Syekh Syamsuddin al-Wasil: Pembimbing Rohani Prabu Jayabaya, Penyebar Islam Pertama di Kediri
Rabu, 03 Agustus 2022 - 16:58 WIB
Ada sebuah makam Islam tua di kompleks pemakaman Setana Gedong, Kota Kediri, Jawa Timur. Ini adalah makam Syekh Syamsuddin al-Wasil. Beliau adalah pendakwah asal Persia yang menyebarkan Islam pertama di Kediri . Beliaudiyakini sebagai pembimbing rohani Raja Kediri, Prabu Jayabaya.
Louis-Charles Damais melaporkan dalam Lepigraphie Musulmane Dans le Sud-est Asiatigue, inskripsi di makam Syekh Syamsuddin al-Wasil menyebutkan bahwa ia adalah “Al-Imamul Kamil”.
Buku "Sejarah Lengkap Islam Jawa" karya Husnul Hakim mengutip Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam "Lenigmatigue Inscription Musulmane du Magam de Kediri" memaparkan, untuk mengetahui siapa Syekh Syamsuddin al-Wasil, kita mesti merujuk pada tiga kata penting dalam inskripsi di makam tokoh itu, yaitu asy-Syafi'i madzhaban , al-Abarkuhi, dan al-Bahrayni.
Frasa pertama (asy-Syafi'i madzhaban) berarti bahwa Syekh Syamsuddin al-Wasil merupakan ulama bermazhab Syafi'i. Kata kedua (al-Abarkuhi) berhubungan dengan sebuah kota kecil di Iran, yang letaknya berada di antara Shiraz dan Yazd, yaitu Kota Abarkuh.
Sedangkan kata ketiga (al-Bahrayni) menyiratkan dua hal: mungkin berkaitan dengan Kepulauan Bahrain atau mungkin berkaitan dengan klan Arab, Bani al-Bahriyun, yang pada masa lampau berkelana di wilayah Irak.
Sayangnya, di inskripsi tersebut tidak terdapat tanggal kapan Syekh Syamsuddin al-Wasil dikuburkan. Sebab, ada bagian-bagian dari inskripsi yang rusak.
Namun, Habib Mustopo, guru besar Universitas Negeri Malang (UNISMA), dalam penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa Syekh Syamsuddin al-Wasil adalah ulama, mubaligh, yang hidup pada masa Kerajaan Kadiri, yakni abad ke-12.
Kitab Musyarar
Hal ini didasarkan pada naskah historiografi Jawa yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Di dalam naskah tersebut, disebutkan bahwa Syekh Syamsuddin al-Wasil merupakan ulama besar asal Persia. Ia datang ke Kadiri, menghadap ke hadapan Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya (Raja Kerajaan Kadiri), dan meminta izin untuk berdakwah dan mengajarkan kepada masyarakat Kitab Musyarar, sebuah kitab yang membahas mengenai ilmu falak dan ilmu ramalan.
Tertarik dengan kitab itu, sang raja mengizinkannya berdakwah di wilayah Kerajaan Kadiri, bahkan sang raja juga ikut belajar kitab itu.
Hal tersebut dibenarkan oleh manuskrip Kakawin Hariwangsa. Di dalam kakawin itu, digambarkan bahwa Dewa Wisnu telah pulang ke surga, tetapi turun kembali ke bumi pada Zaman Kali dalam diri Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya untuk menyelamatkan Jawa dari kehancuran. Sang raja diyakini sebagai titisan Dewa Wisnu.
