Toleransi Islam di Hagia Sophia: Simbol-Simbol Gereja itu Tetap Utuh

Rabu, 15 Juli 2020 - 05:00 WIB
loading...
Toleransi Islam di Hagia Sophia: Simbol-Simbol Gereja itu Tetap Utuh
Hagia Sophia. Foto/Ilustrasi/Anadolu Agency
A A A
JUMAT, 1 Juni 1453 M, pasukan Islam berkumpul di Hagia Sophia atau Aya Sofya. Mereka hendak melaksanakan salat Jumat . Ini adalah salat Jumat pertama di wilayah Konstantinopel yang baru saja dikuasai pasukan Islam. Dan ini juga merupakan salat pertama di Masjid pertama di kota itu.(Baca juga: Hagia Sophia dan Kehebatan Sultan Muhammad Al-Fatih )

Ketika pasukan Islam itu hendak melaksanakan salat jum’at, muncul persoalan: siapa yang dianggap layak menjadi imam sahat Jum'at?

Tidak ada jawaban. Tidak ada yang berani menawarkan diri. Pada saat itulah kemudian Muhammad Al Fatih tegak berdiri. Beliau meminta kepada seluruh rakyatnya yang ada di situ untuk berdiri juga.



“Siapakah di antara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan salat wajib lima waktu, silakan duduk,” perintahnya kemudian.

Tidak seorang pun anggota pasukan Islam yang duduk. Semua tegak berdiri.

Lalu Sultan Muhammad Al Fatih kembali berujar: “Siapa diantara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan salat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan salat sunah sekali saja silakan duduk”.



Sebagian lainnya segera duduk. Dengan mengedarkan pandangan matanya ke seluruh rakyat dan pasukanya, Muhammad Al Fatih kembali berseru: “Siapa di antara kalian yang sejak masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan salat tahajjud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk”.

Semua yang hadir akhirnya cepat duduk. Hanya ada seorang saja yang tetap tegak berdiri, yakni dirinya sendiri: Sultan Muhammad al Fatih.



Maka pada Jumat itu Muhammad al Fatih menjadi khatib sekaligus imam salat Jumat.

Salat Jumat pertama itu dilakukan di Hagia Sophia atau Aya Sofya dalam lafal Turki . Ini merupakan tempat ibadah di Istanbul, Turki yang dibangun pada tahun 537 M.

Pada awalnya, bangunan ini adalah gereja katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel, kecuali pada tahun 1204 sampai 1261, ketika tempat ini diubah oleh Pasukan Salib Keempat menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel.



Oleh Sultan Muhammad al-Fatih, bangunan ini kemudian diubah menjadi masjid sejak 29 Mei 1453, saat Kesultanan Utsmani menguasai wilayah Konstantilnopel.

Hanya saja, pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki bangunan ini disekulerkan dan dibuka sebagai museum .

Nah, pada Jumat, 10 Juli 2020 lalu, bangunan itu kembali menjadi Masjid setelah pengadilan Turki memutuskan bahwa konversi Hagia Sophia pada tahun 1934 menjadi museum adalah ilegal.

Sebelum diubah menjadi masjid, bangunan berada dalam keadaan rusak. Menurut Wikipedia, seperti dijelaskan oleh beberapa pengunjung dari Barat (misalnya bangsawan dari Kordoba bernama Pero Tafur dan Cristoforo Buondelmonti dari Firenze), gereja saat itu dalam keadaan bobrok, dengan beberapa pintu telah terlepas dari engselnya.



Oleh karena itu, Sultan Muhammad Al-Fatih memerintahkan perbaikan, lalu pengubahnya menjadi masjid.

Toleransi Islam di Hagia Sophia: Simbol-Simbol Gereja itu Tetap Utuh


Bangunan tetap dipertahankan. Bahkan berbagai lambang Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen, dan para malaikat tetap dipertahankan, hanya ditutup dengan kain hitam.

