Gara-gara Sebuah Pisang!
Rabu, 21 September 2022 - 00:55 WIB
Imam Shamsi Ali
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Jika saya ingin menyebutkan berbagai inisiatif interfaith atau dialog antarpemeluk agama yang saya lakukan di Kota New York tentu lumayan banyak. Dari pertemuan by-monthly 3 tokoh-tokoh agama Samawi; Islam, Kristen dan Yahudi, pertukaran kunjungan, hingga beberapa kegiatan sosial, antara lain mid-night run atau memberikan makan kepada homeless di malam hari di Kota New York.
Tapi ada sebuah kegiatan paling berkesan dan diminati oleh jamaah masing-masing agama, khususnya mereka yang beragama Kristiani. Kegiatan itu adalah annual trifaith dialogue (Dialog tiga agama; Yahudi, Kristen dan Islam) menyambut hari Thanksgiving Day di Amerika.
Acara ini menjadi unik karena dihadiri oleh ribuan jamaah dari tiga agama untuk berdialog dengan tema-tema yang kontekstual. Satu kali misalnya bersamaan dengan 10 tahun pasca peristiwa 9/11 kita para narasumber menyampaikan cerita dan hikmah yang kita ambil dari peristiwa itu dalam perspektif agama masing-masing.
Berubah karena Pisang
Pada acara Dialog tiga agama itu ada tiga tokoh agama yang selalu tampil untuk memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Biasanya topik pembahasan telah disetujui bersama jauh-jauh hari. Namun Dialog yang terjadi sangat ringan dan spontan, bahkan kerap kali penuh guyonan yang menghibur.
Saya sendiri mewakili agama Islam yang ketika saya masih menjadi Imam di Islamic Cultural Center of New York atau yang lebih dikenal dengan Masjid 96 Street. Saya juga Direktur Jamaica Muslim Center dan sebagai Chairman Masjid Al-Hikmah Queens.
Agama Yahudi diwakili oleh Rabbi Dr Peter Rubenstein, Senior Rabbi of Central Synagogue Manhattan yang sangat cantik dan historis. Beliau di tahun-tahun itu berumur sekitar 70-an. Saat ini Peter Rubinstein menjadi senior director di Street 92nd yang sangat populer di kota New York. Peter juga pernah menjadi ketua Inisiatif Interfaith mantan PM Inggris, Tony Blair.
Sementara agama Kristiani diwakili oleh Pastor Dr Arthur Caliandro. Beliau adalah pastor Senior Marble Collegiate Church di Manhattan yang sangat kharismatik. Beliau ketika itu Sudah memasuki umur hampir 80 tahun. Gereja Marble sendiri adalah gereja Protestan tertua di Amerika.
Tripartite Dialog ini begitu sangat menarik bukan saja karena pembahasan yang seringkali dinamis dan terbuka. Tapi sambutan jamaah masing-masing agama yang hangat dan bersahabat. Sebuah pembuktian bahwa perbedaan apapun yang ada di antara manusia harusnya tidak menjadi alasan untuk saling terpecah dan bermusuhan.
Satu hal yang sangat terkesan bagi saya pribadi adalah bagaimana kedua tokoh agama itu (Peter dan Arthur) sangat santun, sopan dan menghormati saya yang notabenenya sangat yunior. Apalagi sebagai pendatang baru di tengah meningginya Islamophobia saat itu. Sedangkan mereka tidak saja secara umur, ilmu dan pengalaman yang hebat. Tapi juga menjadi pemimpin dari institusi yang besar dan terhormat.
Peter adalah seorang Rabi Yahudi dari kalangan sekte Reform yang sangat dihormati. Saya masih ingat suatu ketika saya diundang hadir karena acara peringatan 9/11 di Synagogue dia yang dihadiri oleh Gubernur New York ketika itu, Andrew Cuomo. Para politisi dan pejabat sangat respek dan hormat kepadanya.
Arthur Caliandro yang bersuara lembut, tapi dari mulut beliau selalu keluar hikmah-hikmah yang luar biasa. Tidak jarang melemparkan lolucon-lolucon segar yang menjadikan hadirin tertawa terbahak. Satu di antaranya adalah "Every time I meet Shamsi, I feel younger"… itu karena saya 1/2 umurnya lebih muda.
Tapi yang paling menarik dari Arthur adalah cerita awal bersentuhan dengan Islam. Sebagaimana orang-orang Amerika lainnya, Arthur pernah teracuni oleh pandangan buruk tentang Islam. Apalagi dengan peristiwa 9/11 di tahun 2001 menjadikannya marah dan merasa harus melakukan sesuatu untuk meredam pergerakan Islam di Amerika dan dunia.
Di pengujung Tahun 2002 itulah suatu ketika dia pernah menghentikan sebuah taksi kuning (yellow cab) untuk membawanya ke sebuah pertemuan. Tanpa dia sadari, ternyata sopir teksi itu seorang Muslim warga Bangladesh. Dalam perjalanan itu terjadi percakapan yang menarik. Sang sopir bertanya kepadanya: "where do you live and what do you do (di mana tinggal dan pekerjaannya apa?)
Arthur menyampaikan bahwa dia adalah pastor gereja yang terletak di antara 29th Street dan 5 Avenue. Sang sopir menyampaikan bahwa dia seringkali sholat di belakang gereja itu. Kebetulan di belakang gereja itu ada masjid kecil, Masjid Abdurrahman.
Singkat cerita, karena merasa sudah familiar dekat dengan komunikasi itu, sang sopir tiba-tiba saja menawarkan sebuah pisang kepada sang pastor. Walau sang pastor tidak mengambil pisang itu, tapi tawaran sebuah pisang itu menusuk dadanya.
Ada perasaan bersalah atas berbagai kecurigaan selama ini. Selama ini dia memahami jika orang Islam itu kasar, pemarah, dan tidak bersahabat. Tapi ini ada seorang Muslim, sopir teksi, dengan bahasa Inggris terbatas sangat ramah dan baik.
Singkat cerita, tanpa terasa perjalanan sampai di tujuan. Rupanya diam-diam sang sopir itu telah mematikan argo taksinya dan menolak mengambil sewa (bayaran) dari penumpangnya.
Peristiwa ini menjadikan Arthur berubah drastis. Tidak saja bahwa dia secara pribadi berubah menjadi lebih positif. Tapi sejak November 2003 itu saya sengaja diundang menjadi salah seorang narasumber dalam tripartite dialogu itu. Dan hampir di setiap acara Dialog itu Arthur selalu mengulangi cerita sopir teksi itu.
Sekitar tahun 2017 lalu Arthur meninggal dunia. Walaupun tidak menerima Islam sebagai agamanya, tapi sangat banyak hal positif yang dapat diambil sebagai pelajaran dari Arthur Caliandro. Beliaulah salah seorang partner saya dalam upaya membangun kerjasama antar pemeluk agama di kota dunia ini. Peace to the world!
NYC Subway, 20 September 2022
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Jika saya ingin menyebutkan berbagai inisiatif interfaith atau dialog antarpemeluk agama yang saya lakukan di Kota New York tentu lumayan banyak. Dari pertemuan by-monthly 3 tokoh-tokoh agama Samawi; Islam, Kristen dan Yahudi, pertukaran kunjungan, hingga beberapa kegiatan sosial, antara lain mid-night run atau memberikan makan kepada homeless di malam hari di Kota New York.
Tapi ada sebuah kegiatan paling berkesan dan diminati oleh jamaah masing-masing agama, khususnya mereka yang beragama Kristiani. Kegiatan itu adalah annual trifaith dialogue (Dialog tiga agama; Yahudi, Kristen dan Islam) menyambut hari Thanksgiving Day di Amerika.
Acara ini menjadi unik karena dihadiri oleh ribuan jamaah dari tiga agama untuk berdialog dengan tema-tema yang kontekstual. Satu kali misalnya bersamaan dengan 10 tahun pasca peristiwa 9/11 kita para narasumber menyampaikan cerita dan hikmah yang kita ambil dari peristiwa itu dalam perspektif agama masing-masing.
Berubah karena Pisang
Pada acara Dialog tiga agama itu ada tiga tokoh agama yang selalu tampil untuk memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Biasanya topik pembahasan telah disetujui bersama jauh-jauh hari. Namun Dialog yang terjadi sangat ringan dan spontan, bahkan kerap kali penuh guyonan yang menghibur.
Saya sendiri mewakili agama Islam yang ketika saya masih menjadi Imam di Islamic Cultural Center of New York atau yang lebih dikenal dengan Masjid 96 Street. Saya juga Direktur Jamaica Muslim Center dan sebagai Chairman Masjid Al-Hikmah Queens.
Agama Yahudi diwakili oleh Rabbi Dr Peter Rubenstein, Senior Rabbi of Central Synagogue Manhattan yang sangat cantik dan historis. Beliau di tahun-tahun itu berumur sekitar 70-an. Saat ini Peter Rubinstein menjadi senior director di Street 92nd yang sangat populer di kota New York. Peter juga pernah menjadi ketua Inisiatif Interfaith mantan PM Inggris, Tony Blair.