Dan dalam tugasnya menyelamatkan Jawa itu, Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya dibimbing oleh Dewa Agastya yang berwujud Syekh Syamsuddin al-Wasil. Di dalam Kakawin Hariwangsa, diceritakan:
Ada sebuah negeri yang indah. Keindahannya laksana di dalam impian, disebut Pulau Jawa, sebuah pulau yang megah. Jawa adalah kitab dari Agastya yang sakti tiada banding. Pulau itu sekarang dihinggapi ketakutan, sehingga keindahannya lenyap. Kemudian berkumpul dewa-dewa bersama Hyang Aswi. Bersama-sama memohon dengan sangat kepada Bhatara Padmanabha. Untuk memperbaiki dan menjaga keindahan pulau tersebut. Dewa Hari ikut serta pergi ke sana. Kini ia telah benar-benar menjadi raja yang menyempurnakan lagi kehidupan hamba sahayanya. Ia adalah inkarnasi dari Madhusudana-awatara. Ia termasyhur dengan nama Sri Jaya-satru (Jayabhaya).
Agastya yang suci tidak ketinggalan dan buru-buru berinkarnasi menjadi biksu pandhita-adhikara, menjadi guru sang raja yang percaya dengan ajarannya. Ia menjadi pejabat tinggi yang dipatuhi di seluruh negeri. Raja memerintah di dunia dengan teguh. Semua musuh Sri Naranatha mengelu-elukannya disebabkan wibawa sang muni (petapa) yang besar, yang sangat mendalam pengetahuannya tentang mengatasi bahaya rohani. Ia berhasil menenteramkan kembali dunia. Setiap orang berusaha berbuat baik, hidup seperti santri mempelajari kitab suci. Kaum “parasit” yang miskin dan hina-dina mendadak didatangi kegembiraan. Apa yang dipikirkan raja dalam hati. Uang berlimpah seperti hujan turun sepanjang tahun, terwujud dalam kenyataan, menjadikan raja bersenang-senang menikmati kebahagiaan.
Di dalam kakawin ini, digambarkan bahwa Pulau Jawa merupakan sebuah pulau yang indah dan megah. Masyarakatnya tenteram dan makmur. Nilai-nilai kebijaksanaan dijalankan secara baik oleh rakyat dan pemimpinnya. Sehingga, dengan jalinan antara alam subur nan indah dan masyarakat yang damai bersahaja, hampir-hampir Jawa bagaikan pulau impian.
Namun, lambat laun, kehidupan moral masyarakat Jawa bobrok, melenceng jauh dari nilai-nilai kebijaksanaan. Pemimpinnya adalah seorang penindas sehingga rakyatnya tertekan dalam kubangan rasa takut. Kesewenang-wenangan merajalela, alamnya dieksploitasi, kriminalitas di akar rumput tumbuh subur. Praktis, Pulau Jawa diliputi oleh kegelapan.
Lantas, para dewa berkumpul di hadapan Hyang Aswi. Mereka sepakat untuk memohon kepada Bhatara Padmanabha untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Jawa yang sudah bobrok, agar cahaya kehidupan kembali menyinari si pulau impian, dan agar cahaya itu menyala selama-lamanya.
Permohonan mereka pun dikabulkan. Lalu, hiduplah seorang raja bijaksana, yang menyempurnakan hak-hak rakyatnya, yang menjadikan kembali kehidupan rakyat Pulau Jawa gilang gemilang. Ia adalah Sri Jaya-satru (Jayabhaya), yang merupakan inkarnasi dari Madhusudana-awatara (Dewa Wisnu).
Dalam memerintah rakyat Jawa, Jayabhaya dibimbing oleh Agastya yang suci, yang berinkarnasi menjadi pendeta. Keduanya berposisi sebagai guru dan murid. Sang guru memberikan ajaran kebijaksanaan, dan sang raja dengan patuh menjalankan ajarannya.
Sang raja memerintah negeri dengan teguh. Dan, sang pendeta dipatuhi oleh rakyat di seluruh Jawa disebabkan wibawanya yang besar sebagai “petapa” dan pengetahuannya tentang cara mengatasi bahaya rohani sangat mendalam.
Kehidupan rakyat Jawa pun kembali tenteram. Setiap orang berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan. Layaknya santri, mereka berbondong-bondong belajar kitab suci kepada sang Agastya. Yang dulunya miskin dan hina-dina, terangkat derajat sosial dan ekonominya, dan diliputi kebahagiaan.
