Ini Perbedaan antara Imperium Islam dan Romawi Menurut Muhammad Asad
Kamis, 13 Oktober 2022 - 16:56 WIB
Muhammad Asad mengatakan tidak ada persamaan antara imperium Islam dan imperium Romawi . Keduanya memang sama-sama membentang di atas wilayah-wilayah luas dan bangsa-bangsa yang aneka ragam. Namun selama kehidupannya kedua imperium ini diarahkan oleh tenaga-tenaga penggerak yang sama sekali berbeda, harus memenuhi tujuan-tujuan historik yang sama sekali berbeda, dan harus memenuhi tujuan-tujuan historik yang berbeda.
Dalam buku berjudul "Islam at the Crossroads" yang telah diterjemahkan M. Hashem menjadi "Islam di Simpang Jalan", Muhammad Asad menjelaskan bahkan dalam segi terbentuknya kita melihat perbedaan yang besar sekali antara imperium Islam dan imperium Romawi.
Penulis kelahiran Austria (1900) dengan nama Leopold Weiss dan masuk Islam pada usia 26 tahun ini menyebut Imperium Romawi memerlukan waktu hampir seribu tahun untuk tumbuh ke arah keluasan wilayah yang besar dan ke arah kematangan politik. Sedang imperium Islam meloncat dan tumbuh hingga kepenuhannya dalam waktu singkat yang hanya memakan waktu sekitar 80 tahun.
Tentang hal kemundurannya masing-masing, menurutnya, perbedaan itu malah lebih terang. Keruntuhan imperium Romawi, yang akhirnya ditutup sama sekali oleh migrasi bangsa-bangsa Hun dan Goth, hanya berlangsung selama satu abad saja --dan berlangsung demikian sempurnanya sehingga tidak ada sesuatu daripadanya yang tinggal kecuali karya kesusasteraan dan arsitektur.
Imperium Byzantium, yang biasanya dianggap pewaris tunggal dari kebudayaan Romawi, hanyalah ahli waris sejauh ia terus memerintah atas sebagian dari wilayah yang dahulu merupakan bagian dari imperium Romawi. "Struktur sosial dan organisasi politiknya hampir tidak berhubungan sama sekali," ujar Duta Tetap Pakistan untuk PBB itu.
Sebaliknya imperium Islam, katanya, seperti tercakup dalam kekhalifahan, memang mengalami kerusakan dan perubahan bentuk dinasti dalam perjalanan kehidupannya yang panjang, tetapi strukturnya pada hakekatnya tetap sama.
Serangan-serangan dari luar, bahkan serangan-serangan orang Mongol --yang jauh lebih ganas daripada yang dialami imperium Romawi di tangan bangsa-bangsa Hun dan Goth-- tidaklah sanggup untuk menggoncangkan organisasi kemasyarakatan dan kehidupan politik yang tidak terpatahkan dari imperium khalifah-khalifah, walaupun jelas bahwa hal itu turut menyebabkan kemacetan ekonomi dan intelektual pada masa-masa kemudiannya.
Berlainan dengan masa satu abad yang diperlukan untuk kehancuran imperium Romawi, imperium Islam dari khalifah-khalifah itu memerlukan waktu hampir seribu tahun dalam kemunduran yang perlahan-lahan hingga kehancuran politik terakhir dengan lenyapnya Kekhalifahan Usmaniyah, diikuti oleh kebobrokan sosial yang sedang kita saksikan sekarang.
"Segala ini memaksakan kesimpulan pada kita bahwa kekuatan batin dan kesehatan sosial dari dunia Islam lebih tinggi daripada segala yang pernah dialami umat manusia hingga saat ini dengan jalan organisasi sosial," ujar Muhammad Asad.
Bahkan peradaban China yang tiada ragu telah memperlihatkan kekuatan-kekuatan bertahan selama berabad-abad tidak dapat dipergunakan sebagai perbandingan di sini.
China terletak di ujung satu benua yang hingga pada akhir abad yang lalu --yaitu sehingga kebangkitan Jepang modern-- berada di luar capaian kekuatan apapun; peperangan dengan orang Mongol pada zaman Jengis Khan dan keturunan-keturunannya hampir tidak menyentuh imperium China; tetapi imperium Islam membentang hingga tiga benua dan sepanjang masa itu dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi dengan gaya hidup yang besar.
