Berhari Raya Hendaknya Mengikuti Penetapan Pemerintah, Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Pelaksanaan hari raya umat Islam , baik Idulfitri maupun Iduladha, lebih baik mengikuti penetapan dari pemerintah. Sehingga, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri.
Dalam kitab Subulus Salam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan : “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”. (HR. Tirmidzi).
Memang ada perbedaan waktu menyikapi Hal ini. Bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah rukyah hilal ini. Yakni apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu matholi’ (tempat terbit hilal) dengannya.
Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada rukyah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi’ hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal.
Jika di salah satu negeri yang satu matholi’ tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi’ hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing.
Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan hal ini, maka hendaklah berhari raya sebagaimana berhari raya yang dilakukan di negeri masing-masing atau mengikuti keputusan pemerintah, meskipun berbeda dengan negeri lainnya.
Dalam Subulus Salam, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, jadi wajib baginya untuk mengikuti orang lain (dalam Hal ini penguasa) dan diharuskan shala (hari raya), berbuka, dan kurban bersama dengan mereka.
Abu Dawud dalam kitab berjudul Shalat, menulis hadis bahwa dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar Radhiyallahu ‘anhum berkata : “Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Ied”.
Asy-Syaukani dalam Nalilul Authar menyebutkan, diperbolehkan shalat Ied pada hari kedua. Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur, baik karena ragu atau alasan lainnya, dengan mengqiaskan dengannya."
Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan dalam Majmu’ Fatawa, jika dikatakan “Bisa saja pemerintah diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab-sebab lain yang tidak disyari’atkan. Atau karena pemerintah bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal”.
Maka dikatakan (kepada mereka) : Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan cara apapun) tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal ; baik sebagai mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai.
Hal itu sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka"
Jadi, jika ada keputusan dari penguasa Dan jika terdapat kesalahan dan kelalaian pemerinta tentang penetapan hari raya, maka tidak ditanggung kaum muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan.
Wallahu'alam
Dalam kitab Subulus Salam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan : “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”. (HR. Tirmidzi).
Memang ada perbedaan waktu menyikapi Hal ini. Bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah rukyah hilal ini. Yakni apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu matholi’ (tempat terbit hilal) dengannya.
Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada rukyah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi’ hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal.
Jika di salah satu negeri yang satu matholi’ tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi’ hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing.
Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan hal ini, maka hendaklah berhari raya sebagaimana berhari raya yang dilakukan di negeri masing-masing atau mengikuti keputusan pemerintah, meskipun berbeda dengan negeri lainnya.
Dalam Subulus Salam, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, jadi wajib baginya untuk mengikuti orang lain (dalam Hal ini penguasa) dan diharuskan shala (hari raya), berbuka, dan kurban bersama dengan mereka.
Abu Dawud dalam kitab berjudul Shalat, menulis hadis bahwa dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar Radhiyallahu ‘anhum berkata : “Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Ied”.
Asy-Syaukani dalam Nalilul Authar menyebutkan, diperbolehkan shalat Ied pada hari kedua. Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur, baik karena ragu atau alasan lainnya, dengan mengqiaskan dengannya."
Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan dalam Majmu’ Fatawa, jika dikatakan “Bisa saja pemerintah diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab-sebab lain yang tidak disyari’atkan. Atau karena pemerintah bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal”.
Maka dikatakan (kepada mereka) : Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan cara apapun) tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal ; baik sebagai mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai.
Hal itu sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka"
Jadi, jika ada keputusan dari penguasa Dan jika terdapat kesalahan dan kelalaian pemerinta tentang penetapan hari raya, maka tidak ditanggung kaum muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan.
Wallahu'alam
(wid)