Demikianlah kisah Kerajaan Kadiri pada zaman Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Ketika sudah khatam mengaji Kitab Musyarar kepada Syekh Syamsuddin al-Wasil dan sudah menjadi ahli dalam ilmu nujum (ramalan), Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya menulis sebuah catatan yang bertajuk Serat Jangka Jayabhaya.
Serat itu berisi ramalan tentang eksistensi Nusantara pada masa depan. Kini, jika kita mengenal tentang ramalan Jayabhaya, maka hal itu berasal dari Serat Jangka Jayabhaya.
Biksu Pandhita
Sebagian tafsir mengatakan bahwa guru Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya adalah Mpu Sedah. Namun, tafsir yang lain menyatakan bahwa Mpu Sedah adalah guru di bidang sastra. Sedangkan sang pembimbing rohani itu, yang disebut biksu pandhita-adikara, adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil.
Sebutan “biksu pandhita” lazim digunakan untuk menyebut para ulama Islam kala itu, seperti Sayyid Ali Murtadha disebut sebagai Raja Pandhita di Gresik, atau Maulana Malik Ibrahim disebut juga sebagai pandhita.
Jika dihubungkan antara inskripsi yang berada di makam Syekh Syamsuddin al-Wasil dengan naskah historiografi Jawa tersebut maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mubaligh itu berasal dari Persia, tepatnya dari sebuah kota kecil bernama Abarkuh.
Ia diyakini sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Kadiri. Masyarakat Kerajaan Kadiri sangat menghormatinya. Oleh karena itu, ketika ia wafat, Syekh Syamsuddin al-Wasil dimakamkan dengan menggunakan nisan yang berinskripsi, yang menandakan bahwa ia seorang tokoh, karena makam-makam rakyat biasa pada umumnya tidak berinskripsi.
Pada mulanya, makam Syekh Syamsuddin al-Wasil berada di tanah terbuka. Namun, Bupati Kediri abad ke-16, Suryo Adilogo, mengeluarkan kebijakan untuk membangunnya menjadi megah, untuk menghormati jasa-jasanya yang besar dalam mengislamkan rakyat Kediri. Adapun Suryo Adilogo, menurut naskah historiografi Jawa, merupakan mertua Sunan Drajat.
Louis-Charles Damais melaporkan dalam Lepigraphie Musulmane Dans le Sud-est Asiatigue, inskripsi di makam Syekh Syamsuddin al-Wasil menyebutkan bahwa ia adalah “Al-Imamul Kamil”.
Buku "Sejarah Lengkap Islam Jawa" karya Husnul Hakim mengutip Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam "Lenigmatigue Inscription Musulmane du Magam de Kediri" memaparkan, untuk mengetahui siapa Syekh Syamsuddin al-Wasil, kita mesti merujuk pada tiga kata penting dalam inskripsi di makam tokoh itu, yaitu asy-Syafi'i madzhaban , al-Abarkuhi, dan al-Bahrayni.
Frasa pertama (asy-Syafi'i madzhaban) berarti bahwa Syekh Syamsuddin al-Wasil merupakan ulama bermazhab Syafi'i. Kata kedua (al-Abarkuhi) berhubungan dengan sebuah kota kecil di Iran, yang letaknya berada di antara Shiraz dan Yazd, yaitu Kota Abarkuh.
Sedangkan kata ketiga (al-Bahrayni) menyiratkan dua hal: mungkin berkaitan dengan Kepulauan Bahrain atau mungkin berkaitan dengan klan Arab, Bani al-Bahriyun, yang pada masa lampau berkelana di wilayah Irak.
Sayangnya, di inskripsi tersebut tidak terdapat tanggal kapan Syekh Syamsuddin al-Wasil dikuburkan. Sebab, ada bagian-bagian dari inskripsi yang rusak.
Namun, Habib Mustopo, guru besar Universitas Negeri Malang (UNISMA), dalam penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa Syekh Syamsuddin al-Wasil adalah ulama, mubaligh, yang hidup pada masa Kerajaan Kadiri, yakni abad ke-12.
