Sejarah Masuknya Islam di Tanah Betawi
Selasa, 13 September 2022 - 14:02 WIB
Betawi merupakan sebuah suku di Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam. Orang Betawi ini bermukim di Ibukota Jakarta dan daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Pada zaman kolonial Belanda, Betawi menjadi penduduk mayoritas di Jakarta yang kala itu bernama Batavia. Nama Betawi ini berasal dari Batavia (berubah nama menjadi Batavi dan Batawi) lalu kemudian disebut Betawi oleh masyarakat lokal.
Eksistensi Betawi mulai populer setelah organisasi "Pemoeda Kaoem Betawi" atau Pemuda Kaum Betawi didirkan pada Tahun 1927. Lalu, bagaimana sejarah masuknya Islam di tanah Betawi?
Beberapa literatur menyebutkan, orang Betawi telah mendiami Jakarta sejak Abad 17. Suku Betawi merupakan akulturasi dari beberapa masyarakat multietnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru.
Ada banyak versi tentang sejarah masuknya Islam di tanah Betawi dan penyebarannya. Tidak ada satu pendapat yang sama tentang kapan Islam mulai masuk di wilayah ini.
Yang pasti Islam telah masuk ke tanah Betawi pada abad ke-17. Ini dibuktikan dengan keberadaan beberapa masjid tua di Jakarta. Di antaranya, Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima yang didirikan Tahun 1717. Masjid Pekojan (Tahun 1750); Masjid Angke (Tahun 1760); Masjid Kampung Bandan, serta masjid Luar Batang yang tahun berdirinya sekitar akhir abad ke-18. Adapun masjid paling tua yaitu masjid Marunda yang diperkirakan berdiri dalam bentuk langgar pada awal abad ke-17.
Dalam Buku 27 Habaib Berpengaruh di Betawi; kajian karya intelektual dan karya sosial Habaib Betawi dari abad ke-17 hingga abad ke-21 dijelaskan beberapa fase penyebaran Islam di Betawi.
Pendapat umum seperti yang dikutip Abdul Aziz, Islam masuk di tanah Betawi pada saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa untuk menghapuskan pendudukan Portugis pada tanggal 22 Juni 1527. Versi lain dari budayawan Betawi, Ridwan Saidi menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali di tanah Betawi berawal dari kedatangan Syaikh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama Syaikh Quro, ulama dari Kamboja pada tahun 1409.
Beberapa fase perkembangan Islam dan sejarah keulamaan di tanah Betawi terbentuk:
1. Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527)
Syaikh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara dan Dato Ibrahim Condet, Dato Biru Rawa Bangke.
2. Fase lanjutan penyebaran Islam (1522-1650)
Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, Kong Ja'mirin Kampung Marunda.
3. Fase lanjutan kedua penyebaran Islam (1650-1750)
Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang.
4. Fase Pertama Perkembangan Islam (1750-sampai awal Abad ke-19)
Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syaikh Junaid Al-Betawi, Pekojan.
5. Fase Kedua Perkembangan Islam dari Abad ke-19 sampai sekarang.
Dalam fase perkembangan dari Abad ke-19 inilah kemudian lahir seorang ulama sangat berpengaruh yang juga Mufti Betawi, Habib Usman bin Yahya. Bukan saja di Jakarta, Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.
Menurut Habib Ismail bin Yahya bahwa dalam sebuah lawatan ulama Pattani Thailand ke salah satu pondok pesantren di Sukabumi, mereka menemukan karya-karya Habib Usman bin Yahya dalam bahasa Arab Melayu. Mereka mengatakan bahwa di tempat mereka di Pattani, karya-karya Habib Usman bin Yahya masih diajarkan.
Habib Ali Yahya menyebutkan bahwa karya Habib Usman bin Yahya ada 150-an buah. Salah seorang ulama yang masih menyimpan hampir semua karya-karya Habib Usman bin Yahya adalah KH Tubagus Ahmad Bakri yang akrab dipanggil Mama Sempur Plered karena tinggal di daerah Sempur, Plered, Purwakarta.
Sosok Habib Usman bin Yahya sangat berpengaruh bagi kemajuan Islam di tanah Betawi. Beliau telah menghabiskan waktunya menimba ilmu ke berbagai negara seperti Turki, Palestina, Suriah, Tunis, Aljazair hingga Hadhramaut Yaman. Beliau kembali ke Batavia (Jakarta) melalui Singapura pada 1279 H/1862 M dan menjadi Mufti Betawi.
Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, bahwa Majelis Taklim Habib Ali Kwitang (Habib Ali al-Habsyi) yang beraktivitas pada 20 April 1870 merupakan yang mejelis tertua di Betawi. Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya diteruskan oleh anaknya, Habib Muhammad al-Habsyi, dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya Habib Abdurrahman al-Habsyi.
Dari Majelis Taklim inilah muncul ulama-ulama besar Betawi, seperti KH Abdullah Syafi'ie (pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi'iiyyah) dan KH Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah). Keduanya kemudian mendirikan majelis taklim dan kemudian berkembang pesat ke berbagai penjuru Jakarta dan sekitarnya.
