Memaknai Keberkahan Ramadan (1): Sering Kali Dipahami Terbatas pada Aspek Ritual
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Kita mengetahui bahwa Ramadan adalah bulan penuh dengan ragam kebaikan dan manfaat. Berbagai kebaikan atau manfaat itu tersimpulkan dalam satu kata "barokah". Sehingga bulan Ramadan dimaknai sebagai bulan yang padanya ada azziyadatu fil khair (kebaikan yang banyak).
Sayangnya sering kali keberkahan atau nilai tambah Ramadan itu dimaknai secara terbatas pada aspek ritual. Sehingga kepedulian mayoritas umat tertuju pada ragam amalan ritual di dalamnya seperti puasa itu sendiri, tarawih, tilawah Al-Qur'an, dzikir, dan lain-lain. Lebih sempit lagi ketika amalan-alamin ritual itu bertujuan untuk sekadar kalkulasi-kalkulasi pahala.
Kalkulasi-kalkulasi itu menjadikan amalan-amalan ritual bagaikan "bargaining" dengan Allah. Seolah Allah itu perlu disuap dengan amalan-amalan ritual demi mendapatkan sesuatu darinya. Pada tingkatan ini sesungguhnya telah menjadikan nilai "keikhlasan" terminimalisasi bahkan sirna.
Dan tanpa sadar ternyata terjadi sikap yang tidak etis kepada Allah. Benar ada kata "isytara" (transaksi antara Allah dan hamba) sebagai penggambaran komitmen ketaatan seorang hamba pada Tuhannya. Tapi itu tidak dimaksudkan sebagai kalkulasi-kalkulasi yang harus terjadi antara hamba dan Tuhannya.
Keberkahan Ramadan hendaknya dipahami dengan makna yang lebih luas dan komprehensif. Bahwa Ramadan adalah bulan berbagai ritual yang pahalanya dilipatgandakan itu pasti. Amalan-amalan wajib dilipat gandakan pahalanya. Sunnah-sunnah dinilai dengan penilaian amalan wajib. Umrah misalnya di bulan Ramadan dimaknai seolah amalan haji.
Bulan Ramadan ini memang dahsyat. Kita kenal bahwa Allah melebihkan sebagian waktu dan/atau tempat tertentu di atas waktu dan tempat yang lain. Ada waktu-waktu atau tempat-tempat tertentu yang yang diberikan keutamaan (fadhilah) lebih dari lainnya.
Contoh tempat yang diutamakan misalnya adalah Masjidil Haram dan Multazam. Demikian pula padang Arafah di hari Arafah. Mihrab (tempat Imam memimpin sholat) itu bukan sembarang tempat. Tapi di sana Allah jadikan doa lebih utama dan diutamakan dalam pengabulan. Doa Nabi Zakariya yang meminta anak di Mihrab dan di kabulkan ketika itu juga. Padahal logikanya Nabi Zakariya tidak mungkin lagi punya anak.
Untuk waktu yang diutamakan ambillah sebagai contoh waktu sahur. Yaitu 2/3 malam hingga menjelang masuk waktu fajar. Keutamaan sahur sesungguhnya bukan saja karena di saat itu orang-orang yang akan berpuasa menikmati makanan yang penuh keberkahan (sahur). Tapi karena waktu sahur itu Allah turun ke langit dunia (terdekat) membuka kesempatan bagi yang berdoa untuk dikabulkan dan bagi yang meminta ampun diampuni.
Allah menegaskan keutamaan waktu itu dalam Al-Quran: "Dan mereka yang diwaktu sahur beristigfar." (Al-Qur'an)
Keberkahan Ramadan tidak saja pada aspek ritualnya. Tapi pada semua sisi dari bulan ini memiliki keutamaan dan keberkahannya.
Di antara keberkahan Ramadan adalah bahwa bulan ini adalah bulan muhasabah. Yaitu bulan kalkulasi-kalkulasi dalam banyak hal. Seperti yang pernah diingatkan oleh Umar: "Lakukanlah kalkulasi pada diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat) kelak."
Satu di antara hal yang urgen untuk selalu dikalkulasi atau dihitung-hitung adalah kenyataan hidup yang kerap salah kaprah dan salah destinasi. Manusia sering berpikir jika hidup dunianya panjang. Bahkan seringkali merasa hidup dunianya yang nyaman itu akan menjadikannya seolah-olah akan hidup abadi (Al-Lumazah).
Selain salah kaprah juga manusia seringkali salah destinasi dalam hidupnya. Manusia menjadikan dunia ini sebagai destinasi hidup. Akibatnya semua hidupnya diorientasikan untuk memenuhi hajat dunianya. Sementara kehidupan Sesungguhnya (Akhirat dalam istilah Al-Qur'an lahiya al-hayawanu) mereka lalaikan.
Situasi ini digambarkan oleh Surah Ar-Rum: "Mereka mengetahui lahiriyah kehidupan dunia tapi mengenai Akhirat mereka lalaikan."
Keadaan tersebut terjadi karena manusia lengket (attached) dengan sangat dekat dengan dunia ini. Mereka terlalu melebih-lebihkan kehidupan dunianya (bal tu'tsirunal hayatad dunia).
Di sinilah puasa melatih seseorang untuk melepaskan ikatan atau kungkungan dunianya. Dengan puasa orang beriman belajar meletakkan dunianya pada porsi dan posisi yang sesuai. Mungkin ungkapan yang indah tentang itu adalah: "Letakkan dunia ini di tanganmu dan bukan di hatimu." Atau "milikilah dunia ini tapi jangan dimiliki oleh dunia."
Dengan berpuasa, seorang Mukmin akan melakukan reorientasi destinasi hidup. Dari material oriented life menjadi akhirah oriented life. Insya Allah!
Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Kita mengetahui bahwa Ramadan adalah bulan penuh dengan ragam kebaikan dan manfaat. Berbagai kebaikan atau manfaat itu tersimpulkan dalam satu kata "barokah". Sehingga bulan Ramadan dimaknai sebagai bulan yang padanya ada azziyadatu fil khair (kebaikan yang banyak).
Sayangnya sering kali keberkahan atau nilai tambah Ramadan itu dimaknai secara terbatas pada aspek ritual. Sehingga kepedulian mayoritas umat tertuju pada ragam amalan ritual di dalamnya seperti puasa itu sendiri, tarawih, tilawah Al-Qur'an, dzikir, dan lain-lain. Lebih sempit lagi ketika amalan-alamin ritual itu bertujuan untuk sekadar kalkulasi-kalkulasi pahala.
Kalkulasi-kalkulasi itu menjadikan amalan-amalan ritual bagaikan "bargaining" dengan Allah. Seolah Allah itu perlu disuap dengan amalan-amalan ritual demi mendapatkan sesuatu darinya. Pada tingkatan ini sesungguhnya telah menjadikan nilai "keikhlasan" terminimalisasi bahkan sirna.
Dan tanpa sadar ternyata terjadi sikap yang tidak etis kepada Allah. Benar ada kata "isytara" (transaksi antara Allah dan hamba) sebagai penggambaran komitmen ketaatan seorang hamba pada Tuhannya. Tapi itu tidak dimaksudkan sebagai kalkulasi-kalkulasi yang harus terjadi antara hamba dan Tuhannya.
Keberkahan Ramadan hendaknya dipahami dengan makna yang lebih luas dan komprehensif. Bahwa Ramadan adalah bulan berbagai ritual yang pahalanya dilipatgandakan itu pasti. Amalan-amalan wajib dilipat gandakan pahalanya. Sunnah-sunnah dinilai dengan penilaian amalan wajib. Umrah misalnya di bulan Ramadan dimaknai seolah amalan haji.
Bulan Ramadan ini memang dahsyat. Kita kenal bahwa Allah melebihkan sebagian waktu dan/atau tempat tertentu di atas waktu dan tempat yang lain. Ada waktu-waktu atau tempat-tempat tertentu yang yang diberikan keutamaan (fadhilah) lebih dari lainnya.
Contoh tempat yang diutamakan misalnya adalah Masjidil Haram dan Multazam. Demikian pula padang Arafah di hari Arafah. Mihrab (tempat Imam memimpin sholat) itu bukan sembarang tempat. Tapi di sana Allah jadikan doa lebih utama dan diutamakan dalam pengabulan. Doa Nabi Zakariya yang meminta anak di Mihrab dan di kabulkan ketika itu juga. Padahal logikanya Nabi Zakariya tidak mungkin lagi punya anak.
Untuk waktu yang diutamakan ambillah sebagai contoh waktu sahur. Yaitu 2/3 malam hingga menjelang masuk waktu fajar. Keutamaan sahur sesungguhnya bukan saja karena di saat itu orang-orang yang akan berpuasa menikmati makanan yang penuh keberkahan (sahur). Tapi karena waktu sahur itu Allah turun ke langit dunia (terdekat) membuka kesempatan bagi yang berdoa untuk dikabulkan dan bagi yang meminta ampun diampuni.
Allah menegaskan keutamaan waktu itu dalam Al-Quran: "Dan mereka yang diwaktu sahur beristigfar." (Al-Qur'an)
Keberkahan Ramadan tidak saja pada aspek ritualnya. Tapi pada semua sisi dari bulan ini memiliki keutamaan dan keberkahannya.
Di antara keberkahan Ramadan adalah bahwa bulan ini adalah bulan muhasabah. Yaitu bulan kalkulasi-kalkulasi dalam banyak hal. Seperti yang pernah diingatkan oleh Umar: "Lakukanlah kalkulasi pada diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat) kelak."
Satu di antara hal yang urgen untuk selalu dikalkulasi atau dihitung-hitung adalah kenyataan hidup yang kerap salah kaprah dan salah destinasi. Manusia sering berpikir jika hidup dunianya panjang. Bahkan seringkali merasa hidup dunianya yang nyaman itu akan menjadikannya seolah-olah akan hidup abadi (Al-Lumazah).
Selain salah kaprah juga manusia seringkali salah destinasi dalam hidupnya. Manusia menjadikan dunia ini sebagai destinasi hidup. Akibatnya semua hidupnya diorientasikan untuk memenuhi hajat dunianya. Sementara kehidupan Sesungguhnya (Akhirat dalam istilah Al-Qur'an lahiya al-hayawanu) mereka lalaikan.
Situasi ini digambarkan oleh Surah Ar-Rum: "Mereka mengetahui lahiriyah kehidupan dunia tapi mengenai Akhirat mereka lalaikan."
Keadaan tersebut terjadi karena manusia lengket (attached) dengan sangat dekat dengan dunia ini. Mereka terlalu melebih-lebihkan kehidupan dunianya (bal tu'tsirunal hayatad dunia).
Di sinilah puasa melatih seseorang untuk melepaskan ikatan atau kungkungan dunianya. Dengan puasa orang beriman belajar meletakkan dunianya pada porsi dan posisi yang sesuai. Mungkin ungkapan yang indah tentang itu adalah: "Letakkan dunia ini di tanganmu dan bukan di hatimu." Atau "milikilah dunia ini tapi jangan dimiliki oleh dunia."
Dengan berpuasa, seorang Mukmin akan melakukan reorientasi destinasi hidup. Dari material oriented life menjadi akhirah oriented life. Insya Allah!
(rhs)