Kitab Musyarar
Hal ini didasarkan pada naskah historiografi Jawa yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Di dalam naskah tersebut, disebutkan bahwa Syekh Syamsuddin al-Wasil merupakan ulama besar asal Persia. Ia datang ke Kadiri, menghadap ke hadapan Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya (Raja Kerajaan Kadiri), dan meminta izin untuk berdakwah dan mengajarkan kepada masyarakat Kitab Musyarar, sebuah kitab yang membahas mengenai ilmu falak dan ilmu ramalan.
Tertarik dengan kitab itu, sang raja mengizinkannya berdakwah di wilayah Kerajaan Kadiri, bahkan sang raja juga ikut belajar kitab itu.
Hal tersebut dibenarkan oleh manuskrip Kakawin Hariwangsa. Di dalam kakawin itu, digambarkan bahwa Dewa Wisnu telah pulang ke surga, tetapi turun kembali ke bumi pada Zaman Kali dalam diri Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya untuk menyelamatkan Jawa dari kehancuran. Sang raja diyakini sebagai titisan Dewa Wisnu.
Dan dalam tugasnya menyelamatkan Jawa itu, Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya dibimbing oleh Dewa Agastya yang berwujud Syekh Syamsuddin al-Wasil. Di dalam Kakawin Hariwangsa, diceritakan:
Ada sebuah negeri yang indah. Keindahannya laksana di dalam impian, disebut Pulau Jawa, sebuah pulau yang megah. Jawa adalah kitab dari Agastya yang sakti tiada banding. Pulau itu sekarang dihinggapi ketakutan, sehingga keindahannya lenyap. Kemudian berkumpul dewa-dewa bersama Hyang Aswi. Bersama-sama memohon dengan sangat kepada Bhatara Padmanabha. Untuk memperbaiki dan menjaga keindahan pulau tersebut. Dewa Hari ikut serta pergi ke sana. Kini ia telah benar-benar menjadi raja yang menyempurnakan lagi kehidupan hamba sahayanya. Ia adalah inkarnasi dari Madhusudana-awatara. Ia termasyhur dengan nama Sri Jaya-satru (Jayabhaya).
Agastya yang suci tidak ketinggalan dan buru-buru berinkarnasi menjadi biksu pandhita-adhikara, menjadi guru sang raja yang percaya dengan ajarannya. Ia menjadi pejabat tinggi yang dipatuhi di seluruh negeri. Raja memerintah di dunia dengan teguh. Semua musuh Sri Naranatha mengelu-elukannya disebabkan wibawa sang muni (petapa) yang besar, yang sangat mendalam pengetahuannya tentang mengatasi bahaya rohani. Ia berhasil menenteramkan kembali dunia. Setiap orang berusaha berbuat baik, hidup seperti santri mempelajari kitab suci. Kaum “parasit” yang miskin dan hina-dina mendadak didatangi kegembiraan. Apa yang dipikirkan raja dalam hati. Uang berlimpah seperti hujan turun sepanjang tahun, terwujud dalam kenyataan, menjadikan raja bersenang-senang menikmati kebahagiaan.
Di dalam kakawin ini, digambarkan bahwa Pulau Jawa merupakan sebuah pulau yang indah dan megah. Masyarakatnya tenteram dan makmur. Nilai-nilai kebijaksanaan dijalankan secara baik oleh rakyat dan pemimpinnya. Sehingga, dengan jalinan antara alam subur nan indah dan masyarakat yang damai bersahaja, hampir-hampir Jawa bagaikan pulau impian.
Namun, lambat laun, kehidupan moral masyarakat Jawa bobrok, melenceng jauh dari nilai-nilai kebijaksanaan. Pemimpinnya adalah seorang penindas sehingga rakyatnya tertekan dalam kubangan rasa takut. Kesewenang-wenangan merajalela, alamnya dieksploitasi, kriminalitas di akar rumput tumbuh subur. Praktis, Pulau Jawa diliputi oleh kegelapan.
