Penafsiran Ilmiah Al-Qur'an untuk Buktikan Kemukjizatannya, Haruskah?
loading...
A
A
A
Sejumlah ulama berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran , atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya, tidak jarang dirasakan adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut.
Prof Dr M Quraish Shihab MA mengatakan Al-Quran Al-Karim , yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai "petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" ( QS 17 :9) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad SAW. ( QS 16 :44; 4:105, dan sebagainya).
Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran ( QS 39 :18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa:
a. Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca QS 41 :53).
b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi (tentunya terutama Al-Quran), adalah untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS 2 :213).
"Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun 'semisal' Al-Quran," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996)
Menurutnya, tantangan tersebut datang secara bertahap:
a. Seluruh Al-Quran ( QS 17 :88; 52:34).
b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya ( QS 11 :13).
c. Satu surah saja ( QS 10 :38).
d. Lebih kurang semisal satu surah saja ( QS 2 :23).76
Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat dalam Al-Quran, salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya.
Penafsiran Ilmiah
Menurut Quraish Shihab, dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al-Quran, dan bukan sebaliknya.
Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w. 1059 - 1111 M)78 yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu.
Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim."
Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya. Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku" (QS 26:80).
"Obat" dan "penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.
Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan "kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan.
Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak sepenuhnya, sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya, Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.
Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi Jauhari (1870-1940). Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Quran mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."
Prof Dr M Quraish Shihab MA mengatakan Al-Quran Al-Karim , yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai "petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" ( QS 17 :9) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad SAW. ( QS 16 :44; 4:105, dan sebagainya).
Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran ( QS 39 :18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa:
a. Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca QS 41 :53).
b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi (tentunya terutama Al-Quran), adalah untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS 2 :213).
"Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun 'semisal' Al-Quran," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996)
Menurutnya, tantangan tersebut datang secara bertahap:
a. Seluruh Al-Quran ( QS 17 :88; 52:34).
b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya ( QS 11 :13).
c. Satu surah saja ( QS 10 :38).
d. Lebih kurang semisal satu surah saja ( QS 2 :23).76
Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat dalam Al-Quran, salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya.
Penafsiran Ilmiah
Menurut Quraish Shihab, dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al-Quran, dan bukan sebaliknya.
Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w. 1059 - 1111 M)78 yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu.
Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim."
Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya. Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku" (QS 26:80).
"Obat" dan "penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.
Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan "kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan.
Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak sepenuhnya, sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya, Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.
Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi Jauhari (1870-1940). Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Quran mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."