Sejak permulaan sejarah bagian bumi yang dinamakan Timur Tengah dan Timur Dekat merupakan gunung api dari pertentangan-pertentangan tenaga-tenaga rasial dan kebudayaan; tetapi pertahanan organisasi Islam tidak terpadamkan, sekurang-kurangnya hingga pada saat ini.
Muhammad Asad mengatakan kita tidak perlu mencari keterangan yang jauh tentang pemandangan yang mengagumkan ini: ajaran agama dari al-Qur'an-lah yang memberi dasar yang kuat, dan teladan hidup Nabi Muhammad SAW-lah yang menjadi pita baja yang melingkari struktur sosial yang agung itu.
"Imperium Romawi tidak memiliki unsur spiritual semacam itu untuk mempertahankan kesatuannya, dan oleh karena itu ia runtuh demikian cepat," ujarnya.
Tetapi, ujarnya lagi, masih ada satu perbedaan lagi antara kedua imperium lama itu.
Sementara dalam imperium Islam tidak ada bangsa yang diistimewakan, dan kekuasaan ditundukkan kepada penyiaran idea yang dianggap oleh pembawa-pembawa suluhnya sebagai kebenaran agamawi yang luhur, idea yang mendasari imperium Romawi adalah penaklukan demi kekuasaan dan eksploitasi atas bangsa-bangsa lain untuk kepentingan negara induk sendiri.
Untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi golongan yang diistimewakan, tidak ada keganasan yang terlalu buruk bagi bangsa Romawi, tidak ada ketidakadilan yang terlalu keji: "Keadilan Romawi" yang terkenal itu adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja.
Jelaslah sikap semacam itu hanya mungkin atas dasar satu konsepsi hidup dan peradaban yang sama sekali materialistik --tentulah materialisme yang diperindah oleh rasa intelektual, tetapi betapapun juga tetap asing bagi segala nilai-nilai spiritual.
Orang-orang Romawi dalam kenyataannya tidak pernah mengenal agama. Dewa-dewa mereka yang tradisional itu adalah tiruan samar dari mitologia Yunani, hanyalah roh-roh samar yang diterima dengan diam-diam untuk kepentingan konvensi sosial.
Dewa-dewa itu sama sekali tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Apabila ditanyai, dewa-dewa itu harus memberikan orakel melalui perantaraan-perantaraan pendeta-pendeta mereka; tetapi dewa-dewa itu tidak pernah, diharapkan untuk menentukan hukum-hukum moral pada manusia atau untuk mengarahkan tindakan-tindakan manusia. Dari bumi inilah tumbuh kebudayaan Barat.
Tiada diragukan bahwa ia banyak menerima pengaruh-pengaruh lain dalam rentangan perkembangannya, dan hal itu secara alami mengubah dan mengalihkan bentuk warisan kebudayaan Romawi dalam lebih dari satu segi pandangan. Tetapi kenyataan tetap tinggal bahwa segala apa yang nyata dalam etika dan pandangan hidup Barat sekarang langsung dapat diikuti jejaknya hingga kepada peradaban Romawi kuno karena suasana intelektual dan sosial Romawi kuno sepenuhnya bersifat utilitarian dan anti agama --dalam kenyataannya, apabila bukan dalam pengakuan terbuka-- demikianlah suasana Barat modern.
Tanpa memiliki bukti yang menyangkal agama ketuhanan, dan bahkan tanpa mengakui perlunya bukti semacam itu, pemikiran Barat modern, sementara bersikap toleran dan bahkan kadang-kadang menekankan perlunya agama sebagai satu konvensi sosial pada umumnya, melepaskan etika agamawi dari wilayah pertimbangan praktis.
Peradaban Barat tidak dengan tegas menyangkal adanya Tuhan tetapi hanya tidak ada tempat dan tiada manfaat adanya Tuhan dalam sistem intelektualnya sekarang.
Dunia Barat telah mengambil keuntungan dari kesulitan intelektual manusia --yaitu ketidaksanggupannya menggenggam keseluruhan hidup. Tampaknya Barat modern hanya akan memberikan sifat kepentingan praktis atas idea-idea yang terletak dalam bidang pengetahuan-pengetahuan empiris atau sekurang-kurangnya diharapkan untuk memengaruhi hubungan-hubungan sosial manusia dalam cara yang dapat dirasakan. Dan tentang pertanyaan akan adanya Tuhan secara prima facie tidak termasuk pada salah satu dari kedua kategori ini. Pikiran Barat pada prinsipnya cenderung untuk mengesampingkan Tuhan dari wilayah pertimbangan praktis.