Sementara agama Kristiani diwakili oleh Pastor Dr Arthur Caliandro. Beliau adalah pastor Senior Marble Collegiate Church di Manhattan yang sangat kharismatik. Beliau ketika itu Sudah memasuki umur hampir 80 tahun. Gereja Marble sendiri adalah gereja Protestan tertua di Amerika.
Tripartite Dialog ini begitu sangat menarik bukan saja karena pembahasan yang seringkali dinamis dan terbuka. Tapi sambutan jamaah masing-masing agama yang hangat dan bersahabat. Sebuah pembuktian bahwa perbedaan apapun yang ada di antara manusia harusnya tidak menjadi alasan untuk saling terpecah dan bermusuhan.
Satu hal yang sangat terkesan bagi saya pribadi adalah bagaimana kedua tokoh agama itu (Peter dan Arthur) sangat santun, sopan dan menghormati saya yang notabenenya sangat yunior. Apalagi sebagai pendatang baru di tengah meningginya Islamophobia saat itu. Sedangkan mereka tidak saja secara umur, ilmu dan pengalaman yang hebat. Tapi juga menjadi pemimpin dari institusi yang besar dan terhormat.
Peter adalah seorang Rabi Yahudi dari kalangan sekte Reform yang sangat dihormati. Saya masih ingat suatu ketika saya diundang hadir karena acara peringatan 9/11 di Synagogue dia yang dihadiri oleh Gubernur New York ketika itu, Andrew Cuomo. Para politisi dan pejabat sangat respek dan hormat kepadanya.
Arthur Caliandro yang bersuara lembut, tapi dari mulut beliau selalu keluar hikmah-hikmah yang luar biasa. Tidak jarang melemparkan lolucon-lolucon segar yang menjadikan hadirin tertawa terbahak. Satu di antaranya adalah "Every time I meet Shamsi, I feel younger"… itu karena saya 1/2 umurnya lebih muda.
Tapi yang paling menarik dari Arthur adalah cerita awal bersentuhan dengan Islam. Sebagaimana orang-orang Amerika lainnya, Arthur pernah teracuni oleh pandangan buruk tentang Islam. Apalagi dengan peristiwa 9/11 di tahun 2001 menjadikannya marah dan merasa harus melakukan sesuatu untuk meredam pergerakan Islam di Amerika dan dunia.
Di pengujung Tahun 2002 itulah suatu ketika dia pernah menghentikan sebuah taksi kuning (yellow cab) untuk membawanya ke sebuah pertemuan. Tanpa dia sadari, ternyata sopir teksi itu seorang Muslim warga Bangladesh. Dalam perjalanan itu terjadi percakapan yang menarik. Sang sopir bertanya kepadanya: "where do you live and what do you do (di mana tinggal dan pekerjaannya apa?)
Arthur menyampaikan bahwa dia adalah pastor gereja yang terletak di antara 29th Street dan 5 Avenue. Sang sopir menyampaikan bahwa dia seringkali sholat di belakang gereja itu. Kebetulan di belakang gereja itu ada masjid kecil, Masjid Abdurrahman.
Singkat cerita, karena merasa sudah familiar dekat dengan komunikasi itu, sang sopir tiba-tiba saja menawarkan sebuah pisang kepada sang pastor. Walau sang pastor tidak mengambil pisang itu, tapi tawaran sebuah pisang itu menusuk dadanya.
Ada perasaan bersalah atas berbagai kecurigaan selama ini. Selama ini dia memahami jika orang Islam itu kasar, pemarah, dan tidak bersahabat. Tapi ini ada seorang Muslim, sopir teksi, dengan bahasa Inggris terbatas sangat ramah dan baik.
Singkat cerita, tanpa terasa perjalanan sampai di tujuan. Rupanya diam-diam sang sopir itu telah mematikan argo taksinya dan menolak mengambil sewa (bayaran) dari penumpangnya.
Peristiwa ini menjadikan Arthur berubah drastis. Tidak saja bahwa dia secara pribadi berubah menjadi lebih positif. Tapi sejak November 2003 itu saya sengaja diundang menjadi salah seorang narasumber dalam tripartite dialogu itu. Dan hampir di setiap acara Dialog itu Arthur selalu mengulangi cerita sopir teksi itu.
Sekitar tahun 2017 lalu Arthur meninggal dunia. Walaupun tidak menerima Islam sebagai agamanya, tapi sangat banyak hal positif yang dapat diambil sebagai pelajaran dari Arthur Caliandro. Beliaulah salah seorang partner saya dalam upaya membangun kerjasama antar pemeluk agama di kota dunia ini. Peace to the world!
NYC Subway, 20 September 2022
(rhs)