Bolehkah Menggunakan Hadis Dhaif, Maudhu dan Mengamalkannya?

Selasa, 04 Februari 2025 - 18:39 WIB
loading...
Bolehkah Menggunakan...
Fakta dari hadis dhaif dan hadis maudhu yang berbeda pengertiannya ini cukup banyak dan disebarkan di kalangan masyarakat. Foto ilustrasi/ist
A A A
Bolehkah menggunakan hadis dhaif , maudhu dan mengamalkannya? Fakta dari dua jenis hadis berbeda pengertiannya ini cukup banyak dan disebarkan di kalangan masyarakat.

Yang dimaksud dengan hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih, semisal karena terputusnya sanad.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan hadis maudhu’ adalah hadis yang dikarang-karang oleh orang yang berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenai orang-orang semacam itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ


“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan dia ambil tempat duduknya di neraka.”

Hadis Dhaif Berbeda dengan Hadis Palsu

Ustaz Ahmad Sharwat, dai dari Rumah Fiqih Indonesia menjelaskan, perlu untuk kita ketahui bersama bahwa hadis dhaif itu sendiri berbeda sekali dengan hadis palsu. Hadis dhaif masih dianggap sebagai hadis nabi, hanya saja sebagian ulama dengan kriteria yang sangat ketat menganggap bahwa sebagian perawinya tidak lulus standar 'adil dan dhabith yang mereka tetapkan. Sementara ulama hadits lainnya, mungkin tidak seketat mereka dalam mencari cacat dan aib seorang perawi hadits.

Dan yang paling terkenal sangat ketat dalam masalah menyeleksi para perawi hadis adalah Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Pantaslah kalau kedua kitab shahih mereka dinobatkan menjadi kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al-Quran. Hal itu lantaran mereka berdua sangat streng, ketat, tajam dan 'tidak kenal ampun' dalam upaya mereka.

Konon dari sekitar 50 ribuan hadis yang Al-Bukhari seleksi, hanya tersisa sekitar 5.000-an saja yang dianggap shahih. Itu pun ada banyak hadits yang terulang-ulang. Sehingga angka sesungguhnya hanya sekitar 2.000-an hadits saja.

Rupanya, tidak semua hadis yang dianggap tidak lolos seleksi itu pasti dhaifnya. Sebab di luar hadis shahih yang ditetapkan oleh Al-Bukhari, masih banyak hadits shahih. Contohnya adalah kitab shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Banyak sekali hadis yang tidak lolos seleksi oleh Al-Buhari, tapi oleh Imam Muslim diloloskan. Dan berlaku juga dengan sebaliknya.

Kalau pada hadis shahih, para ulama hadis telah berbeda pendapat dalam penentuannya, maka demikian juga halnya dengan hadits dhaif, mereka pun sudah pasti berbeda pendapat juga. Maka sangat mungkin ada sebuah hadis yang dikatakan dhaif oleh si fulan, tetapi tidak didhaifkan oleh ulama lainnya.

Kesimpulannya, khilaf atau beda pendapat itu bukan terjadi di kalangan ahli fiqih saja, tetapi di kalangan ahli hadits pun tidak kalah serunya perbedaan itu.

Bolehkan Mengamalkan Hadis Dhaif dan Maudhu?

Menurut Ustaz Ahmad Sharwat, para ulama berbeda pendapat tentang mengamalkan hadis dhaif ini. Menurutnya, paling tidak kita bisa mendapatkan tiga kecenderungan yang berbeda dalam menanggapi masalah hadis dhaif tersebut.

1. Kelompok Pertama

Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nashehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya.

2. Kelompok Kedua

Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.

Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:

Hadis dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadis dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.

Hadis itu punya asal yang menaungi di bawahnya. Hadis itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum. Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

3. Kelompok Ketiga

Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadis dhaif, asal bukan hadis palsu (maudhu'). Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,'Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan." Wallahu A'lam

(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3292 seconds (0.1#10.140)