Selanjutnya, ditambah berbagai atribut keislaman seperti mihrab, mimbar, dan empat menara.

Dari pengubahan awal bangunan ini menjadi masjid sampai pembangunan Masjid Sultan Ahmed (juga dikenal dengan Masjid Biru) pada 1616, Aya Sofya merupakan masjid utama di Istanbul.

Arsitektur Bizantium pada Aya Sofya mengilhami banyak masjid Utsmani, seperti Masjid Biru, Masjid Şehzade (Masjid Pangeran), Masjid Süleymaniye, Masjid Rüstem Pasha, dan Masjid Kılıç Ali Pasha.

Sultan Mehmed Al Fatih bersama Patriark Gennadius II yang digambarkan pada mozaik abad kedua puluh Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmani pada 29 Mei 1453.

Banyak catatan yang merekam kejadian itu, walaupun beberapa ditulis sekian lama setelah peristiwa tersebut terjadi dan masing-masing menyatakan sebagai catatan yang mendekati aslinya.



Baik Yunani, Italia, Slavia, Turki, dan Rusia, semuanya memiliki versi mereka masing-masing yang mungkin sulit untuk disatukan. Salah satu versi cerita tersebut adalah yang ditulis sejarawan kontemporer Inggris bernama Steven Runciman yang dikenal karena bukunya yang berjudul A History of the Crusades.

Pada masa kekuasaan Usmani itu, keberadaan Gereja Kristen Ortodoks tetap diakui, sebagaimana dalam sistem millet Utsmani yang memberikan agama non-Islam kewenangan khusus dalam mengatur urusan masing-masing.

Gennadius Scholarius lantas ditetapkan sebagai Patriark Konstantinopel pertama pada masa Utsmani, kemudian menetapkan kedudukannya di Gereja Rasul Suci, yang kemudian berpindah ke Gereja Pammakaristos.

Pondok Sultan (Sultan Mahfili) di bagian dalam Aya Sofya, tempat sultan melakukan salat jamaah tanpa diketahui jamaah lain.

Hagia Sophia tercatat menjadi masjid kekaisaran pertama di Istanbul. Pada wakaf yang bersangkutan dianugerahkan sebagian besar rumah yang saat ini berdiri di kota tersebut dan daerah yang kelak menjadi Istana Topkapı.

Sejak tahun 1478, sebanyak 2.360 toko, 1.360 rumah, 4 karavanserai, 30 toko boza, dan 23 toko domba memberikan penghasilan mereka untuk yayasan tersebut.

Melalui piagam kekaisaran tahun 1520 (926 H) dan 1547 (954 H), berbagai toko dan bagian dari Grand Bazaar dan pasar-pasar lain, juga ditambahkan ke dalamnya.

Sebelum 1481, sebuah menara kecil telah didirikan di sudut barat daya bangunan di atas menara tangga. Kemudian Sultan Bayezid II (1481–1512), membangun menara lain di sudut timur laut.

Salah satu dari menara itu runtuh setelah gempa bumi pada tahun 1509, dan sekitar pertengahan abad keenam belas keduanya diganti dengan dua menara yang dibangun di sudut timur dan barat bangunan.

Toleransi Islam di Hagia Sophia: Simbol-Simbol Gereja itu Tetap Utuh


Mihrab

Pada abad keenam belas, Sultan Suleiman Al Kanuni membawa dua batang lilin kuno dari penaklukannya atas Hungaria dan ditempatkan mengapit mihrab. Pada masa Selim II, dikarenakan mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhan, Aya Sofya diperkuat dengan dukungan struktural untuk bagian luar.

Proyek ini dikepalai arsitek Utsmani saat itu, Mimar Sinan, yang juga dikenal sebagai salah satu insinyur gempa pertama di dunia.