Dalam buku berjudul "Islam at the Crossroads" yang telah diterjemahkan M. Hashem menjadi "Islam di Simpang Jalan", Muhammad Asad menjelaskan bahkan dalam segi terbentuknya kita melihat perbedaan yang besar sekali antara imperium Islam dan imperium Romawi.
Baca Juga
Penulis kelahiran Austria (1900) dengan nama Leopold Weiss dan masuk Islam pada usia 26 tahun ini menyebut Imperium Romawi memerlukan waktu hampir seribu tahun untuk tumbuh ke arah keluasan wilayah yang besar dan ke arah kematangan politik. Sedang imperium Islam meloncat dan tumbuh hingga kepenuhannya dalam waktu singkat yang hanya memakan waktu sekitar 80 tahun.
Tentang hal kemundurannya masing-masing, menurutnya, perbedaan itu malah lebih terang. Keruntuhan imperium Romawi, yang akhirnya ditutup sama sekali oleh migrasi bangsa-bangsa Hun dan Goth, hanya berlangsung selama satu abad saja --dan berlangsung demikian sempurnanya sehingga tidak ada sesuatu daripadanya yang tinggal kecuali karya kesusasteraan dan arsitektur.
Imperium Byzantium, yang biasanya dianggap pewaris tunggal dari kebudayaan Romawi, hanyalah ahli waris sejauh ia terus memerintah atas sebagian dari wilayah yang dahulu merupakan bagian dari imperium Romawi. "Struktur sosial dan organisasi politiknya hampir tidak berhubungan sama sekali," ujar Duta Tetap Pakistan untuk PBB itu.
Sebaliknya imperium Islam, katanya, seperti tercakup dalam kekhalifahan, memang mengalami kerusakan dan perubahan bentuk dinasti dalam perjalanan kehidupannya yang panjang, tetapi strukturnya pada hakekatnya tetap sama.
Serangan-serangan dari luar, bahkan serangan-serangan orang Mongol --yang jauh lebih ganas daripada yang dialami imperium Romawi di tangan bangsa-bangsa Hun dan Goth-- tidaklah sanggup untuk menggoncangkan organisasi kemasyarakatan dan kehidupan politik yang tidak terpatahkan dari imperium khalifah-khalifah, walaupun jelas bahwa hal itu turut menyebabkan kemacetan ekonomi dan intelektual pada masa-masa kemudiannya.
Berlainan dengan masa satu abad yang diperlukan untuk kehancuran imperium Romawi, imperium Islam dari khalifah-khalifah itu memerlukan waktu hampir seribu tahun dalam kemunduran yang perlahan-lahan hingga kehancuran politik terakhir dengan lenyapnya Kekhalifahan Usmaniyah, diikuti oleh kebobrokan sosial yang sedang kita saksikan sekarang.
"Segala ini memaksakan kesimpulan pada kita bahwa kekuatan batin dan kesehatan sosial dari dunia Islam lebih tinggi daripada segala yang pernah dialami umat manusia hingga saat ini dengan jalan organisasi sosial," ujar Muhammad Asad.
Bahkan peradaban China yang tiada ragu telah memperlihatkan kekuatan-kekuatan bertahan selama berabad-abad tidak dapat dipergunakan sebagai perbandingan di sini.
China terletak di ujung satu benua yang hingga pada akhir abad yang lalu --yaitu sehingga kebangkitan Jepang modern-- berada di luar capaian kekuatan apapun; peperangan dengan orang Mongol pada zaman Jengis Khan dan keturunan-keturunannya hampir tidak menyentuh imperium China; tetapi imperium Islam membentang hingga tiga benua dan sepanjang masa itu dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi dengan gaya hidup yang besar.
Sejak permulaan sejarah bagian bumi yang dinamakan Timur Tengah dan Timur Dekat merupakan gunung api dari pertentangan-pertentangan tenaga-tenaga rasial dan kebudayaan; tetapi pertahanan organisasi Islam tidak terpadamkan, sekurang-kurangnya hingga pada saat ini.
