Munculnya Ruwaibidhah di Akhir Zaman, Satu di Antara Tanda-tanda Kecil Kiamat
loading...
A
A
A
Munculnya Ruwaibidhah di akhir zaman termasuk di antara tanda-tanda kecil Kiamat yang harus diwaspadai umat muslim. Apakah Ruwaibidhah itu? Simak ulasannya berikut ini.
Dulu di zaman Nabi ﷺ, para sahabat sangat takut berfatwa atau menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama, padahal mereka sebaik-baik generasi yang dipenuhi dengan lautan ilmu.
Mari kita bandingkan dengan hari ini, orang-orang begitu mudah berfatwa, ingin tampil berkhotbah di depan umum, padahal ilmunya tidak memadai. Cukup modal gelar, keterkenalan, atau aksesoris keagamaan, seseorang berani berkata tentang halal dan haram. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah ﷺ menimpa umatnya di akhir zaman.
Beliau telah mengingatkan kemunculan Ruwaibidhah ini sejak 14 abad lebih lalu. Dalam satu Hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ.
Artinya: "Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara. Lalu beliau ditanya, Apakah Ruwaibidhah itu? Beliau ﷺ menjawab: Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum." (HR Ibnu Majah)
Ruwaibidhah berasal dari kata "Rabidhah" yaitu orang-orang lemah yang diam tidak bisa melakukan hal-hal mulia, duduk tidak mencarinya dan orang yang hina tidak ada artinya. Namun dalam Hadis dari Ibnu Majjah dikatakan Nabi dengan orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.
Roki Hardi dalam karyanya berjudul "Ruwaibidhah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Kaitannya dengan Fenomena Buzer" (kajian tafsir tematik UIN Suska Riau 2021), menjelaskan bahwa Ruwaibidhah hukumnya dosa besar menurut sebagian ulama. Alasannya karena dapat menyebabkan perpecahan umat dan mengandung kedustaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ruwaibidhah ini juga disebutkan dalam Al-Qur'an di antaranya: Al-Baqarah ayat 168-169; Al-Nahl ayat 116-117; Al-An'am ayat 144; Al-Isra' ayat 36; Yusuf ayat 108; Al-Ahzab ayat 72; Al-A'raf ayat 33.
Orang Dungu Berbicara Urusan Agama
Kemunculan Ruwaibidhah termasuk di antara fitnah akhir zaman. Banyak manusia dungu dan jahil dalam urusan agama berani lancang berbicara dan berfatwa di tengah khalayak. Bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang mereka perbuat kepada umat manusia ketika mereka membicarakan sesuatu yang bukan kapasitasnya.
Dalam satu kajian Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq beliau menceritakan, dahulu orang-orang berilmu sangat takut jika harus berfatwa dalam masalah agama. Itu mengapa kita mendengar adanya riwayat ucapan yang masyhur dari Sayyidina Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu 'anhu:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي، وَأَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي، إِنْ قُلْتُ فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ بِرَأْيِي، أَوْ بِمَا لَا أَعْلَمُ
"Bumi mana yang akan aku pijak, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berkata tentang ayat dari kitabullah dengan pendapatku, atau dengan apa yang tidak aku punyai ilmunya?"
Imam Atha' bin Abi Rabah rahimahullah pernah ditanya tentang sebuah masalah, dan beliau menjawab: "Aku belum pernah mendengar masalah itu dari guru-guruku." Penanya tadi berkata: "Tidakkah engkau mau mengutarakan pendapat pribadimu?"
Sang Imam menjawab tegas: "Sungguh aku malu kepada Allah, jika orang-orang di muka bumi ini beragama dengan pendapatku."
Hal sama pernah terjadi pada Imam Malik rahimahullah. Beliau ditanya tentang sebuah permasalahan fiqih, namun beliau menjawab belum menguasai masalah tersebut. Sang penanya terus mendesak, hingga berkata: "Tolonglah aku wahai imam, aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini. Apa jawabanku jika aku kembali ke negeriku dan orang-orang bertanya tentang masalah itu."
Imam Malik pun menegaskan: "Jika engkau kembali ke negerimu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu: 'aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik."
Dalam riwayat lain pernah diajukan kepada Imam Malik 100 pertanyaan, dan beliau hanya menjawab sebagian kecilnya saja. Lalu ada yang berkata kepadanya: "Engkau tidak menjawab semuanya, padahal hanya pertanyaan ringan lagi mudah?"
Beliau menjawab: "Tidak ada ilmu agama yang ringan. Tidakkah Anda mendengar firman Allah 'Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat (QS Al-Muzzammil: 5)."
Kata Ustaz Ahmad Syahrin, semua ilmu agama adalah berat, terlebih yang akan ditanya pada hari Kiamat. Lalu bandingkan dengan fenomena hari ini, sangat jauh berbeda. Di mana syahwat orang untuk bicara agama begitu kuat. Tak perlu ilmu, apalagi ketakwaan.
Di zaman ini banyak orang berbicara urusan agama dengan berkata: "Menurut saya, menurut hemat saya, menurut pengamatan saya. Kalau saya melihatnya itu haram, saya sih melihatnya boleh-boleh saja."
Subhanallah. Sudahlah fakir ilmu, miskin rasa malu. Pantaslah sebagian ulama mengatakan, "Orang yang paling nekad berfatwa, adalah yang paling berani untuk masuk neraka."
