Ini Akibat Mengerikan ketika Israel Menjadi Polisi Nuklir di Timur Tengah
loading...
A
A
A
Israel telah bertindak sebagai polisi nuklir wilayah Timur Tengah , dengan akibat-akibat yang mengerikan. Pemboman yang dilakukannya pada 1981 atas fasilitas riset nuklir Osirak milik Irak di dekat Baghdad, lebih dari 600 mil dari perbatasan Israel, dengan pesawat-pesawat perang buatan AS dan bantuan langsung Amerika Serikat telah menyulut kemarahan Irak.
"Fasilitas Osirak adalah proyek teknologi paling canggih di dunia Arab, dan kehilangan itu merupakan pukulan besar bagi Irak," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Menurut Paul Findley, kehilangan itu terutama sangat menyakitkan sebab Irak adalah penandatangan perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, sementara Israel bukan.
Orang-orang Amerika pendukung Israel di kemudian hari mengucapkan selamat pada negara Yahudi itu pada saat berlangsungnya Perang Teluk 1991 karena serangan yang dilakukannya memberikan pukulan awal pada sikap militan Saddam Hussein .
Namun tidak diragukan lagi bahwa hal itu berakibat tumbuhnya kebencian Saddam terhadap hubungan Amerika Serikat dengan Israel, menambah kecurigaannya pada Barat, dan mendorong sikap pelanggaran hukumnya.
Betapapun irasionalnya sebagai seorang pemimpin, Saddam menyimpan kecurigaan yang berdasar kuat akan usaha-usaha AS-Israel untuk menghancurkan stabilitas Irak.
Sebuah tajuk rencana di New York Times mencatat pada waktu itu bahwa serangan Israel merupakan tindakan "agresi yang picik dan tak terampuni."
Serangan itu kemungkinan telah mendorong Saddam untuk melakukan sejumlah aksi penting, yang tak satu pun menyentuh kepentingan Amerika Serikat. Ini termasuk meningkatnya campur tangan dalam perang saudara di Lebanon dan dukungan dari sebagian teroris paling radikal di wilayah itu, seperti Abu Nidal.
Serangan Israel itu mungkin juga telah mendorong Saddam untuk melakukan upaya-upaya baru mendapatkan teknologi Barat, termasuk operasi diam-diam untuk mengembangkan fasilitas-fasilitas nuklir. Upaya-upaya ini secara keseluruhan berhasil menambah kecanggihan teknologi mesin militer Irak.
Dalam kenyataannya, serangan Israel merupakan puncak dari kampanye teror rahasia Israel yang dinamakan Operasi Sphinx yang ditujukan pada program nuklir Irak.
Operasi itu dimulai sejak 6 April 1979, ketika tiga ledakan bom di fasilitas nuklir milik perusahaan Perancis Constructions Navales et Industrialles de la Mediterranee di La Seyne-sur-Mer dekat Marseilles membakar inti reaktor yang hendak dikapalkan ke Irak. Sabotase ini mengundurkan program Irak selama setengah tahun.
Bom-bom juga dipasang di kantor-kantor dan rumah-rumah para pejabat pemasok kunci Irak di Italia dan Perancis pada tahun itu.
Kemudian pada 13 Juni 1980, Dr. Yahya Meshad, seorang ahli fisika nuklir Mesir yang bekerja pada Komisi Energi Atom Irak, terbunuh di Paris di dalam kamarnya.
Meshad berada di Paris untuk memeriksa uranium yang telah diperkaya yang hendak dikapalkan sebagai bahan bakar utama bagi reaktor Irak. Menurut seorang Israel yang membelot dari Mossad, Victor Ostrovsky, Meshad adalah korban dari agen-agen rahasia Israel.
Di Amerika Serikat para pendukung Israel bersedia menghambat usaha-usaha pemerintah untuk merintangi proliferasi di negara-negara lain jika tindakan-tindakan semacam itu dapat mengancam Israel.
Wakil Rakyat dari partai Demokrat Stephen J. Solarz dan Jonathan B. Bingham, keduanya dari New York, membatalkan amandemen mereka untuk melarang bantuan ke negeri-negeri pembuat senjata nuklir setelah Kementerian Luar Negeri memberi informasi bahwa Israel mungkin akan terkena larangan tersebut.
