Kisah Muslim Amerika Serikat Prof Sohail Humayun Hashmi Mengajarkan Islam di Rumah

Kamis, 17 November 2022 - 08:23 WIB
loading...
Kisah Muslim Amerika Serikat Prof Sohail Humayun Hashmi  Mengajarkan Islam di Rumah
Prof Sohail Humayun Hashmi. Foto/Ilustrasi: the new leam
A A A
Sohail H. Hashmi adalah Profesor Hubungan Internasional di Alumnae Foundation dan Profesor Politik di Mount Holyoke College, tempatnya mengajar sejak 1994. Penelitian dan pengajaran Sohail berfokus pada etika internasional komparatif, khususnya konsep perang dan perdamaian yang adil, dan pada studi agama dalam politik, khususnya Islam dalam politik domestik dan internasional.

Dalam hal beragama, Sohailmengungkap pengalaman dirinya yang sungguh berbeda. Keluarganya mengajarkan Islam di rumah, dan itu pun bukan dalam bentuk dogma atau upacara ritual semata. "Bagi saya Islam merupakan tata cara keluarga kami menempuh kehidupan. Dan karena itu mereka selalu menjadi teladan bagi saya tentang bagaimana pernikahan secara Muslim harus dilakukan, dan bagaimana keluarga Muslim harus berperilaku," ujarnya sebagaimana dinukil Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X".

Sohail telah menerbitkan berbagai topik dalam etika Islam dan teori politik, termasuk kedaulatan, intervensi kemanusiaan, toleransi, masyarakat sipil, dan teori jihad . Buku terbarunya adalah volume yang telah diedit berjudul Just Wars, Holy Wars, and Jihads: Christian, Jewish, and Muslim Encounters and Exchanges (Oxford University Press, 2012). Dia saat ini sedang mengerjakan sebuah buku yang menganalisis tanggapan Muslim terhadap kebangkitan hukum internasional .

Menurut Sohail, di Universitas Harvard ada kira-kira 200 orang mengaku Muslim. Jumlah yang sebenarnya mencapai 8.000-an. Masyarakat Muslim di universitas terkenal itu tumbuh dengan pesat, kata Sohail, dan makin banyak di antara anggotanya yang aktif. Harvard telah menyaksikan kiprah "Muslim warisan"; kaum Muslimin yang sudah Islam sejak lahir, yang sengaja menghindar untuk berhubungan dengan kelompok-kelompok Muslim lain di kampus.

Berikut penuturan Sohail Humayun Hashmi tentang dirinya dan Islam di Amerika Serikat sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X " (Mizan, 1995).



Ketika masih di India, saya bersekolah di sebuah sekolah Katolik (Anglikan), cukup jauh dari rumah. Saya biasa bangun jam lima pagi, dan ibu akan menyiapkan segala bekal saya ke sekolah. Ada seorang tua yang dengan setia mengantar jemput setiap hari.

Pertama-tama kami harus naik kereta dan di tengah perjalanan kami turun dari kereta, kemudian naik bus. Sesampainya di sekolah, saya sudah lelah. Tetapi saya tetap memilih sekolah itu karena memang merupakan salah satu yang terbaik di Hyderabad, sebuah sekolah menengah dengan bahasa pengantar Inggris.

Pada jam istirahat makan siang, saya lebih sering sibuk bermain-main. Orang tua yang mengantar jemput itu, yang memang miskin, datang menghampiri saya.

Sering kali ia tak makan apa-apa seharian. Lama-lama saya berikan jatah makan siang saya kepadanya, dan ini lantas menjadi kebiasaan sehari-hari.

Nenek menyiapkan makan siang untuk saya dan laki-laki itu yang memakannya. Ketika kembali dari sekolah, tentu saja perut saya keroncongan menahan lapar. Suatu ketika nenek bertanya, "Kenapa kau tampak begitu lapar. Bukankah kamu sudah makan siang?"

Mula-mula saya tak menceritakan apa yang terjadi, sampai suatu hari nenek menegur saya. "Pasti ada yang tak beres. Kotak ransummu kosong tiap hari tetapi kamu selalu kelaparan." Akhirnya saya ceritakan bahwa orang tua itulah yang memakan bekal itu.

Kontan saja nenek memanggil laki-laki itu dan menegurnya, "Kok tega-teganya kamu mengambil jatah makanan anak kecil seperti dia. Kalau saja kamu bilang, tentu akan saya siapkan juga makan siang untukmu. Kamu juga tak seharusnya menahan lapar. Tetapi mengambil jatah anak kecil seperti dia juga bukan tindakan yang benar, karena ia bisa kelaparan sepanjang hari."

Ia benar-benar malu dibuatnya, tetapi sejak itu nenek selalu menyiapkan makan siang untuknya. Saya ingat betul pengalaman itu karena itu menunjukkan keakraban, kepedulian, sekaligus kedermawanan keluarga saya.



Ibu kembali meneruskan sekolah setelah saya lahir, untuk menyelesaikan gelar sarjananya. Ketika itu ayah saya sudah berada di Amerika Serikat.

Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga besar. Nenek mengendalikan rumah tangga kami di India, yang saya pikir sering terjadi di kebanyakan masyarakat Muslim.

Saya tak pernah berpikir bahwa kaum wanita merupakan bawahan atau pembantu kaum pria, dalam situasi apa pun. Agama kami tak mengajarkan hal-hal yang demikian, dan lebih dari itu saya menyaksikannya sendiri dalam kehidupan saya sehari-hari. Dalam keluarga kami, kaum wanitalah yang mengatur rumah tangga, sementara kaum pria selalu menuruti mereka.

Kakek saya tak pernah beranggapan bahwa ia dapat mengontrol penggunaan uang yang diperolehnya. Uang itu diserahkan seluruhnya kepada nenek, yang akan membelanjakannya sesuai kebutuhan. Uang yang diperoleh kakek bukan lagi miliknya. Begitulah tatacara di mana ia dibesarkan; dan begitulah cara pandangnya. Semua itu sesungguhnya merupakan pembagian kerja.

Nenek membesarkan saya dalam identitas Muslim yang amat kental. Semua paman dan bibi saya juga mengalami hal yang sama.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1807 seconds (0.1#10.140)