Kesaksian Shafiyah: Ini Mengapa sang Ayah yang Tokoh Yahudi Madinah Menolak Masuk Islam
Selasa, 26 Juli 2022 - 16:10 WIB
Rasulullah SAW sampai di Quba' di pinggiran kota Yatsrib pada bulan Rabiul Awal tahun pertama Hijrah (1 H, bertepatan dengan 622 M), dan beliau disambut dengan ramah oleh para sahabat Anshar. Di sinilah kontak pertama kali Nabi SAW dengan orang-orang Yahudi .
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" mengatakan itu terjadi sebelum beliau berangkat ke Yatsrib yang kemudian dikenal dengan nama Madinah atau Madinah ar-Rasul.
"Setidaknya begitulah riwayat-riwayat menyebut," ujarnya, dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan oleh Indi Aunullah.
Dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, Ibnu Ishaq meriwayatkan kesaksian Shafiyah binti Huyay bin Akhthab , yang belakangan dinikahi Rasulullah, mengenai kontak pertama antara orang-orang Yahudi dan sang Nabi.
Shafiyah mengutarakan, “Ketika Rasulullah datang ke Madinah, beliau singgah di Quba' di tempat Bani Amr bin Auf. Ayahku, Huyay bin Akhthab, dan pamanku, Abu Yasir bin Akhthab, mendatanginya pagi-pagi dengan mengenakan selimut penutup dan baru kembali saat matahari terbenam."
"Mereka pulang dalam keadaan lelah, lesu, dan lemas. Mereka berjalan gontai. Aku menyambut keduanya dengan ceria seperti biasa tetapi, demi Allah, tak satu pun dari mereka menoleh kepadaku. Keduanya terlihat menanggung kesusahan."
Lalu kudengar pamanku bertanya kepada ayahku: 'Apakah benar dia orangnya?'
Ayahku menjawab, 'Iya, demi Tuhan.'
'Apakah kamu mengenalnya?' pamanku kembali bertanya.
'Iya,' jawab Ayah.
'Lalu bagaimana sikapmu?' tanya paman lagi.
Ayah pun menjawab, 'Demi Tuhan, aku akan memusuhinya selama masih hidup.'
Di antara yang memperkuat riwayat Shafiyah mengenai permusuhan ayahnya terhadap Nabi Muhammad adalah laporan Urwah bin az-Zubair, bahwa orang Yahudi pertama yang mendatangi Rasulullah adalah Abu Yasir bin Akhthab.
Setelah pulang, Urwah mendengarnya berseru kepada kaumnya, “Percayalah padaku, inilah nabi yang kita tunggu-tunggu.”
Namun saudaranya, Huyay bin Akhthab, menentangnya, padahal, Huyay inilah yang disegani kaumnya. Dia dikuasai setan, sehingga alih-alih mengindahkan seruan Abu Yasir, mereka malah mengikuti perkataan Huyay.
Muhammad bin Fariz al-Jamil mengatakan bagaimanapun juga, terlepas dari perbedaan berbagai riwayat mengenai orang Yahudi pertama yang mendatangi Rasulullah, apakah Abu Yasir bin Akhthab atau saudaranya, Huyay, isi perjumpaan itu dan akibat yang ditimbulkannya tidak berbeda: pada akhirnya mereka tidak mengakui kenabian beliau, mendustakan dan memusuhinya.
Menurut Muhammad bin Fariz al-Jamil, kesaksian Ummul Mukminin Shafiyah di atas tidak menjelaskan kepada kita apa yang terjadi antara sang Rasul dan ayah serta pamannya sehingga keduanya pulang dalam keadaan susah dan lesu.
Namun, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, selama mereka menghabiskan sehari penuh bersama Rasulullah, tidaklah mustahil terjadi perdebatan dan dialog yang membuat kedua Yahudi ini yakin akan kenabian Muhammad, yang karena itu mereka memusuhinya.