Muhammad Asad mengatakan kita tidak perlu mencari keterangan yang jauh tentang pemandangan yang mengagumkan ini: ajaran agama dari al-Qur'an-lah yang memberi dasar yang kuat, dan teladan hidup Nabi Muhammad SAW-lah yang menjadi pita baja yang melingkari struktur sosial yang agung itu.
"Imperium Romawi tidak memiliki unsur spiritual semacam itu untuk mempertahankan kesatuannya, dan oleh karena itu ia runtuh demikian cepat," ujarnya.
Tetapi, ujarnya lagi, masih ada satu perbedaan lagi antara kedua imperium lama itu.
Sementara dalam imperium Islam tidak ada bangsa yang diistimewakan, dan kekuasaan ditundukkan kepada penyiaran idea yang dianggap oleh pembawa-pembawa suluhnya sebagai kebenaran agamawi yang luhur, idea yang mendasari imperium Romawi adalah penaklukan demi kekuasaan dan eksploitasi atas bangsa-bangsa lain untuk kepentingan negara induk sendiri.
Untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi golongan yang diistimewakan, tidak ada keganasan yang terlalu buruk bagi bangsa Romawi, tidak ada ketidakadilan yang terlalu keji: "Keadilan Romawi" yang terkenal itu adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja.
Jelaslah sikap semacam itu hanya mungkin atas dasar satu konsepsi hidup dan peradaban yang sama sekali materialistik --tentulah materialisme yang diperindah oleh rasa intelektual, tetapi betapapun juga tetap asing bagi segala nilai-nilai spiritual.
Orang-orang Romawi dalam kenyataannya tidak pernah mengenal agama. Dewa-dewa mereka yang tradisional itu adalah tiruan samar dari mitologia Yunani, hanyalah roh-roh samar yang diterima dengan diam-diam untuk kepentingan konvensi sosial.
Dewa-dewa itu sama sekali tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Apabila ditanyai, dewa-dewa itu harus memberikan orakel melalui perantaraan-perantaraan pendeta-pendeta mereka; tetapi dewa-dewa itu tidak pernah, diharapkan untuk menentukan hukum-hukum moral pada manusia atau untuk mengarahkan tindakan-tindakan manusia. Dari bumi inilah tumbuh kebudayaan Barat.
Tiada diragukan bahwa ia banyak menerima pengaruh-pengaruh lain dalam rentangan perkembangannya, dan hal itu secara alami mengubah dan mengalihkan bentuk warisan kebudayaan Romawi dalam lebih dari satu segi pandangan. Tetapi kenyataan tetap tinggal bahwa segala apa yang nyata dalam etika dan pandangan hidup Barat sekarang langsung dapat diikuti jejaknya hingga kepada peradaban Romawi kuno karena suasana intelektual dan sosial Romawi kuno sepenuhnya bersifat utilitarian dan anti agama --dalam kenyataannya, apabila bukan dalam pengakuan terbuka-- demikianlah suasana Barat modern.
Tanpa memiliki bukti yang menyangkal agama ketuhanan, dan bahkan tanpa mengakui perlunya bukti semacam itu, pemikiran Barat modern, sementara bersikap toleran dan bahkan kadang-kadang menekankan perlunya agama sebagai satu konvensi sosial pada umumnya, melepaskan etika agamawi dari wilayah pertimbangan praktis.
Peradaban Barat tidak dengan tegas menyangkal adanya Tuhan tetapi hanya tidak ada tempat dan tiada manfaat adanya Tuhan dalam sistem intelektualnya sekarang.
Dunia Barat telah mengambil keuntungan dari kesulitan intelektual manusia --yaitu ketidaksanggupannya menggenggam keseluruhan hidup. Tampaknya Barat modern hanya akan memberikan sifat kepentingan praktis atas idea-idea yang terletak dalam bidang pengetahuan-pengetahuan empiris atau sekurang-kurangnya diharapkan untuk memengaruhi hubungan-hubungan sosial manusia dalam cara yang dapat dirasakan. Dan tentang pertanyaan akan adanya Tuhan secara prima facie tidak termasuk pada salah satu dari kedua kategori ini. Pikiran Barat pada prinsipnya cenderung untuk mengesampingkan Tuhan dari wilayah pertimbangan praktis.
(mhy)