanadnya. "Kini, saya benar-benar merasa tidak mengetahui, bagaimana menyatukan dua vonis peneliti sekaligus perawi hadis itu," ujar Syaikh Al-Albani.
"Saya juga tidak mengetahui bagaimana menyatukan pernyataan adz-Dzahabi tentang Shuwailih dengan kesepakatan akan pernyataan al-Hakim," lanjutnya.
Menurut Syaikh Al-Albani, hadis tersebut telah dikecam oleh al-Haitsami dalam kitab al-Mujma' II/130. Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir juga berkata, "Dalam sanadnya terdapat Raja bin Abi Atha. Dia sangat lemah."
Sungguh pernyataan al-Hakim itu merupakan kekaburan yang mengkhawatirkan. "Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail, agar dapat mencegah tergelincirnya umat dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Semoga kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya," tutur Syaikh Al-Albani.
Fitnah Besar
Al-Albani mengatakan salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis dha'if dan maudhu' di kalangan umat.
Hal itu juga menimpa para ulama kecuali sederetan pakar hadis dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain. "Tersebarnya hadis-hadis semacam itu di seluruh wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa," ujarnya.
Di antaranya adalah terjadinya perusakan segi akidah terhadap hal-hal gaib, segi syariat, dan sebagainya. Telah menjadi kehendak Illahi Yang Maha Bijaksana untuk tidak membiarkan hadis-hadis semacam itu berserakan di sana-sini tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok orang berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif serta menyingkap tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya kepada khalayak.
Mereka itulah para pakar hadis asy syarif, para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah didoakan Rasulullah SAW dengan sabdanya:
"Allah SWT membaikkan kedudukan seseorang yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi pengemban fikih akan menyampaikannya kepada yang lebih pandai darinya." (HR Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban).
"Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail," ujar Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam kitabnya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" dan telah diterjemahkan AM Basamalah dengan judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'.
Sembari berdoa agar kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya, Al-Albani mengambil contoh satu hadis maudhu yang berbunyi:
"Siapa saja yang memberi makan saudaranya dengan roti hingga kenyang dan memberinya minum hingga cukup, Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh tujuh khandaq. Jarak antara dua khandaq adalah perjalanan lima ratus tahun."
Menurut Al-Albani, hadis maudhu' ini telah diriwayatkan oleh al-Hakim, I/ 95, juga oleh Ibnu Asakir II/115, dari sanad Idris bin Yahya al-Khaulani, dari Raja bin Abi Atha.
"Ada kemusykilan dalam riwayat ini," katanya. "Pada satu sisi al-Hakim berkata sanadnya sahih seperti juga disepakati oleh adz-Dzahabi, namun pada sisi lain ia berkata bahwa Raja ini tidak ada yang mempercayainya, bahkan termasuk orang yang tertuduh."
Kemudian, dengarkan apa yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan, "Shuwailih telah dikatakan oleh al-Hakim sebagai seorang perawi hadis maudhu'." Pernyataan seperti itu juga diungkapkan oleh Ibnu Hibban.
Jadi, di satu pihak Ibnu Hibban memvonis hadis tersebut sebagai hadis maudhu', sedangkan di pihak lain al-Hakim memvonis sebagai riwayat yang sahih sanadnya. "Kini, saya benar-benar merasa tidak mengetahui, bagaimana menyatukan dua vonis peneliti sekaligus perawi hadis itu," ujar Syaikh Al-Albani.
"Saya juga tidak mengetahui bagaimana menyatukan pernyataan adz-Dzahabi tentang Shuwailih dengan kesepakatan akan pernyataan al-Hakim," lanjutnya.
Menurut Syaikh Al-Albani, hadis tersebut telah dikecam oleh al-Haitsami dalam kitab al-Mujma' II/130. Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir juga berkata, "Dalam sanadnya terdapat Raja bin Abi Atha. Dia sangat lemah."
Sungguh pernyataan al-Hakim itu merupakan kekaburan yang mengkhawatirkan. "Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail, agar dapat mencegah tergelincirnya umat dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Semoga kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya," tutur Syaikh Al-Albani.
Fitnah Besar
Al-Albani mengatakan salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis dha'if dan maudhu' di kalangan umat.
Hal itu juga menimpa para ulama kecuali sederetan pakar hadis dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain. "Tersebarnya hadis-hadis semacam itu di seluruh wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa," ujarnya.
Di antaranya adalah terjadinya perusakan segi akidah terhadap hal-hal gaib, segi syariat, dan sebagainya. Telah menjadi kehendak Illahi Yang Maha Bijaksana untuk tidak membiarkan hadis-hadis semacam itu berserakan di sana-sini tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok orang berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif serta menyingkap tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya kepada khalayak.
Mereka itulah para pakar hadis asy syarif, para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah didoakan Rasulullah SAW dengan sabdanya:
"Allah SWT membaikkan kedudukan seseorang yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi pengemban fikih akan menyampaikannya kepada yang lebih pandai darinya." (HR Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban).