Kisah Terbelahnya Orientasi Fiqih di Era Muawiyah

Kamis, 29 Desember 2022 - 14:55 WIB
Di era Muawiyah, lahir dua kubu orientasi fiqih. Foto/Ilustrasi: Ist
Kisah terbelahnya orientasi fiqih menjadi dua kubu, yakni kubu Hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Irak terjadi pada masa Khalifah Muawiyah atau Dinasti Umayyah . Kendati demikian, cendekiawan Muslim, Prof Nurcholish Madjid atau Cak Nur, beranggapan di bawah pimpinan Mu'awiyah kaum Muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab , sesuatu yang kala itu amat dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan" yang membunuh Utsman bin Affan .

"Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar," ujar Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Sejarah Awal Penyusunan dan Pembukuan Hukum Islam".

Oleh karena itu, kata Cak Nur, ada semacam 'koalisi' antara Damaskus dan Madinah. Hanya saja 'koalisi' itu mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqih, yaitu tumbuhnya orientasi ke hukuman (Islam) kepada Hadis atau Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan Mekkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus.

Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif.

Ini kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz (Mekkah-Madinah) dengan orientasi Hadisnya, dan Irak (Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi(ra'y)-nya.



Dua Aliran

Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan oleh Syaykh 'Ali al-Khafif dalam kitabnya "Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in wa Tabi'i 'l-Tabi'in" sebagai berikut:

Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak.

Selanjutnya aliran yang cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau "petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash. Tempatnya ialah Hijaz.

Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.

Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap, menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian sampai beliau wafat.

Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...

Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di Hijaz.



Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu, disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka itu kepada penalaran, adalah lebih luas dan lebih banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih banyak.

Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak, mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.

Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah (Kelompok Riwayat, karena mereka banyak berpegang kepada penuturan masa lampau, seperti Hadis, sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y (Kelompok Penalaran, dengan isyarat tidak banyak mementingkan "riwayat"), sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual masing-masing daerah itu.

Sedangkan pada peringkat individu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong 'Kelompok Penalaran', dan di kalangan para sarjana Irak, kelak, tampil seorang penganut dan pembela 'Kelompok Riwayat' yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal.

Di samping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry', apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat.

"Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua katagori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum zaman Tabi'in," demikian Prof Nurcholish Madjid.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Farwah bin Naufal Al Asyja'i dia berkata: Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat memohon kepada Allah Azza wa Jalla, maka Aisyah menjawab, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa: ALLAHUMMA INNI A'UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA 'AMILTU WA MIN SYARRI MAA LAM A'MAL (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan).

(HR. Muslim No. 4891)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More