Kualitas Kemanusiaan Kita Masih Setengah Jadi? Begini Penjelasan Komaruddin Hidayat
Sabtu, 15 Oktober 2022 - 14:55 WIB
Menurut Komaruddin Hidayat, meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis pengenalan diri, secara sederhana kita bisa membedakan dua paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi (downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat imateri (upward causation).
Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi.
Kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara lain, paham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious being.
Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.
Progressive reductionism works as follows. An art object is only mass and light waves; an act of love only chemiphysical, only electrical charges; therefore, the art object or act of love is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal. 8).
Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini ( QS 2 :3).
Lebih dari itu, kata Komaruddin Hidayat, dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, Komaruddin Hidayat mengatakan pada umumnya orang sufi menerima hadis tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS 41 :53).
Dalam QS 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Komaruddin Hidayat menjelaskan dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair).
Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.
Seperti dikemukakan Carel Alexis bahwa man has gained the mistery of the material world before knowing himself.
Dalam kaitan definisi, kata Komaruddin Hidayat, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakikat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci.
Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula dijumpai. "Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal," ujar Komaruddin Hidayat.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia.
Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master.
Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi.
Kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara lain, paham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious being.
Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.
Progressive reductionism works as follows. An art object is only mass and light waves; an act of love only chemiphysical, only electrical charges; therefore, the art object or act of love is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal. 8).
Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini ( QS 2 :3).
Lebih dari itu, kata Komaruddin Hidayat, dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, Komaruddin Hidayat mengatakan pada umumnya orang sufi menerima hadis tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS 41 :53).
Dalam QS 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Komaruddin Hidayat menjelaskan dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair).
Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.
Seperti dikemukakan Carel Alexis bahwa man has gained the mistery of the material world before knowing himself.
Dalam kaitan definisi, kata Komaruddin Hidayat, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakikat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci.
Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula dijumpai. "Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal," ujar Komaruddin Hidayat.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia.
Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master.
Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Lihat Juga :