Dalam riwayat lain yang dilaporkan Ibnu Ishaq, terdapat penjelasan yang mengungkap rahasia permusuhan ini serta menegaskan bahwa Huyay bin Akhthab dan saudaranya, Abu Yasir, adalah orang Yahudi yang paling iri kepada bangsa Arab. Karena, Allah mengistimewakan bangsa Arab dengan pengutusan Rasul-Nya. Mereka berdua pun berusaha sekuat tenaga untuk mencegah orang masuk Islam.
Firman Allah berikut berkaitan dengan dua tokoh Yahudi itu, “Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” ( QS al-Baqarah (2) : 109).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , bahwa ayat ini turun mengenai Huyay bin Akhthab dan saudaranya, Abu Yasir, karena kedengkian mereka terhadap orang-orang Arab yang diistimewakan Allah dengan kerasulan Muhammad.
Dari penjelasan di atas, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, jelaslah bahwa sikap Huyay dan Abu Yasir terhadap sang Nabi tidak benar dari segi motifnya. Maksudnya, mereka memperlihatkan pengingkaran atas Muhammad sebagai nabi utusan Allah, tetapi dalam lubuk hati mereka mengakui hal sebaliknya.
Kedengkian lantaran dia merupakan orang Arablah yang mendorong keduanya mengabaikan rasio dan logika. Akibatnya, kaum mereka terhalang dari membenarkan kenabian beliau dan mengikuti ajarannya.
Kemudian ketika Rasulullah berpindah dari Quba' ke Yatsrib, Yahudi pertama yang masuk Islam dari Bani Qainuga adalah rabi dan orang paling berilmu di antara mereka, al-Hushain bin Salam bin al-Harits.
Setelah masuk Islam, dia diberi nama baru oleh beliau: Abdullah. Bersama dia, masuk Islam juga seluruh keluarga dan bibinya, Khalidah binti al-Harits.
Abdullah bin Salam pun menelanjangi kaum Yahudi, dengan mengungkapkan berbagai penyimpangan mereka dalam perdebatan di hadapan Rasulullah.
Kepada mantan kaumnya ini, dia berkata, “Wahai orang-orang Yahudi, takutlah kalian kepada Allah dan terimalah apa yang diutus-Nya kepada kalian. Sesungguhnya, kalian mengetahui dia adalah utusan Allah. Kalian juga mendapati dia tertulis dalam Taurat dengan nama dan sifat-sifatnya.”
Sungguh aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah, aku beriman kepadanya, serta aku membenarkan dan mengakuinya.”
Akan tetapi, kaumnya menjawab, “Engkau berdusta!” Riwayat ini tidak menyebutkan apakah kemudian Abdullah memberitahu Rasulullah dan para sahabatnya penjelasan tertulis dalam Taurat mengenai pertanda kenabian tersebut atau tidak.
Dalam riwayat dari Sa'id bin Jubair (w. 94 H), terdapat kemiripan dari beberapa segi dengan riwayat Abdullah bin Salam. Sa'id menuturkan, Maimun bin Yamin, seorang pemimpin Yahudi, datang kepada Rasulullah dan menyarankan, 'Kirimlah utusan kepada kaum itu, dan jadikan aku mediator, niscaya mereka mendengarkanku.'
Beliau pun mengutus salah seorang Sahabat guna meminta orang-orang Yahudi datang. Setelah berkumpul, beliau berseru, “Pilihlah seseorang untuk menengahi antara aku dan kalian.”
Mereka menjawab, “Kami percaya pada Maimun bin Yamin.”
Kemudian, beliau menemui Maimun dan berkata, “Keluarlah, temui mereka.”
Maimun keluar dan berkata, “Aku bersaksi bahwa dia utusan Allah.” Alhasil, mereka tetap enggan membenarkan persaksian Maimun.
Maka itu, al-Quran turun menegur orang-orang Yahudi yang ingkar, menyebut mereka zalim, seraya memuji persaksian Abdullah bin Salam akan kebenaran Rasulullah dan kenabiannya dalam ayat berikut:
“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku, bagaimana pendapatmu jika benar-benar (al-Quran) ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) al-Ouran lalu dia beriman, tetapi kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” ( QS al-Ahqaf (46) : 10).
Meskipun demikian, pemuka kaum Yahudi seperti Huyay bin Akhthab dan Ka'ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah, dan yang lainnya tetap membangkang dan bersikap sombong. Mereka menyanggah Abdullah, “Tidak ada kenabian dalam bangsa Arab, tetapi temanmu itu (Muhammad) adalah seorang raja.”
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" mengatakan itu terjadi sebelum beliau berangkat ke Yatsrib yang kemudian dikenal dengan nama Madinah atau Madinah ar-Rasul.
"Setidaknya begitulah riwayat-riwayat menyebut," ujarnya, dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan oleh Indi Aunullah.
Dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, Ibnu Ishaq meriwayatkan kesaksian Shafiyah binti Huyay bin Akhthab , yang belakangan dinikahi Rasulullah, mengenai kontak pertama antara orang-orang Yahudi dan sang Nabi.
Shafiyah mengutarakan, “Ketika Rasulullah datang ke Madinah, beliau singgah di Quba' di tempat Bani Amr bin Auf. Ayahku, Huyay bin Akhthab, dan pamanku, Abu Yasir bin Akhthab, mendatanginya pagi-pagi dengan mengenakan selimut penutup dan baru kembali saat matahari terbenam."
"Mereka pulang dalam keadaan lelah, lesu, dan lemas. Mereka berjalan gontai. Aku menyambut keduanya dengan ceria seperti biasa tetapi, demi Allah, tak satu pun dari mereka menoleh kepadaku. Keduanya terlihat menanggung kesusahan."
Lalu kudengar pamanku bertanya kepada ayahku: 'Apakah benar dia orangnya?'
Ayahku menjawab, 'Iya, demi Tuhan.'
'Apakah kamu mengenalnya?' pamanku kembali bertanya.
'Iya,' jawab Ayah.
'Lalu bagaimana sikapmu?' tanya paman lagi.
Ayah pun menjawab, 'Demi Tuhan, aku akan memusuhinya selama masih hidup.'
Baca Juga
Di antara yang memperkuat riwayat Shafiyah mengenai permusuhan ayahnya terhadap Nabi Muhammad adalah laporan Urwah bin az-Zubair, bahwa orang Yahudi pertama yang mendatangi Rasulullah adalah Abu Yasir bin Akhthab.
Setelah pulang, Urwah mendengarnya berseru kepada kaumnya, “Percayalah padaku, inilah nabi yang kita tunggu-tunggu.”
Namun saudaranya, Huyay bin Akhthab, menentangnya, padahal, Huyay inilah yang disegani kaumnya. Dia dikuasai setan, sehingga alih-alih mengindahkan seruan Abu Yasir, mereka malah mengikuti perkataan Huyay.
Muhammad bin Fariz al-Jamil mengatakan bagaimanapun juga, terlepas dari perbedaan berbagai riwayat mengenai orang Yahudi pertama yang mendatangi Rasulullah, apakah Abu Yasir bin Akhthab atau saudaranya, Huyay, isi perjumpaan itu dan akibat yang ditimbulkannya tidak berbeda: pada akhirnya mereka tidak mengakui kenabian beliau, mendustakan dan memusuhinya.
Menurut Muhammad bin Fariz al-Jamil, kesaksian Ummul Mukminin Shafiyah di atas tidak menjelaskan kepada kita apa yang terjadi antara sang Rasul dan ayah serta pamannya sehingga keduanya pulang dalam keadaan susah dan lesu.
Namun, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, selama mereka menghabiskan sehari penuh bersama Rasulullah, tidaklah mustahil terjadi perdebatan dan dialog yang membuat kedua Yahudi ini yakin akan kenabian Muhammad, yang karena itu mereka memusuhinya.
Dalam riwayat lain yang dilaporkan Ibnu Ishaq, terdapat penjelasan yang mengungkap rahasia permusuhan ini serta menegaskan bahwa Huyay bin Akhthab dan saudaranya, Abu Yasir, adalah orang Yahudi yang paling iri kepada bangsa Arab. Karena, Allah mengistimewakan bangsa Arab dengan pengutusan Rasul-Nya. Mereka berdua pun berusaha sekuat tenaga untuk mencegah orang masuk Islam.
