Nasaruddin Umar: Ajaran Islam Tidak Menganut Paham Menstrual Taboo
Jum'at, 14 Oktober 2022 - 16:54 WIB
Prof Dr KH Nasaruddin Umar, MA mengatakan ajaran Islam tidak menganut paham menstrual taboo. Paham ini berkembang dalam agama Yahudi . Darah menstruasi dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus.
Gubuk itu dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi. Mereka mengasingkan diri di dalam gua-gua, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu.
Bukan itu saja, yang lebih penting ialah tatapan mata dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.
Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.
Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.
Haid dalam Islam
Nasaruddin Umar dalam tulisannya berjudul "Perspektif Jender Dalam Islam" yang dihimpun dalam buku "Jurnal Pemikiran Islam Paramadina" mengatakan ajaran Islam tidak menganut paham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita.
"Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat," ujarnya.
Ia menjelaskan istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Istilah ini dalam al-Qur'an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi'l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl). Lihat QS al-Thalaq ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 222.
Kata haid adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur'an istilah ini tidak ditemukan dalam teks Taurat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haid, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu.
Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa'd, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu "mengalir, menampal".
Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Qur'an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih banyak berarti "jalan keluar" terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid.
Dari segi penamaan saja, kata haid sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haid dijelaskan dalam QS al-Baqarah ayat 222.
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah 'kotoran' oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haid, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya.
Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haid) kecuali bersetubuh".
Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut.
Gubuk itu dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi. Mereka mengasingkan diri di dalam gua-gua, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu.
Bukan itu saja, yang lebih penting ialah tatapan mata dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.
Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.
Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.
Haid dalam Islam
Nasaruddin Umar dalam tulisannya berjudul "Perspektif Jender Dalam Islam" yang dihimpun dalam buku "Jurnal Pemikiran Islam Paramadina" mengatakan ajaran Islam tidak menganut paham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita.
"Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat," ujarnya.
Ia menjelaskan istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Istilah ini dalam al-Qur'an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi'l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl). Lihat QS al-Thalaq ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 222.
Kata haid adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur'an istilah ini tidak ditemukan dalam teks Taurat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haid, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu.
Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa'd, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu "mengalir, menampal".
Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Qur'an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih banyak berarti "jalan keluar" terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid.
Dari segi penamaan saja, kata haid sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haid dijelaskan dalam QS al-Baqarah ayat 222.
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah 'kotoran' oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haid, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya.
Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haid) kecuali bersetubuh".
Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut.