Pembebasan Irak: Kontroversi Banjir Darah yang Diciptakan Khalid bin Walid
loading...
A
A
A
Tatkala terjadi pertempuran yang sengit di Ullais, Irak, Khalid bin Walid berdoa: "Allahumma ya Allah, berilah hamba pertolongan. Kalau Engkau memberikan kemenangan kepada kami menghadapi mereka, jangan biarkan seorang pun yang hidup dari mereka. Berilah kekuatan kepada kami agar kubanjiri sungai mereka dengan darah mereka sendiri."
Begitu pasukan Persia terdesak dan lari tak sedikit tawanan yang tertangkap pasukan muslim. Khalid meminta agar tawanan-tawanan itu diperiksa untuk memenuhi janjinya hendak membanjiri sungai dengan darah mereka. Ia wakilkan kepada beberapa orang pasukannya memenggal leher mereka di sungai setelah airnya dibendung.
Selama sehari semalam mereka yang ditunjuk oleh Khalid membantai mereka tetapi sungai itu tidak mengalirkan darah . Beberapa orang yang dekat kepada Khalid berkata: "Kalaupun penghuni dunia ini kau bantai darah mereka tak akan mengalir. Darah itu akan lancar mengalir bersama air. Begitulah kalau kau ingin memenuhi janjimu."
Atas perintah Khalid air di sungai dibuka kembali; maka darah segar pun mengalir. Sejak itu sungai tersebut dinamai "Sungai Darah."
Khalid belum puas dengan sungai yang sudah banjir darah itu. Bahkan ia pergi ke sebuah tempat yang disebut Amgisyia atau Manisyia - sebuah kota seperti Hirah - di dekat Ullais, terletak di hilir Furat di anak sungai Badaqli. Penduduknya pernah terlibat dalam perang di luar kota Ullais.
Khalid memerintahkan pasukannya agar menghancurkan kota itu. Mereka mengambil semua yang ada di situ dan dianggapnya sebagai harta rampasan perang.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Abu Bakr As-Siddiq " yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) mengatakan tentang kejadian-kejadian di Ullais dan Amgasyia, beberapa penulis sejarah menyatakan penyesalannya bahwa seorang jenderal jenius sekaliber Khalid telah melakukan perbuatan yang begitu biadab.
Mereka berharap sekiranya berita itu tidak benar. Andaikata pun memang benar demikian, tentu banyak penulis Muslim yang menyebutkan hal itu.
"Saya sendiri bersikap tidak memperkuat atau membantah apa yang dilaporkan sumber-sumber itu. Tetapi saya tak dapat menahan diri ingin tertawa ketika perbuatan itu dilukiskan sebagai perbuatan biadab. Saya tertawa bukan karena menolak penggambaran demikian atau menganggapnya aneh, tetapi karena menurut hemat saya bahwa semua perang adalah biadab," ujar Haekal.
Haekal melanjutkan, di mata bangsa-bangsa yang sudah maju sekarang pun perang dapat dibenarkan. Apabila orang mengambil jalan perang dengan segala kebiadabannya itu dapat dibenarkan, yang menurut keyakinannya adalah adil, maka menggambarkan perang yang pada dasarnya memang biadab bahwa itu adalah biadab, sungguh menertawakan, bahkan lebih dari sekadar menertawakan.
"Peradaban umat manusia sebenarnya belum sampai ke tingkat peradaban yang sudah begitu tinggi, bebas dari segala kebiadaban dan sudah mencapai tingkat yang begitu mulia," ujar Haekal.
Kebiadaban ini masih dianggap termasuk nilai-nilai peradaban, dan kesiapan manusia berperang masih dipandang sebagai keperluan pokok dalam kehidupan bangsa-bangsa, bahkan keperluan pokok untuk mempertahankan eksistensinya supaya dapat mempertahankan diri dari kepunahan.
Menurut Haekal, apa yang akan menjadi pegangan seorang jenderal dalam suatu peperangan, yang mungkin menambah atau mengurangi kebiadabannya, bukanlah hal yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.
Di segala zaman, katanya, manusia sudah biasa menganggap kemenangan itu dapat memaafkan segala yang sudah lalu. Dalam berbagai pertempuran kemenangan memang di pihak Khalid bin Walid selalu, maka dengan segala kemenangannya itu ia dapat dimaafkan, kalaupun permintaan maaf itu memang diperlukan.