Firman Allah berikut berkaitan dengan dua tokoh Yahudi itu, “Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” ( QS al-Baqarah (2) : 109).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , bahwa ayat ini turun mengenai Huyay bin Akhthab dan saudaranya, Abu Yasir, karena kedengkian mereka terhadap orang-orang Arab yang diistimewakan Allah dengan kerasulan Muhammad.
Dari penjelasan di atas, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, jelaslah bahwa sikap Huyay dan Abu Yasir terhadap sang Nabi tidak benar dari segi motifnya. Maksudnya, mereka memperlihatkan pengingkaran atas Muhammad sebagai nabi utusan Allah, tetapi dalam lubuk hati mereka mengakui hal sebaliknya.
Kedengkian lantaran dia merupakan orang Arablah yang mendorong keduanya mengabaikan rasio dan logika. Akibatnya, kaum mereka terhalang dari membenarkan kenabian beliau dan mengikuti ajarannya.
Kemudian ketika Rasulullah berpindah dari Quba' ke Yatsrib, Yahudi pertama yang masuk Islam dari Bani Qainuga adalah rabi dan orang paling berilmu di antara mereka, al-Hushain bin Salam bin al-Harits.
Setelah masuk Islam, dia diberi nama baru oleh beliau: Abdullah. Bersama dia, masuk Islam juga seluruh keluarga dan bibinya, Khalidah binti al-Harits.
Abdullah bin Salam pun menelanjangi kaum Yahudi, dengan mengungkapkan berbagai penyimpangan mereka dalam perdebatan di hadapan Rasulullah.
Kepada mantan kaumnya ini, dia berkata, “Wahai orang-orang Yahudi, takutlah kalian kepada Allah dan terimalah apa yang diutus-Nya kepada kalian. Sesungguhnya, kalian mengetahui dia adalah utusan Allah. Kalian juga mendapati dia tertulis dalam Taurat dengan nama dan sifat-sifatnya.”
Sungguh aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah, aku beriman kepadanya, serta aku membenarkan dan mengakuinya.”
Akan tetapi, kaumnya menjawab, “Engkau berdusta!” Riwayat ini tidak menyebutkan apakah kemudian Abdullah memberitahu Rasulullah dan para sahabatnya penjelasan tertulis dalam Taurat mengenai pertanda kenabian tersebut atau tidak.
Dalam riwayat dari Sa'id bin Jubair (w. 94 H), terdapat kemiripan dari beberapa segi dengan riwayat Abdullah bin Salam. Sa'id menuturkan, Maimun bin Yamin, seorang pemimpin Yahudi, datang kepada Rasulullah dan menyarankan, 'Kirimlah utusan kepada kaum itu, dan jadikan aku mediator, niscaya mereka mendengarkanku.'
Beliau pun mengutus salah seorang Sahabat guna meminta orang-orang Yahudi datang. Setelah berkumpul, beliau berseru, “Pilihlah seseorang untuk menengahi antara aku dan kalian.”
Mereka menjawab, “Kami percaya pada Maimun bin Yamin.”
Kemudian, beliau menemui Maimun dan berkata, “Keluarlah, temui mereka.”
Maimun keluar dan berkata, “Aku bersaksi bahwa dia utusan Allah.” Alhasil, mereka tetap enggan membenarkan persaksian Maimun.
Maka itu, al-Quran turun menegur orang-orang Yahudi yang ingkar, menyebut mereka zalim, seraya memuji persaksian Abdullah bin Salam akan kebenaran Rasulullah dan kenabiannya dalam ayat berikut:
“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku, bagaimana pendapatmu jika benar-benar (al-Quran) ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) al-Ouran lalu dia beriman, tetapi kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” ( QS al-Ahqaf (46) : 10).
Meskipun demikian, pemuka kaum Yahudi seperti Huyay bin Akhthab dan Ka'ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah, dan yang lainnya tetap membangkang dan bersikap sombong. Mereka menyanggah Abdullah, “Tidak ada kenabian dalam bangsa Arab, tetapi temanmu itu (Muhammad) adalah seorang raja.”
(mhy)