Begini Penjelasan Islam Terhadap Seseorang yang Suka Memotret Orang Lain Secara Diam-diam
Rabu, 12 Oktober 2022 - 15:02 WIB
Syariat Islam melarang seseorang yang mengambil gambar orang lain (memotret atau merekam) tanpa izin atau diam-diam. Syariat Islam pun mewajibkan pengambilan foto (memotret) harus seizin orang yang bersangkutan.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, :
“Barang siapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Tentu saja hal ini harus diperhatikan oleh orang-orang Islam yang kini ramai terbawa arus media sosial dengan begitu gampangnya cekrek, upload, dan memotret orang lain secara diam-diam.
Tidak saja secara syariat Islam , dalam hukum positif di negara kita, pelaku perekaman atau pemotretan tanpa izin dapat dipidana, selama rekaman video atau foto yang kemudian disebarkan memuat dugaan penghinaan, pencemaran nama baik, pengancaman, penyebaran berita palsu, SARA, kesusilaan, dan sebagainya. Pelanggaran privasi di sini haruslah adanya kerugian materiel secara langsung yang diperhitungkan sebagai kerugian riil.
Namun, jika ada orang yang difoto biasa-biasa saja keadaannya walau diam-diam dan tak ada kerusakan setelah itu, bahkan ia termasuk orang yang senang difoto, maka kemungkinan tak ada problem untuk kasus semacam ini. Karena yang difoto merasa biasa saja.
Dalam Majmu’ah Al-Fatawa, disebutkan ada suatu kaidah yang mesti dipahami, yakni “Harus Meminta Izin.”
“Segala sesuatu yang bermakna izin maka dihukumi sebagai izin. Adapun jika tidak ia izinkan atau tidak dijadikan izin, maka tidaklah dibolehkan."
Dalam kitab Syarh Bulughul Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata bawah seseorang tidak boleh untuk mengambil gambar orang lain (memotret atau merekam) kecuali dengan seizinnya, meskipun dia mengetahui bahwa orang tersebut berpendapat bolehnya mengambil gambar.
Bahkan, orang yang mengambil atau memotret orang secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam, apalagi digunakan untuk hal yang mudharat dikatagorikan mengambil sesuatu secara zalim, yakni mengambil sesuatu dari orang lain secara tanpa hak.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
“Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang melakukan pencurian dalam keadaan beriman dan tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan di mana orang-orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memotret secara diam diam juga termasuk melanggar privasi seseorang yang tidak dibolehkan. Hal ini terdapat di dalam Fatwa Majelis Ulama tahun 2017. Memotret secara diam-diam juga dapat mengganggu perasaan orang lain dari rasa aman.
Dari Abdullah ibn 'Amr ra. dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda :
"Orang muslim adalah orang yang mampu membuat rasa aman orang lain, dengan menjaga lisan dan tangannya. Sedang orang yang hijrah adalah seseorang yang berpindah guna menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu A'lam.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, :
“Barang siapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Baca Juga
Tentu saja hal ini harus diperhatikan oleh orang-orang Islam yang kini ramai terbawa arus media sosial dengan begitu gampangnya cekrek, upload, dan memotret orang lain secara diam-diam.
Tidak saja secara syariat Islam , dalam hukum positif di negara kita, pelaku perekaman atau pemotretan tanpa izin dapat dipidana, selama rekaman video atau foto yang kemudian disebarkan memuat dugaan penghinaan, pencemaran nama baik, pengancaman, penyebaran berita palsu, SARA, kesusilaan, dan sebagainya. Pelanggaran privasi di sini haruslah adanya kerugian materiel secara langsung yang diperhitungkan sebagai kerugian riil.
Namun, jika ada orang yang difoto biasa-biasa saja keadaannya walau diam-diam dan tak ada kerusakan setelah itu, bahkan ia termasuk orang yang senang difoto, maka kemungkinan tak ada problem untuk kasus semacam ini. Karena yang difoto merasa biasa saja.
Dalam Majmu’ah Al-Fatawa, disebutkan ada suatu kaidah yang mesti dipahami, yakni “Harus Meminta Izin.”
“Segala sesuatu yang bermakna izin maka dihukumi sebagai izin. Adapun jika tidak ia izinkan atau tidak dijadikan izin, maka tidaklah dibolehkan."
Dalam kitab Syarh Bulughul Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata bawah seseorang tidak boleh untuk mengambil gambar orang lain (memotret atau merekam) kecuali dengan seizinnya, meskipun dia mengetahui bahwa orang tersebut berpendapat bolehnya mengambil gambar.
Bahkan, orang yang mengambil atau memotret orang secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam, apalagi digunakan untuk hal yang mudharat dikatagorikan mengambil sesuatu secara zalim, yakni mengambil sesuatu dari orang lain secara tanpa hak.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
“Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang melakukan pencurian dalam keadaan beriman dan tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan di mana orang-orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memotret secara diam diam juga termasuk melanggar privasi seseorang yang tidak dibolehkan. Hal ini terdapat di dalam Fatwa Majelis Ulama tahun 2017. Memotret secara diam-diam juga dapat mengganggu perasaan orang lain dari rasa aman.
Dari Abdullah ibn 'Amr ra. dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda :
"Orang muslim adalah orang yang mampu membuat rasa aman orang lain, dengan menjaga lisan dan tangannya. Sedang orang yang hijrah adalah seseorang yang berpindah guna menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu A'lam.
(wid)