Mualaf Jerman Wilfred Hoffman Bicara tentang Bagaimana Menghadapi Maut
Jum'at, 11 November 2022 - 16:37 WIB
Seorang mualaf asal Jerman, Murad Wilfred Hoffman berbicara tentang maut, surga, dan neraka. Ia menggoreskan catatan harian tatkala usai berziarah di Turki. "Sungguh, aku ingin memijakkan kakiku di atas tanah keras. Dan, kitab kematian yang kupilih adalah surat Yasin ," tuturnya.
Berikut selengkapnya catatan Wilfred Hoffman yang dinukil dari buku berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998). Catatan ini dibuat 11 Agustus 1985 tatkala Hoffman berziarah di Uskudar, Turki. Berikut catatan selengkapnya:
Kuburan Karaka Ahmad Mezarligi adalah yang terbesar di Timur, jika bukan di dunia. Ia menutupi dataran yang sangat luas dan ditumbuhi semak-belukar di ketinggian Uskudar.
Di halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon kering itu, Anda hanya melihat kuburan yang berjejer memanjang sampai beberapa mil. Kuburan ini dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh mayat yang berbaring di atas sisi kiri tubuhnya menghadap kiblat.
Bentuk susunan yang berjajar pada tempat peristirahatan yang membelah lembah itu membuat suatu lukisan alam yang sangat unik. Seakan ada magnet yang menarik segala sesuatu menuju Mekkah.
Ada perbedaan utama antara kuburan Islam dan kuburan Kristen. Islam tidak mengenal monumen atau patung yang menunjukkan kemegahan --dalam hal ini, orang Turki lebih toleran terhadap saudara Arab mereka, menyangkut penggunaan marmer.
Adapun fenomena berkabung dan duka-cita seperti menangis histeris, melolong, menjambak rambut, mengoyak pakaian, dan membuat ritus-ritus di seputar kuburan, serta segala bentuk ritual untuk mengangungkan seseorang yang telah wafat, itu semua bukanlah perilaku Islam.
Hal ini disalahmengertikan oleh Barat bahwa menahan jiwa sebagai ketidak-berperasaan, sedangkan sabar menghadapi musibah dianggap kebekuan nurani. Pada saat rakyat Arab Saudi menguburkan raja yang sangat mereka cintai, pada tahun 1953 di pemakaman umum tanpa tanda pembeda, dipandang sebagai indikasi kemiskinannya.
Hal ini jelas tidak benar. Interpretasi yang sebenarnya, adalah umat Islam dalam sikap negatif mereka terhadap penyembahan pahlawan dan orang-orang besar yang telah wafat, menunjukkan keinginan keras mereka untuk tidak tergelincir kepada penyelewangan tauhid. Karenanya, mereka ingin menegaskan bahwa tak ada peluang sedikit pun bagi orang-orang hebat, para nabi atau orang-orang suci untuk mempersekutukan Allah dalam keagungan-Nya setelah mereka wafat, karena Allah berkuasa tanpa sekutu.
Di sisi lain, banyak orang Barat berlebihan dalam menilai perbedaan antara alam semesta dan iman terhadap hari kiamatnya Kristen dan Islam.
Kedua agama ini menerima bahwa pernyataan, "Setiap kali alam mendekati ujung akhirnya, alam yang lain semakin dekat," (Abdul Qadir ash-Shufi). Seorang Kristen yang taat, seperti halnya seorang muslim yang wara' selalu mempersiapkan dirinya setiap hari menuju perjumpaan dengan maut. Penantian yang lama ini disimbolkan pada puncak Jabal Arafat, Mekkah. Sikap ini mendapat legitimasi yang istimewa di antara ritus-ritus haji lainnya.
Yang jelas, Al-Qur'an sarat dengan metafora surga dan neraka. Dan, Muhammad SAW telah menambahkan seluk beluk hari kiamat lewat riwayat perjalanannya ke Quds (Isra) dan kenaikannya menuju langit tujuh (Mikraj).
Tidak cukup sampai di sini --juga jika ada tambahan yang wajib diketahui-- para sufi terlampau jauh memikirkan detail-detail ilustrasi terhadap makna simbol-simbol dan metafora-metafora akhirat. Shur, diartikan yang akan ditiup sebelum akhir dunia. Mizan, diartikan timbangan kebajikan dan kejelekan. Sedang Shirat, diartikan sebagai titian yang dilewati seseorang menuju surga.
Dalam buku tentang "Kematian dalam Islam" karya Abdul Rahim bin Ahmad al-Qhadi (1981), sang penulis sangat berani dalam mengembangkan ilustrasi-ilustrasi imajiner terhadap sesuatu yang ia namakan "peta geografi akhirat".
Sekalipun kerancuan-kerancuan ilustrasi sampai sedemikian rupa, namun tidak membuat seorang muslim yang berakal berkeyakinan bahwa para penyusun buku itu mengetahui hakikatyang mereka bicarakan. Sungguh, buku tentang kematian ini dengan segala muatannya tentang informasi-informasi sejak lepasnya ajal sampai ke alam kebangkitan (al-Ba'tsu) hanyalah menunjukkan kelemahan kita dalam memahami kehidupan setelah mati lebih dari apa yang dijelaskan oleh wahyu dengan gamblang.