Setelah mendapat penerangan singkat dari Wakil Menteri Luar Negeri James L. Buckley, Solarz berkata: "Kami tidak ingin mendapati diri kami berada dalam posisi di mana kita secara kurang hati-hati dan sembrono menciptakan suatu situasi yang mungkin dapat mendorong dipotongnya bantuan ke Israel. Mereka meninggalkan kesan bahwa permintaan itu akan mendorong penemuan oleh pemerintah bahwa Israel telah menciptakan bom."
"Fasilitas Osirak adalah proyek teknologi paling canggih di dunia Arab, dan kehilangan itu merupakan pukulan besar bagi Irak," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Menurut Paul Findley, kehilangan itu terutama sangat menyakitkan sebab Irak adalah penandatangan perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, sementara Israel bukan.
Orang-orang Amerika pendukung Israel di kemudian hari mengucapkan selamat pada negara Yahudi itu pada saat berlangsungnya Perang Teluk 1991 karena serangan yang dilakukannya memberikan pukulan awal pada sikap militan Saddam Hussein .
Namun tidak diragukan lagi bahwa hal itu berakibat tumbuhnya kebencian Saddam terhadap hubungan Amerika Serikat dengan Israel, menambah kecurigaannya pada Barat, dan mendorong sikap pelanggaran hukumnya.
Betapapun irasionalnya sebagai seorang pemimpin, Saddam menyimpan kecurigaan yang berdasar kuat akan usaha-usaha AS-Israel untuk menghancurkan stabilitas Irak.
Sebuah tajuk rencana di New York Times mencatat pada waktu itu bahwa serangan Israel merupakan tindakan "agresi yang picik dan tak terampuni."
Serangan itu kemungkinan telah mendorong Saddam untuk melakukan sejumlah aksi penting, yang tak satu pun menyentuh kepentingan Amerika Serikat. Ini termasuk meningkatnya campur tangan dalam perang saudara di Lebanon dan dukungan dari sebagian teroris paling radikal di wilayah itu, seperti Abu Nidal.
Serangan Israel itu mungkin juga telah mendorong Saddam untuk melakukan upaya-upaya baru mendapatkan teknologi Barat, termasuk operasi diam-diam untuk mengembangkan fasilitas-fasilitas nuklir. Upaya-upaya ini secara keseluruhan berhasil menambah kecanggihan teknologi mesin militer Irak.
Dalam kenyataannya, serangan Israel merupakan puncak dari kampanye teror rahasia Israel yang dinamakan Operasi Sphinx yang ditujukan pada program nuklir Irak.
Operasi itu dimulai sejak 6 April 1979, ketika tiga ledakan bom di fasilitas nuklir milik perusahaan Perancis Constructions Navales et Industrialles de la Mediterranee di La Seyne-sur-Mer dekat Marseilles membakar inti reaktor yang hendak dikapalkan ke Irak. Sabotase ini mengundurkan program Irak selama setengah tahun.
Bom-bom juga dipasang di kantor-kantor dan rumah-rumah para pejabat pemasok kunci Irak di Italia dan Perancis pada tahun itu.
Kemudian pada 13 Juni 1980, Dr. Yahya Meshad, seorang ahli fisika nuklir Mesir yang bekerja pada Komisi Energi Atom Irak, terbunuh di Paris di dalam kamarnya.
Meshad berada di Paris untuk memeriksa uranium yang telah diperkaya yang hendak dikapalkan sebagai bahan bakar utama bagi reaktor Irak. Menurut seorang Israel yang membelot dari Mossad, Victor Ostrovsky, Meshad adalah korban dari agen-agen rahasia Israel.
Di Amerika Serikat para pendukung Israel bersedia menghambat usaha-usaha pemerintah untuk merintangi proliferasi di negara-negara lain jika tindakan-tindakan semacam itu dapat mengancam Israel.
Wakil Rakyat dari partai Demokrat Stephen J. Solarz dan Jonathan B. Bingham, keduanya dari New York, membatalkan amandemen mereka untuk melarang bantuan ke negeri-negeri pembuat senjata nuklir setelah Kementerian Luar Negeri memberi informasi bahwa Israel mungkin akan terkena larangan tersebut.
Setelah mendapat penerangan singkat dari Wakil Menteri Luar Negeri James L. Buckley, Solarz berkata: "Kami tidak ingin mendapati diri kami berada dalam posisi di mana kita secara kurang hati-hati dan sembrono menciptakan suatu situasi yang mungkin dapat mendorong dipotongnya bantuan ke Israel. Mereka meninggalkan kesan bahwa permintaan itu akan mendorong penemuan oleh pemerintah bahwa Israel telah menciptakan bom."
(mhy)