Wallahu A'lam
Pada zaman kolonial Belanda, Betawi menjadi penduduk mayoritas di Jakarta yang kala itu bernama Batavia. Nama Betawi ini berasal dari Batavia (berubah nama menjadi Batavi dan Batawi) lalu kemudian disebut Betawi oleh masyarakat lokal.
Eksistensi Betawi mulai populer setelah organisasi "Pemoeda Kaoem Betawi" atau Pemuda Kaum Betawi didirkan pada Tahun 1927. Lalu, bagaimana sejarah masuknya Islam di tanah Betawi?
Beberapa literatur menyebutkan, orang Betawi telah mendiami Jakarta sejak Abad 17. Suku Betawi merupakan akulturasi dari beberapa masyarakat multietnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru.
Ada banyak versi tentang sejarah masuknya Islam di tanah Betawi dan penyebarannya. Tidak ada satu pendapat yang sama tentang kapan Islam mulai masuk di wilayah ini.
Yang pasti Islam telah masuk ke tanah Betawi pada abad ke-17. Ini dibuktikan dengan keberadaan beberapa masjid tua di Jakarta. Di antaranya, Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima yang didirikan Tahun 1717. Masjid Pekojan (Tahun 1750); Masjid Angke (Tahun 1760); Masjid Kampung Bandan, serta masjid Luar Batang yang tahun berdirinya sekitar akhir abad ke-18. Adapun masjid paling tua yaitu masjid Marunda yang diperkirakan berdiri dalam bentuk langgar pada awal abad ke-17.
Dalam Buku 27 Habaib Berpengaruh di Betawi; kajian karya intelektual dan karya sosial Habaib Betawi dari abad ke-17 hingga abad ke-21 dijelaskan beberapa fase penyebaran Islam di Betawi.
Pendapat umum seperti yang dikutip Abdul Aziz, Islam masuk di tanah Betawi pada saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa untuk menghapuskan pendudukan Portugis pada tanggal 22 Juni 1527. Versi lain dari budayawan Betawi, Ridwan Saidi menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali di tanah Betawi berawal dari kedatangan Syaikh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama Syaikh Quro, ulama dari Kamboja pada tahun 1409.
Beberapa fase perkembangan Islam dan sejarah keulamaan di tanah Betawi terbentuk:
1. Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527)
Syaikh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara dan Dato Ibrahim Condet, Dato Biru Rawa Bangke.
2. Fase lanjutan penyebaran Islam (1522-1650)
Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, Kong Ja'mirin Kampung Marunda.
3. Fase lanjutan kedua penyebaran Islam (1650-1750)
Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang.
4. Fase Pertama Perkembangan Islam (1750-sampai awal Abad ke-19)
Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syaikh Junaid Al-Betawi, Pekojan.
5. Fase Kedua Perkembangan Islam dari Abad ke-19 sampai sekarang.
Dalam fase perkembangan dari Abad ke-19 inilah kemudian lahir seorang ulama sangat berpengaruh yang juga Mufti Betawi, Habib Usman bin Yahya. Bukan saja di Jakarta, Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.
Menurut Habib Ismail bin Yahya bahwa dalam sebuah lawatan ulama Pattani Thailand ke salah satu pondok pesantren di Sukabumi, mereka menemukan karya-karya Habib Usman bin Yahya dalam bahasa Arab Melayu. Mereka mengatakan bahwa di tempat mereka di Pattani, karya-karya Habib Usman bin Yahya masih diajarkan.
Habib Ali Yahya menyebutkan bahwa karya Habib Usman bin Yahya ada 150-an buah. Salah seorang ulama yang masih menyimpan hampir semua karya-karya Habib Usman bin Yahya adalah KH Tubagus Ahmad Bakri yang akrab dipanggil Mama Sempur Plered karena tinggal di daerah Sempur, Plered, Purwakarta.
Sosok Habib Usman bin Yahya sangat berpengaruh bagi kemajuan Islam di tanah Betawi. Beliau telah menghabiskan waktunya menimba ilmu ke berbagai negara seperti Turki, Palestina, Suriah, Tunis, Aljazair hingga Hadhramaut Yaman. Beliau kembali ke Batavia (Jakarta) melalui Singapura pada 1279 H/1862 M dan menjadi Mufti Betawi.
Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, bahwa Majelis Taklim Habib Ali Kwitang (Habib Ali al-Habsyi) yang beraktivitas pada 20 April 1870 merupakan yang mejelis tertua di Betawi. Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya diteruskan oleh anaknya, Habib Muhammad al-Habsyi, dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya Habib Abdurrahman al-Habsyi.
Dari Majelis Taklim inilah muncul ulama-ulama besar Betawi, seperti KH Abdullah Syafi'ie (pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi'iiyyah) dan KH Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah). Keduanya kemudian mendirikan majelis taklim dan kemudian berkembang pesat ke berbagai penjuru Jakarta dan sekitarnya.
Wallahu A'lam
(rhs)