Catatan Mualaf Jerman Wilfred Hoffman tentang Islam dan Hak Asasi Manusia
Selasa, 29 November 2022 - 05:15 WIB
Mualaf asal Jerman , Murad Wilfred Hoffman, membuat catatan harian tentang Islam dan hak asasi manusia dalam bukunya yang berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998). Catatan tersebut dibuat di dalam kereta saat ia menuju Brussel, pada 5 Desember 1985.
Berikut catatan harian tersebut selengkapnya:
Dalam artikel majalah al-Jazirah al-Arabiyah, edisi November 1985, Fathi Utsman mengutarakan bahwa pemikiran Islam kontemporer tampak kabur dalam hal konsep hak asasi manusia (HAM), menurut Islam (hlm. 11). Sungguh, ia tepat dalam hal ini.
Jika setiap kali umat Islam dihadapkan pada pertanyaan tentang prestasi-prestasi spektakuler Revolusi Amerika dan Prancis pada abad ke-18, reaksi mereka sungguh kontradiktif dalam bentuk yang tidak jelas.
Pada satu sisi, kita temukan di antara umat Islam terdapat para pemikir cemerlang, seperti Muhammad Asad dan Fathi Usman --walaupun mereka bukan mujaddid kontemporer-- mengemukakan masalah apa pun dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling, selama Islam dan logika masih sesuai dengan roh kontemporer.
Di sisi lain, kita dapati penulis semacam Ogozan Symsik, dalam majalah Hicret edisi awal November 1985, menolak demokrasi dengan mengatakan, "Apa itu demokrasi? Ia tidak islami."
Lebih dari itu, negeri-negeri Islam tidak satu suara dalam melegalisasi HAM, baik yang berhubungan dengan Deklarasi Internasional HAM yang dikeluarkan oleh Badan Umum PBB (10 Desember 1948) atau dokumen-dokumen internasional. Hal itu khususnya yang menyangkut hak-hak pidana, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (19 Desember 1966).
Mesir, Irak, Yordania, Libanon, Mali, Maroko, Syria, dan Tunisia segera menjustifikasi secara semu terhadap dokumen-dokumen ini, sementara yang lainnya ragu-ragu. Di antara kelompok kedua, Arab Saudi dan Pakistan, sejak 1980 memainkan peranan penting dalam mengembangkan rancangan HAM yang islami.
Hal itu berpulang pada kenyataan bahwa konsep HAM Barat tidak sesuai dengan syariat Islam. Di antaranya hukuman terhadap orang-orang murtad, masalah persamaan hak antara wanita dan pria serta masalah non-muslim yang tidak boleh memegang kekuasaan tertinggi di negara Islam.
Sebenarnya fikih Islam tidak dapat menutup mata terhadap adanya sistem perbudakan --yang kini dilegalkan di berbagai tempat. Fikih juga hendaknya menyadari kenyataan, bahwa Al-Qur'an, dalam banyak ayat, mengelaborasi topik perbudakan. Secara implisit, Al-Qur'an ingin membatasi praktiknya jika tidak menghapusnya sama sekali.
Pada saat yang sama, kasus murtad adalah lebih sederhana dari yang dibayangkan, walaupun orang-orang murtad diperangi pada abad pertengahan. Sungguh, bila kita menengok surat al-Maa'idah:33, hal itu semestinya tidak ditakwil sebagai perubahan damai terhadap akidah agama.
Akan tetapi, kita berkeyakinan bahwa sanksi yang disebutkan dalam Al-Qur'an, hanya ditegakkan karena pengkhianatan dan konspirasi jahat terhadap negara Islam. Ini adalah bentuk subversif, yaitu mayoritas negara-negara modern menjatuhkan hukuman mati.
Mudah juga membela dengan logika akan pelarangan bagi non-muslim untuk memerintah di negara Islam, khususnya dalam kerangka perlindungan penuh yang dijamin oleh syariat Islam terhadap minoritas non-muslim, dan sebagainya.
Sesuai dengan Undang-undang Amerika, maka anakku Alexander yang dilahirkan sebagai warga Amerika tidak bisa menjadi presiden Amerika Serikat karena ia dilahirkan di luar AS. Jika kaidah ini tidak dikatakan pelanggaran HAM, maka kita harus menerima --dengan format yang sepadan-- perlindungan posisi-posisi strategis tertentu bagi umat Islam di negeri --yang mayoritasnya-- muslim.
Hal ini menuntutku kepada kontradiksi antara konsep Barat dan syariat Islam dalam bidang emansipasi wanita, karena tidak ada alasan mengingkari bahwa syariat Islam menawarkan antitesis (terhadap alternatif Barat) yang bertolak dari pembagian secara alamiah terhadap peran dan tugas masing-masing.
Bertolak dari sini, syariat Islam memegang prinsip: persamaan dalam pergaulan tidak diterapkan, kecuali dalam situasi dan kondisi yang relevan, bukan dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Dalam segala kondisi, syariat Islam berusaha memelihara kehormatan wanita dan mencegah eksploitasi laki-laki atas kelemahan wanita dalam perbedaan biologis. Begitulah konsep Islam: persamaan dalam kemuliaan dengan perbedaan beban; persamaan dalam kedudukan dengan perbedaan peran; dan persamaan dalam nilai dengan perbedaan kemampuan.
Tidaklah tepat jika memperbandingkan bahwa wanita karir di Barat, sebagai konsekuensi logis kebebasan yang mereka nikmati, telah berhasil mewujudkan keinginan dan kebahagian mereka, lebih dari yang bisa dicapai oleh saudari mereka yang di Timur. Banyak yang berpendapat selain itu. Walhasil, keraguan menggelayuti diriku terhadap sistem hidup yang tidak bisa menjamin kehidupan yang mulia bagi wanita. Karena persoalan ini bergantung sepenuhnya pada interaksi seseorang dengan orang lain dan dirinya sendiri.
