Prof Sohail Humayun Hashmi Mengaku Menjadi Muslim Tak Sengaja
Sabtu, 19 November 2022 - 19:43 WIB
Prof Sohail Humayun Hashmi menyebut dirinya menjadi Muslim tak sengaja. Jihad baginya pada dasarnya adalah mencoba hidup sebagai seorang Muslim sesuai dengan kepercayaannya. Apa maksudnya? Sebelum menjelaskan perihal tersebut warga Amerika Serikat ini berbicara tentang jihad dan politik.
Menurutnya, istilah jihad memang berkonotasi agama, tetapi terlalu sering dikaitkan dengan aspirasi politik. "Kita memang tak dapat memisahkan Islam atau jihad dari politik," ujarnya.
"Jihad pada dasarnya adalah perjuangan untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang lebih baik masyarakat yang tidak ada anggotanya yang kelaparan, atau hidup dalam suasana yang tertekan dan tertindas," lanjut Prof Sohail Humayun Hashmi sebagaimana dinukil Steven Barbosa dalam bukunya yang berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" (Bantam Doubleday, New York 1993)
Menurut Sohail, sesungguhnya inilah hakikat politik: mengalokasikan sumber daya yang terbatas jumlahnya secara adil dan merata. Kadang-kadang sistem tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan hak kelompok yang kaya dan kuat.
Sementara itu di tempat lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam hubungan ini Islam mencoba memerangi penyimpangan-penyimpangan itu agar sistem tidak hanya menguntungkan segelintir orang semata-mata.
Sekadar mengingatkan, Sohail Humayun Hashmi adalah seorang muslim yang tinggal di Amerika Serikat. Dia adalah profesor Hubungan Internasional di Alumnae Foundation dan Profesor Politik di Mount Holyoke College.
Imigran keturunan India ini banyak mengajar etika internasional komparatif, khususnya konsep perang dan perdamaian yang adil, dan pada studi agama dalam politik, khususnya Islam dalam politik domestik dan internasional.
Sohail telah menerbitkan berbagai topik dalam etika Islam dan teori politik, termasuk kedaulatan, intervensi kemanusiaan, toleransi, masyarakat sipil, dan teori jihad . Buku terbarunya adalah volume yang telah diedit berjudul Just Wars, Holy Wars, and Jihads: Christian, Jewish, and Muslim Encounters and Exchanges (Oxford University Press, 2012). Dia saat ini sedang mengerjakan sebuah buku yang menganalisis tanggapan Muslim terhadap kebangkitan hukum internasional .
Berikut penuturan Sohail Humayun Hashmi tentang Islam, jihad, dan politik selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X " (Mizan, 1995):
Sejak munculnya sekularisasi sistem politik yang dianut oleh dunia Barat, ada anggapan kuat bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka yang akan terjadi adalah konflik, pembunuhan, kerusuhan, dan peperangan.
Satu penyebab yang cukup jelas bagi berkembangnya pemikiran semacam ini adalah pengalaman bangsa-bangsa Eropa yang menyaksikan permusuhan dan perang antara kaum Katolik dan Protestan yang berlangsung cukup lama dan menyakitkan. Maka muncullah ide sekularisasi --menolak mengkaitkan agama dengan aktivitas politik dan menekankan bahwa beragama merupakan urusan pribadi setiap orang.
Masyarakat mengkhawatirkan kalau-kalau Islam juga mengarah kepada jalan pikiran semacam di atas, dan memisahkan agama dengan politik. Saya cenderung berkata tidak. Justru sebaliknya, politik sedang kembali ke Islam.
Sesudah Perang Dunia II, gerakan antikolonialisme dipimpin oleh orang-orang yang ingin agar imperialis Barat meninggalkan negeri mereka. Tetapi pikiran itu lebih dimaksudkan agar mereka juga dapat seperti orang-orang Barat itu --mencapai status orang yang menjajah mereka.
Para pemimpin itu pada dasarnya ingin menggantikan peran penjajah itu, dan menindas rakyat di negeri mereka sendiri. Mereka ingin hidup enak, tinggal di vila-vila mewah.
Sayangnya, yang mereka lakukan adalah meniru-niru kaum imperialis dengan menerapkan nilai-nilai Barat; mulai memperlakukan agama (Islam) semata-mata sebagai urusan pribadi setiap orang.
Contoh yang amat popular adalah yang terjadi di Turki. Kejadiannya dimulai sekitar 1920-an, sebelum Perang Dunia II. Sampai-sampai pemerintah ikut campur tangan mengatur cara orang berpakaian; melarang rakyat berbusana tradisional, karena terkesan kampungan dan anti-nasionalis.
Hasilnya, negara mulai mengarahkan kehidupan rakyatnya ke hal-hal yang keterlaluan. Mulailah pemerintah bertindak otoriter, karena mereka begitu ngotot untuk mendidik rakyatnya sesuai dengan kemauan petinggi negara yang tentu saja sering kali bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai setempat.
Ada suatu periode dalam pergerakan Islam pada permulaan abad ini, ketika ada upaya-upaya untuk menyelaraskan dunia modern dengan prinsip-prinsip Islam. Sayangnya, gerakan kaum modernis ini tak pernah menjadi sesuatu yang solid.
Menurutnya, istilah jihad memang berkonotasi agama, tetapi terlalu sering dikaitkan dengan aspirasi politik. "Kita memang tak dapat memisahkan Islam atau jihad dari politik," ujarnya.
"Jihad pada dasarnya adalah perjuangan untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang lebih baik masyarakat yang tidak ada anggotanya yang kelaparan, atau hidup dalam suasana yang tertekan dan tertindas," lanjut Prof Sohail Humayun Hashmi sebagaimana dinukil Steven Barbosa dalam bukunya yang berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" (Bantam Doubleday, New York 1993)
Menurut Sohail, sesungguhnya inilah hakikat politik: mengalokasikan sumber daya yang terbatas jumlahnya secara adil dan merata. Kadang-kadang sistem tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan hak kelompok yang kaya dan kuat.
Sementara itu di tempat lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam hubungan ini Islam mencoba memerangi penyimpangan-penyimpangan itu agar sistem tidak hanya menguntungkan segelintir orang semata-mata.
Sekadar mengingatkan, Sohail Humayun Hashmi adalah seorang muslim yang tinggal di Amerika Serikat. Dia adalah profesor Hubungan Internasional di Alumnae Foundation dan Profesor Politik di Mount Holyoke College.
Imigran keturunan India ini banyak mengajar etika internasional komparatif, khususnya konsep perang dan perdamaian yang adil, dan pada studi agama dalam politik, khususnya Islam dalam politik domestik dan internasional.
Sohail telah menerbitkan berbagai topik dalam etika Islam dan teori politik, termasuk kedaulatan, intervensi kemanusiaan, toleransi, masyarakat sipil, dan teori jihad . Buku terbarunya adalah volume yang telah diedit berjudul Just Wars, Holy Wars, and Jihads: Christian, Jewish, and Muslim Encounters and Exchanges (Oxford University Press, 2012). Dia saat ini sedang mengerjakan sebuah buku yang menganalisis tanggapan Muslim terhadap kebangkitan hukum internasional .
Berikut penuturan Sohail Humayun Hashmi tentang Islam, jihad, dan politik selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X " (Mizan, 1995):
Sejak munculnya sekularisasi sistem politik yang dianut oleh dunia Barat, ada anggapan kuat bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka yang akan terjadi adalah konflik, pembunuhan, kerusuhan, dan peperangan.
Satu penyebab yang cukup jelas bagi berkembangnya pemikiran semacam ini adalah pengalaman bangsa-bangsa Eropa yang menyaksikan permusuhan dan perang antara kaum Katolik dan Protestan yang berlangsung cukup lama dan menyakitkan. Maka muncullah ide sekularisasi --menolak mengkaitkan agama dengan aktivitas politik dan menekankan bahwa beragama merupakan urusan pribadi setiap orang.
Baca Juga
Masyarakat mengkhawatirkan kalau-kalau Islam juga mengarah kepada jalan pikiran semacam di atas, dan memisahkan agama dengan politik. Saya cenderung berkata tidak. Justru sebaliknya, politik sedang kembali ke Islam.
Sesudah Perang Dunia II, gerakan antikolonialisme dipimpin oleh orang-orang yang ingin agar imperialis Barat meninggalkan negeri mereka. Tetapi pikiran itu lebih dimaksudkan agar mereka juga dapat seperti orang-orang Barat itu --mencapai status orang yang menjajah mereka.
Para pemimpin itu pada dasarnya ingin menggantikan peran penjajah itu, dan menindas rakyat di negeri mereka sendiri. Mereka ingin hidup enak, tinggal di vila-vila mewah.
Sayangnya, yang mereka lakukan adalah meniru-niru kaum imperialis dengan menerapkan nilai-nilai Barat; mulai memperlakukan agama (Islam) semata-mata sebagai urusan pribadi setiap orang.
Contoh yang amat popular adalah yang terjadi di Turki. Kejadiannya dimulai sekitar 1920-an, sebelum Perang Dunia II. Sampai-sampai pemerintah ikut campur tangan mengatur cara orang berpakaian; melarang rakyat berbusana tradisional, karena terkesan kampungan dan anti-nasionalis.
Hasilnya, negara mulai mengarahkan kehidupan rakyatnya ke hal-hal yang keterlaluan. Mulailah pemerintah bertindak otoriter, karena mereka begitu ngotot untuk mendidik rakyatnya sesuai dengan kemauan petinggi negara yang tentu saja sering kali bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai setempat.
Ada suatu periode dalam pergerakan Islam pada permulaan abad ini, ketika ada upaya-upaya untuk menyelaraskan dunia modern dengan prinsip-prinsip Islam. Sayangnya, gerakan kaum modernis ini tak pernah menjadi sesuatu yang solid.