Sungguh, aku ingin memijakkan kakiku di atas tanah keras. Dan, kitab kematian yang kupilih adalah surat Yasin (ayat ke36).
Mualaf
Berikut selengkapnya catatan Wilfred Hoffman yang dinukil dari buku berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998). Catatan ini dibuat 11 Agustus 1985 tatkala Hoffman berziarah di Uskudar, Turki. Berikut catatan selengkapnya:
Kuburan Karaka Ahmad Mezarligi adalah yang terbesar di Timur, jika bukan di dunia. Ia menutupi dataran yang sangat luas dan ditumbuhi semak-belukar di ketinggian Uskudar.
Di halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon kering itu, Anda hanya melihat kuburan yang berjejer memanjang sampai beberapa mil. Kuburan ini dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh mayat yang berbaring di atas sisi kiri tubuhnya menghadap kiblat.
Bentuk susunan yang berjajar pada tempat peristirahatan yang membelah lembah itu membuat suatu lukisan alam yang sangat unik. Seakan ada magnet yang menarik segala sesuatu menuju Mekkah.
Ada perbedaan utama antara kuburan Islam dan kuburan Kristen. Islam tidak mengenal monumen atau patung yang menunjukkan kemegahan --dalam hal ini, orang Turki lebih toleran terhadap saudara Arab mereka, menyangkut penggunaan marmer.
Adapun fenomena berkabung dan duka-cita seperti menangis histeris, melolong, menjambak rambut, mengoyak pakaian, dan membuat ritus-ritus di seputar kuburan, serta segala bentuk ritual untuk mengangungkan seseorang yang telah wafat, itu semua bukanlah perilaku Islam.
Hal ini disalahmengertikan oleh Barat bahwa menahan jiwa sebagai ketidak-berperasaan, sedangkan sabar menghadapi musibah dianggap kebekuan nurani. Pada saat rakyat Arab Saudi menguburkan raja yang sangat mereka cintai, pada tahun 1953 di pemakaman umum tanpa tanda pembeda, dipandang sebagai indikasi kemiskinannya.
Hal ini jelas tidak benar. Interpretasi yang sebenarnya, adalah umat Islam dalam sikap negatif mereka terhadap penyembahan pahlawan dan orang-orang besar yang telah wafat, menunjukkan keinginan keras mereka untuk tidak tergelincir kepada penyelewangan tauhid. Karenanya, mereka ingin menegaskan bahwa tak ada peluang sedikit pun bagi orang-orang hebat, para nabi atau orang-orang suci untuk mempersekutukan Allah dalam keagungan-Nya setelah mereka wafat, karena Allah berkuasa tanpa sekutu.
Di sisi lain, banyak orang Barat berlebihan dalam menilai perbedaan antara alam semesta dan iman terhadap hari kiamatnya Kristen dan Islam.
Kedua agama ini menerima bahwa pernyataan, "Setiap kali alam mendekati ujung akhirnya, alam yang lain semakin dekat," (Abdul Qadir ash-Shufi). Seorang Kristen yang taat, seperti halnya seorang muslim yang wara' selalu mempersiapkan dirinya setiap hari menuju perjumpaan dengan maut. Penantian yang lama ini disimbolkan pada puncak Jabal Arafat, Mekkah. Sikap ini mendapat legitimasi yang istimewa di antara ritus-ritus haji lainnya.
Yang jelas, Al-Qur'an sarat dengan metafora surga dan neraka. Dan, Muhammad SAW telah menambahkan seluk beluk hari kiamat lewat riwayat perjalanannya ke Quds (Isra) dan kenaikannya menuju langit tujuh (Mikraj).
Tidak cukup sampai di sini --juga jika ada tambahan yang wajib diketahui-- para sufi terlampau jauh memikirkan detail-detail ilustrasi terhadap makna simbol-simbol dan metafora-metafora akhirat. Shur, diartikan yang akan ditiup sebelum akhir dunia. Mizan, diartikan timbangan kebajikan dan kejelekan. Sedang Shirat, diartikan sebagai titian yang dilewati seseorang menuju surga.
Dalam buku tentang "Kematian dalam Islam" karya Abdul Rahim bin Ahmad al-Qhadi (1981), sang penulis sangat berani dalam mengembangkan ilustrasi-ilustrasi imajiner terhadap sesuatu yang ia namakan "peta geografi akhirat".
Sekalipun kerancuan-kerancuan ilustrasi sampai sedemikian rupa, namun tidak membuat seorang muslim yang berakal berkeyakinan bahwa para penyusun buku itu mengetahui hakikatyang mereka bicarakan. Sungguh, buku tentang kematian ini dengan segala muatannya tentang informasi-informasi sejak lepasnya ajal sampai ke alam kebangkitan (al-Ba'tsu) hanyalah menunjukkan kelemahan kita dalam memahami kehidupan setelah mati lebih dari apa yang dijelaskan oleh wahyu dengan gamblang.
Sungguh, aku ingin memijakkan kakiku di atas tanah keras. Dan, kitab kematian yang kupilih adalah surat Yasin (ayat ke36).
Mualaf