Berikut catatan harian tersebut selengkapnya:
Dalam artikel majalah al-Jazirah al-Arabiyah, edisi November 1985, Fathi Utsman mengutarakan bahwa pemikiran Islam kontemporer tampak kabur dalam hal konsep hak asasi manusia (HAM), menurut Islam (hlm. 11). Sungguh, ia tepat dalam hal ini.
Jika setiap kali umat Islam dihadapkan pada pertanyaan tentang prestasi-prestasi spektakuler Revolusi Amerika dan Prancis pada abad ke-18, reaksi mereka sungguh kontradiktif dalam bentuk yang tidak jelas.
Pada satu sisi, kita temukan di antara umat Islam terdapat para pemikir cemerlang, seperti Muhammad Asad dan Fathi Usman --walaupun mereka bukan mujaddid kontemporer-- mengemukakan masalah apa pun dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling, selama Islam dan logika masih sesuai dengan roh kontemporer.
Di sisi lain, kita dapati penulis semacam Ogozan Symsik, dalam majalah Hicret edisi awal November 1985, menolak demokrasi dengan mengatakan, "Apa itu demokrasi? Ia tidak islami."
Lebih dari itu, negeri-negeri Islam tidak satu suara dalam melegalisasi HAM, baik yang berhubungan dengan Deklarasi Internasional HAM yang dikeluarkan oleh Badan Umum PBB (10 Desember 1948) atau dokumen-dokumen internasional. Hal itu khususnya yang menyangkut hak-hak pidana, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (19 Desember 1966).
Mesir, Irak, Yordania, Libanon, Mali, Maroko, Syria, dan Tunisia segera menjustifikasi secara semu terhadap dokumen-dokumen ini, sementara yang lainnya ragu-ragu. Di antara kelompok kedua, Arab Saudi dan Pakistan, sejak 1980 memainkan peranan penting dalam mengembangkan rancangan HAM yang islami.
Hal itu berpulang pada kenyataan bahwa konsep HAM Barat tidak sesuai dengan syariat Islam. Di antaranya hukuman terhadap orang-orang murtad, masalah persamaan hak antara wanita dan pria serta masalah non-muslim yang tidak boleh memegang kekuasaan tertinggi di negara Islam.
Sebenarnya fikih Islam tidak dapat menutup mata terhadap adanya sistem perbudakan --yang kini dilegalkan di berbagai tempat. Fikih juga hendaknya menyadari kenyataan, bahwa Al-Qur'an, dalam banyak ayat, mengelaborasi topik perbudakan. Secara implisit, Al-Qur'an ingin membatasi praktiknya jika tidak menghapusnya sama sekali.
Pada saat yang sama, kasus murtad adalah lebih sederhana dari yang dibayangkan, walaupun orang-orang murtad diperangi pada abad pertengahan. Sungguh, bila kita menengok surat al-Maa'idah:33, hal itu semestinya tidak ditakwil sebagai perubahan damai terhadap akidah agama.
Akan tetapi, kita berkeyakinan bahwa sanksi yang disebutkan dalam Al-Qur'an, hanya ditegakkan karena pengkhianatan dan konspirasi jahat terhadap negara Islam. Ini adalah bentuk subversif, yaitu mayoritas negara-negara modern menjatuhkan hukuman mati.
Mudah juga membela dengan logika akan pelarangan bagi non-muslim untuk memerintah di negara Islam, khususnya dalam kerangka perlindungan penuh yang dijamin oleh syariat Islam terhadap minoritas non-muslim, dan sebagainya.
Sesuai dengan Undang-undang Amerika, maka anakku Alexander yang dilahirkan sebagai warga Amerika tidak bisa menjadi presiden Amerika Serikat karena ia dilahirkan di luar AS. Jika kaidah ini tidak dikatakan pelanggaran HAM, maka kita harus menerima --dengan format yang sepadan-- perlindungan posisi-posisi strategis tertentu bagi umat Islam di negeri --yang mayoritasnya-- muslim.
Hal ini menuntutku kepada kontradiksi antara konsep Barat dan syariat Islam dalam bidang emansipasi wanita, karena tidak ada alasan mengingkari bahwa syariat Islam menawarkan antitesis (terhadap alternatif Barat) yang bertolak dari pembagian secara alamiah terhadap peran dan tugas masing-masing.
Bertolak dari sini, syariat Islam memegang prinsip: persamaan dalam pergaulan tidak diterapkan, kecuali dalam situasi dan kondisi yang relevan, bukan dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Dalam segala kondisi, syariat Islam berusaha memelihara kehormatan wanita dan mencegah eksploitasi laki-laki atas kelemahan wanita dalam perbedaan biologis. Begitulah konsep Islam: persamaan dalam kemuliaan dengan perbedaan beban; persamaan dalam kedudukan dengan perbedaan peran; dan persamaan dalam nilai dengan perbedaan kemampuan.
Tidaklah tepat jika memperbandingkan bahwa wanita karir di Barat, sebagai konsekuensi logis kebebasan yang mereka nikmati, telah berhasil mewujudkan keinginan dan kebahagian mereka, lebih dari yang bisa dicapai oleh saudari mereka yang di Timur. Banyak yang berpendapat selain itu. Walhasil, keraguan menggelayuti diriku terhadap sistem hidup yang tidak bisa menjamin kehidupan yang mulia bagi wanita. Karena persoalan ini bergantung sepenuhnya pada interaksi seseorang dengan orang lain dan dirinya sendiri.