Untuk memperkuat struktur bersejarah Bizantium ini, Sinan membangun dua menara besar di barat yang awalnya ruang khusus sultan, dan türbe (bangunan untuk makam di Turki) untuk makam Selim II di tenggara bangunan pada 1576-7 M / 984 H.

Selain itu, lambang bulan sabit emas dipasang di atas kubah. Kemudian, makam ini juga menjadi makam bagi 43 pangeran Utsmani.

Pada 1594 M / 1004 H Mimar (kepala arsitek) Davud Ağa membangun makam Murad III (1574–1595), tempat sultan dan permaisurinya, Safiye Sultan, putra, dan putri mereka dikebumikan.

Bangunan makam persegi delapan putra mereka Mehmed III (1595–1603) dibangun arsitek kekaisaran Dalgiç Mehmet Aĝa pada 1608 / 1017 H.

Di bangunan ini, dimakamkan pula Handan Sultan, selir Mehmed III yang menjadi ibu suri bagi putra mereka Ahmed I. Dimakamkan pula putra dan putri Ahmed I, putri dari Murad III, dan putra sultan lainnya. Putranya yang lain, Mustafa I (1617–1618; 1622–1623), mengubah bekas ruang untuk pembaptisan menjadi türbe-nya.

Murad III juga membawa dua guci besar Helenistik dari batu pualam dari Pergamum dan menempatkannya di dalam kedua sisi tengah bangunan.

Pada 1717, di bawah kepemimpinan Sultan Ahmed III (1703–1730), plester yang runtuh dalam interior bangunan direnovasi, secara tidak langsung berperan dalam kelestarian banyak mosaik, yang jika tidak dilakukan maka akan dihancurkan oleh para pekerja bangunan.

Karena kenyataannya adalah hal biasa bagi mereka untuk menjual batu-batu mosaik – yang dipercaya sebagai azimat – kepada para pengunjung.

Selanjutnya, Sultan Mahmud I memerintahkan perbaikan Aya Sofya pada 1739 dan menambahkan sebuah madrasah, imaret atau dapur umum untuk kaum miskin, dan perpustakaan. Pada tahun 1740, pondok sultan (sultan mahfili) dan mihrab baru ditambahkan di dalam bangunan.

Bangunan ini ditutup bagi umum oleh pemerintah Republik Turki dan dibuka kembali sebagai museum empat tahun setelahnya pada 1935.

Bangunan abad keenam itu arsitekturnya memukau menjadi magnet bagi turis di seluruh dunia. Pada tahun 2014, Aya Sofya menjadi museum kedua di Turki yang paling banyak dikunjungi, menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki, Aya Sofya merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada 2015.

Toleransi Islam di Hagia Sophia: Simbol-Simbol Gereja itu Tetap Utuh


Juru bicara kepresidenan Turki, Ibrahim Kalin, menyatakan pembukaan kembali Hagia Sophia menjadi masjid tidak akan menghilangkan identitasnya, sebab bangunan ini akan selalu menjadi milik warisan sejarah dunia.

"Langkah ini tidak akan menghalangi orang-orang mengunjunginya," katanya.

Menurutnya, Turki masih akan melestarikan ikon-ikon Kristen di sana, sama seperti nenek moyang kita memelihara semua nilai-nilai Kristen. “Semua masjid utama kami seperti Masjid Biru, Masjid Fatih dan Suleymaniye, mereka terbuka untuk pengunjung dan jamaah,” kata Kalin.

Kalin mengutip contoh-contoh Katedral Notre Dame yang ikonis di Prancis dan Basilika Sacre-Coeur, gereja-gereja terkenal di dunia yang terbuka untuk turis dan jemaah.

“Membuka Hagia Sophia untuk beribadah tidak menghalangi wisatawan lokal atau asing mengunjungi situs ini,” tegasnya.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjamin bahwa Turki akan selalu melindungi hak-hak Muslim dan minoritas yang tinggal di negara itu. ( )

Foto-foto: Reuters
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2340 seconds (0.1#10.140)