6 Tips Cara Menghargai Orang Lain dari Syekh Abdul Qadir Al Jailani
loading...
A
A
A
Sebagai muslim, kita diajarkan bagaimana memuliakan dan menghargai orang lain . Baik pada sesama, orang yang lebih tua, orang yang lebih kecil, orang alim, orang awam bahkan kepada orang yang bukan muslim.
Allah Subhanahu wa ta'ala menegaskan hal itu dalam firmannya:
"Sungguh, telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami membawa mereka di daratan dan di lautan. Kami memberi mereka rezeki dari yang baik-baik. Kami melebihkan mereka dengan kelebihan sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra’: 70).
Tentang ayat ini Syekh Abdul Qadir al-Jailani , mengingatkan kepada kita bagaimana cara menghargai orang yang mulia, anak kecil, orang dewasa, ulama atau orang alim, orang awam, dan bahkan orang kafir.
Dalam Kitab 'Nashaihul Ibad (hal 12)' Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberikan tips bagaimana kita dapat memandang orang lain dengan pandangan penghormatan dan penghargaan, yaitu:
1. Jika bertemu dengan orang mulia, kita harus mempunyai prasangka terhadapnya, ‘Bisa jadi orang itu lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah daripadaku.’.
2. Apabila bertemu dengan anak kecil, kita selayaknya berpikir, ‘Anak ini belum bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tentu dia lebih baik dariku,"
3. Jika bertemu dengan orang dewasa, kita sepatutnya berprasangka, ‘Orang ini telah beribadah menyembah Allah sebelumku,’
4. Jika bersua ulama atau orang alim, kita mesti berprasangka, ‘Orang ini dianugerahkan ilmu yang tidak dapat kugapai, meraih derajat tinggi yang tidak kuraih, mengetahui materi ilmu yang tidak kuketahui, dan mengamalkan ilmunya,’
5. Bila bertemu orang awam atau bodoh, kita harus mempunyai prasangka baik bahwa, ‘Orang ini bermaksiat kepada Allah karena ketidaktahuannya. Sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya secara sadar di tengah ilmuku. Aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidupnya, apakah husnul khatimah atau su’ul khatimah,’
6. Bila berjumpa dengan orang kafir, kita harus berprasangka, ‘Bisa jadi orang kafir ini suatu saat memeluk Islam dan mengakhiri hidupnya dengan amal yang baik (husnul khatimah). Sedangkan aku bisa saja malah menjadi kafir suatu saat dan mengakhiri hidup dengan amal yang buruk (su’ul khatimah),’
Wallahu A'lam
Allah Subhanahu wa ta'ala menegaskan hal itu dalam firmannya:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
"Sungguh, telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami membawa mereka di daratan dan di lautan. Kami memberi mereka rezeki dari yang baik-baik. Kami melebihkan mereka dengan kelebihan sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra’: 70).
Tentang ayat ini Syekh Abdul Qadir al-Jailani , mengingatkan kepada kita bagaimana cara menghargai orang yang mulia, anak kecil, orang dewasa, ulama atau orang alim, orang awam, dan bahkan orang kafir.
Dalam Kitab 'Nashaihul Ibad (hal 12)' Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberikan tips bagaimana kita dapat memandang orang lain dengan pandangan penghormatan dan penghargaan, yaitu:
1. Jika bertemu dengan orang mulia, kita harus mempunyai prasangka terhadapnya, ‘Bisa jadi orang itu lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah daripadaku.’.
2. Apabila bertemu dengan anak kecil, kita selayaknya berpikir, ‘Anak ini belum bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tentu dia lebih baik dariku,"
3. Jika bertemu dengan orang dewasa, kita sepatutnya berprasangka, ‘Orang ini telah beribadah menyembah Allah sebelumku,’
4. Jika bersua ulama atau orang alim, kita mesti berprasangka, ‘Orang ini dianugerahkan ilmu yang tidak dapat kugapai, meraih derajat tinggi yang tidak kuraih, mengetahui materi ilmu yang tidak kuketahui, dan mengamalkan ilmunya,’
5. Bila bertemu orang awam atau bodoh, kita harus mempunyai prasangka baik bahwa, ‘Orang ini bermaksiat kepada Allah karena ketidaktahuannya. Sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya secara sadar di tengah ilmuku. Aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidupnya, apakah husnul khatimah atau su’ul khatimah,’
6. Bila berjumpa dengan orang kafir, kita harus berprasangka, ‘Bisa jadi orang kafir ini suatu saat memeluk Islam dan mengakhiri hidupnya dengan amal yang baik (husnul khatimah). Sedangkan aku bisa saja malah menjadi kafir suatu saat dan mengakhiri hidup dengan amal yang buruk (su’ul khatimah),’
Wallahu A'lam
(wid)