Inilah fenomena Ruwaibidhah yang terjadi hari ini sebagaimana dinubuwahkan Baginda Nabi ﷺ. Akhir zaman ini hendaknya umat Islam menjaga lisan, memperbanyak istighfar dan beramal saleh untuk bekal di hari kemudian.
Wallahu A'lam
Dulu di zaman Nabi ﷺ, para sahabat sangat takut berfatwa atau menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama, padahal mereka sebaik-baik generasi yang dipenuhi dengan lautan ilmu.
Mari kita bandingkan dengan hari ini, orang-orang begitu mudah berfatwa, ingin tampil berkhotbah di depan umum, padahal ilmunya tidak memadai. Cukup modal gelar, keterkenalan, atau aksesoris keagamaan, seseorang berani berkata tentang halal dan haram. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah ﷺ menimpa umatnya di akhir zaman.
Beliau telah mengingatkan kemunculan Ruwaibidhah ini sejak 14 abad lebih lalu. Dalam satu Hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ.
Artinya: "Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara. Lalu beliau ditanya, Apakah Ruwaibidhah itu? Beliau ﷺ menjawab: Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum." (HR Ibnu Majah)
Ruwaibidhah berasal dari kata "Rabidhah" yaitu orang-orang lemah yang diam tidak bisa melakukan hal-hal mulia, duduk tidak mencarinya dan orang yang hina tidak ada artinya. Namun dalam Hadis dari Ibnu Majjah dikatakan Nabi dengan orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.
Roki Hardi dalam karyanya berjudul "Ruwaibidhah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Kaitannya dengan Fenomena Buzer" (kajian tafsir tematik UIN Suska Riau 2021), menjelaskan bahwa Ruwaibidhah hukumnya dosa besar menurut sebagian ulama. Alasannya karena dapat menyebabkan perpecahan umat dan mengandung kedustaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ruwaibidhah ini juga disebutkan dalam Al-Qur'an di antaranya: Al-Baqarah ayat 168-169; Al-Nahl ayat 116-117; Al-An'am ayat 144; Al-Isra' ayat 36; Yusuf ayat 108; Al-Ahzab ayat 72; Al-A'raf ayat 33.
Orang Dungu Berbicara Urusan Agama
Kemunculan Ruwaibidhah termasuk di antara fitnah akhir zaman. Banyak manusia dungu dan jahil dalam urusan agama berani lancang berbicara dan berfatwa di tengah khalayak. Bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang mereka perbuat kepada umat manusia ketika mereka membicarakan sesuatu yang bukan kapasitasnya.
Dalam satu kajian Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq beliau menceritakan, dahulu orang-orang berilmu sangat takut jika harus berfatwa dalam masalah agama. Itu mengapa kita mendengar adanya riwayat ucapan yang masyhur dari Sayyidina Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu 'anhu:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي، وَأَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي، إِنْ قُلْتُ فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ بِرَأْيِي، أَوْ بِمَا لَا أَعْلَمُ
"Bumi mana yang akan aku pijak, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berkata tentang ayat dari kitabullah dengan pendapatku, atau dengan apa yang tidak aku punyai ilmunya?"
Imam Atha' bin Abi Rabah rahimahullah pernah ditanya tentang sebuah masalah, dan beliau menjawab: "Aku belum pernah mendengar masalah itu dari guru-guruku." Penanya tadi berkata: "Tidakkah engkau mau mengutarakan pendapat pribadimu?"
Sang Imam menjawab tegas: "Sungguh aku malu kepada Allah, jika orang-orang di muka bumi ini beragama dengan pendapatku."
Hal sama pernah terjadi pada Imam Malik rahimahullah. Beliau ditanya tentang sebuah permasalahan fiqih, namun beliau menjawab belum menguasai masalah tersebut. Sang penanya terus mendesak, hingga berkata: "Tolonglah aku wahai imam, aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini. Apa jawabanku jika aku kembali ke negeriku dan orang-orang bertanya tentang masalah itu."
Imam Malik pun menegaskan: "Jika engkau kembali ke negerimu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu: 'aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik."
Dalam riwayat lain pernah diajukan kepada Imam Malik 100 pertanyaan, dan beliau hanya menjawab sebagian kecilnya saja. Lalu ada yang berkata kepadanya: "Engkau tidak menjawab semuanya, padahal hanya pertanyaan ringan lagi mudah?"
Beliau menjawab: "Tidak ada ilmu agama yang ringan. Tidakkah Anda mendengar firman Allah 'Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat (QS Al-Muzzammil: 5)."
Kata Ustaz Ahmad Syahrin, semua ilmu agama adalah berat, terlebih yang akan ditanya pada hari Kiamat. Lalu bandingkan dengan fenomena hari ini, sangat jauh berbeda. Di mana syahwat orang untuk bicara agama begitu kuat. Tak perlu ilmu, apalagi ketakwaan.
Di zaman ini banyak orang berbicara urusan agama dengan berkata: "Menurut saya, menurut hemat saya, menurut pengamatan saya. Kalau saya melihatnya itu haram, saya sih melihatnya boleh-boleh saja."
Subhanallah. Sudahlah fakir ilmu, miskin rasa malu. Pantaslah sebagian ulama mengatakan, "Orang yang paling nekad berfatwa, adalah yang paling berani untuk masuk neraka."
Inilah fenomena Ruwaibidhah yang terjadi hari ini sebagaimana dinubuwahkan Baginda Nabi ﷺ. Akhir zaman ini hendaknya umat Islam menjaga lisan, memperbanyak istighfar dan beramal saleh untuk bekal di hari kemudian.
Wallahu A'lam
(rhs)