Tradisi Syawalan di Pesisir Jawa Tak Sekadar Pesta

Selasa, 25 April 2023 - 05:15 WIB
loading...
Tradisi Syawalan di Pesisir Jawa Tak Sekadar Pesta
Syawalan atau sedekah laut biasa dilakukan di pesisir Jawa. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Tradisi Syawalan bagi masyarakat pesisir Jawa juga disebut sedekah laut. Tradisi ini biasa dilakukan masyarakat pesisir Jawa misalnya di wilayah-wilayah pantai di Cilacap, Tegal, Pekalongan, Batang, Weleri, Kendal, Kaliwungu, Demak, Jepara, Kudus, Juwana, Pati dan sebagainya.

Syawalan atau sedekah laut serta tradisi-tradisi lainnya dalam pandangan Antropolog Ruth Benedict (1959) merupakan salah satu konstruk kebudayaan suatu masyarakat tertentu.

Menurutnya, pada setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi ide yang berkembang. Dominasi ide tertentu dalam masyarakat akan membentuk dan mempengaruhi aturan-aturan bertindak masyarakatnya (rules of conduct) dan aturan-aturan bertingkah laku (rules of behavior) yang kemudian secara bersama-sama membentuk pola kultural masyarakat.

Semua adat kebiasaan atau tradisi-tradisi tersebut memiliki nalar kebudayaan yang melatarbelakanginya; selain ini juga memiliki makna luhur bagi orang-orang yang hidup di dalamnya.



Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa sebagai sebuah tradisi yang sangat populer, Syawalan memiliki latarbelakang nalar kebudayaan serta makna yang luhur tersebut.

Pada bulan Syawal, juga ada tradisi kupatan. Buku "Tradisi-Tradisi Islam Nusantara" karya Puji Rahayu dkk menyebutkan dari sisi sejarah, tradisi kupatan berangkat dari upaya-upaya Walisongo memasukkan ajaran Islam. Sebab, zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya Walisongo memanfaatkan cara tersebut. "Tradisi kupatan akhirnya menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning,” tuturnya.

Khoirul Anwar dalam karyatulisnya berjudul "Tradisi Syawalan di Morodemak, Bonang, Demak" yang meneliti Syawalan di Desa Morodemak, Jawa Tengah, menjelaskan banyak istilah yang digunakan untuk menyebut tradisi Syawalan yang diselenggarakan oleh komunitas warga Morodemak. Selain Syawalan, istilah-istilah tersebut seperti lomban, sedekah laut dan pesta laut. Istilah Syawalan berasal dari kata Syawal, nama salah satu bulan pada kalender Islam atau tahun Hijriyah.

Disebut dengan istilah Syawalan karena tradisi tersebut dilaksanakan pada bulan Syawal, yaitu pada satu pekan setelah hari raya Idulfitri. Perayaan Syawalan dijadikan momentum untuk menjalin silaturahmi dan kumpul dengan sanak keluarga yang tinggal di tempat jauh.

Syawalan masih terkait dengan hari raya Idulfitri yang biasanya disebut Bada Kupat atau Hari Raya Ketupat. Oleh karena itu biasanya pada saat prosesi Syawalan banyak warga yang merayakannya dengan membuat makanan ketupat dan opor ayam serta sambel goreng.



Sedekah Laut

Tradisi Syawalan juga sering disebut dengan istilah lomban, karena pada acara tersebut juga dilakukan berbagai lomba yang diikuti oleh komunitas nelayan setempat. Jenis cabang yang diperlombakan antara lain perahu atau kapal hias, adu cepat mendayung perahu, selam, renang, panjat pinang dan sebagainya.

Sebagian lagi menyebut dengan istilah sedekah laut, karena inti dari kegiatan Syawalan adalah ritual melarung sesaji ke laut. Sebagian masyarakat juga menyebut dengan istilah pesta laut, karena merayakan kegiatan Syawalan dengan cara berpesta makanan bersama di laut atau
di tepi laut.

Tradisi Syawalan (lomban) di Jepara selain sebagai ungkapan syukur pada Tuhan, juga dimaksudkan sebagai peringatan terhadap kepahlawan Ratu Kalinyamat yang beberapa kali melakukan penyerangan terhadap Malaka yang dikuasai bangsa penjajah, Portugis.

Di Cilacap dikenal dengan sebutan sedekah laut dan dilaksanakan pada bulan Syuro, pada hari Selasa atau Jum’at Kliwon, bukan pada bulan Syawal. Sedekah laut di Cilacap secara historis berkaitan dengan perintah Bupati Cilacap ke-3, Tumenggung Tjakrawerdaya III, kepada sesepuh nelayan Pandanarang, Ki Arsa Menawi untuk melarung sesajen di Laut Selatan pada hari Jum’at Kliwon bulan Syuro, tepatnya pada tahun 1875.



Pelarungan sesajen tersebut dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan persembahan kepada Ratu Laut Selatan atau Nyai Roro Kidul.

Khoirul Anwar mengatakan tradisi Syawalan di Morodemak bermula dari kebiasaan masyarakat nelayan setempat pada puluhan tahun silam yang merayakan lebaran dengan menghias perahu mereka.

Berbagai hiasan dibuat dari janur, kain sarung, jarit, bendera merah putih, botol-botol kosong dan aneka buah. Jumlah hiasan menunjukkan jumlah anak buah (jurag) perahu: jurag atau anak buah perahu pada umumnya masih tetangga atau famili dari pemilik perahu atau juragan.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2678 seconds (0.1#10.140)