Lantas, para dewa berkumpul di hadapan Hyang Aswi. Mereka sepakat untuk memohon kepada Bhatara Padmanabha untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Jawa yang sudah bobrok, agar cahaya kehidupan kembali menyinari si pulau impian, dan agar cahaya itu menyala selama-lamanya.
Permohonan mereka pun dikabulkan. Lalu, hiduplah seorang raja bijaksana, yang menyempurnakan hak-hak rakyatnya, yang menjadikan kembali kehidupan rakyat Pulau Jawa gilang gemilang. Ia adalah Sri Jaya-satru (Jayabhaya), yang merupakan inkarnasi dari Madhusudana-awatara (Dewa Wisnu).
Dalam memerintah rakyat Jawa, Jayabhaya dibimbing oleh Agastya yang suci, yang berinkarnasi menjadi pendeta. Keduanya berposisi sebagai guru dan murid. Sang guru memberikan ajaran kebijaksanaan, dan sang raja dengan patuh menjalankan ajarannya.
Sang raja memerintah negeri dengan teguh. Dan, sang pendeta dipatuhi oleh rakyat di seluruh Jawa disebabkan wibawanya yang besar sebagai “petapa” dan pengetahuannya tentang cara mengatasi bahaya rohani sangat mendalam.
Kehidupan rakyat Jawa pun kembali tenteram. Setiap orang berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan. Layaknya santri, mereka berbondong-bondong belajar kitab suci kepada sang Agastya. Yang dulunya miskin dan hina-dina, terangkat derajat sosial dan ekonominya, dan diliputi kebahagiaan.
Demikianlah kisah Kerajaan Kadiri pada zaman Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Ketika sudah khatam mengaji Kitab Musyarar kepada Syekh Syamsuddin al-Wasil dan sudah menjadi ahli dalam ilmu nujum (ramalan), Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya menulis sebuah catatan yang bertajuk Serat Jangka Jayabhaya.
Serat itu berisi ramalan tentang eksistensi Nusantara pada masa depan. Kini, jika kita mengenal tentang ramalan Jayabhaya, maka hal itu berasal dari Serat Jangka Jayabhaya.
Biksu Pandhita
Sebagian tafsir mengatakan bahwa guru Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya adalah Mpu Sedah. Namun, tafsir yang lain menyatakan bahwa Mpu Sedah adalah guru di bidang sastra. Sedangkan sang pembimbing rohani itu, yang disebut biksu pandhita-adikara, adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil.
Sebutan “biksu pandhita” lazim digunakan untuk menyebut para ulama Islam kala itu, seperti Sayyid Ali Murtadha disebut sebagai Raja Pandhita di Gresik, atau Maulana Malik Ibrahim disebut juga sebagai pandhita.
Jika dihubungkan antara inskripsi yang berada di makam Syekh Syamsuddin al-Wasil dengan naskah historiografi Jawa tersebut maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mubaligh itu berasal dari Persia, tepatnya dari sebuah kota kecil bernama Abarkuh.
Ia diyakini sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Kadiri. Masyarakat Kerajaan Kadiri sangat menghormatinya. Oleh karena itu, ketika ia wafat, Syekh Syamsuddin al-Wasil dimakamkan dengan menggunakan nisan yang berinskripsi, yang menandakan bahwa ia seorang tokoh, karena makam-makam rakyat biasa pada umumnya tidak berinskripsi.
Pada mulanya, makam Syekh Syamsuddin al-Wasil berada di tanah terbuka. Namun, Bupati Kediri abad ke-16, Suryo Adilogo, mengeluarkan kebijakan untuk membangunnya menjadi megah, untuk menghormati jasa-jasanya yang besar dalam mengislamkan rakyat Kediri. Adapun Suryo Adilogo, menurut naskah historiografi Jawa, merupakan mertua Sunan Drajat.
(mhy)