"Untuk meyakinkan alasan ini, rasanya cukup jika kita ketahui, bahwa kemenangan-kemenangan Khalid dan segala tindakannya itu telah melumpuhkan semangat dan moral orang-orang Persia dan orang-orang Arab pendukungnya," ujarnya.
"Mereka jadi ketakutan, dan sesudah peristiwa Ullais itu memang tak ada lagi dari mereka yang berpikir hendak mengadakan pembalasan, seperti yang terjadi sebelumnya di Mazar dan Hafir," lanjut Haekal.
Bahkan kehancuran Persia itu begitu dalam menusuk hati Kisra Ardasyir sehingga ia tak lagi mampu melawan penyakit yang dideritanya dan meminta Bahman mendampinginya sampai dia mati berulam jantung.
Bagaimana lagi orang-orang Persia dan sekutu-sekutunya orang Arab itu masih akan memikirkan balas dendam, padahal pasukan Muslimin memang benar-benar cinta mati, dan kecintaan mereka pada mati itu justru membuat mereka hidup!
Kemudian mereka juga melihat panglima perangnya itu seolah dewa perang yang menjelma menjadi manusia! Tidakkah lebih baik buat mereka - dan ini yang mereka saksikan - meletakkan senjata saja dan menyerah kepada nasib?!
Begitu pasukan Persia terdesak dan lari tak sedikit tawanan yang tertangkap pasukan muslim. Khalid meminta agar tawanan-tawanan itu diperiksa untuk memenuhi janjinya hendak membanjiri sungai dengan darah mereka. Ia wakilkan kepada beberapa orang pasukannya memenggal leher mereka di sungai setelah airnya dibendung.
Selama sehari semalam mereka yang ditunjuk oleh Khalid membantai mereka tetapi sungai itu tidak mengalirkan darah . Beberapa orang yang dekat kepada Khalid berkata: "Kalaupun penghuni dunia ini kau bantai darah mereka tak akan mengalir. Darah itu akan lancar mengalir bersama air. Begitulah kalau kau ingin memenuhi janjimu."
Atas perintah Khalid air di sungai dibuka kembali; maka darah segar pun mengalir. Sejak itu sungai tersebut dinamai "Sungai Darah."
Khalid belum puas dengan sungai yang sudah banjir darah itu. Bahkan ia pergi ke sebuah tempat yang disebut Amgisyia atau Manisyia - sebuah kota seperti Hirah - di dekat Ullais, terletak di hilir Furat di anak sungai Badaqli. Penduduknya pernah terlibat dalam perang di luar kota Ullais.
Khalid memerintahkan pasukannya agar menghancurkan kota itu. Mereka mengambil semua yang ada di situ dan dianggapnya sebagai harta rampasan perang.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Abu Bakr As-Siddiq " yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) mengatakan tentang kejadian-kejadian di Ullais dan Amgasyia, beberapa penulis sejarah menyatakan penyesalannya bahwa seorang jenderal jenius sekaliber Khalid telah melakukan perbuatan yang begitu biadab.
Mereka berharap sekiranya berita itu tidak benar. Andaikata pun memang benar demikian, tentu banyak penulis Muslim yang menyebutkan hal itu.
"Saya sendiri bersikap tidak memperkuat atau membantah apa yang dilaporkan sumber-sumber itu. Tetapi saya tak dapat menahan diri ingin tertawa ketika perbuatan itu dilukiskan sebagai perbuatan biadab. Saya tertawa bukan karena menolak penggambaran demikian atau menganggapnya aneh, tetapi karena menurut hemat saya bahwa semua perang adalah biadab," ujar Haekal.
Haekal melanjutkan, di mata bangsa-bangsa yang sudah maju sekarang pun perang dapat dibenarkan. Apabila orang mengambil jalan perang dengan segala kebiadabannya itu dapat dibenarkan, yang menurut keyakinannya adalah adil, maka menggambarkan perang yang pada dasarnya memang biadab bahwa itu adalah biadab, sungguh menertawakan, bahkan lebih dari sekadar menertawakan.
"Peradaban umat manusia sebenarnya belum sampai ke tingkat peradaban yang sudah begitu tinggi, bebas dari segala kebiadaban dan sudah mencapai tingkat yang begitu mulia," ujar Haekal.
Kebiadaban ini masih dianggap termasuk nilai-nilai peradaban, dan kesiapan manusia berperang masih dipandang sebagai keperluan pokok dalam kehidupan bangsa-bangsa, bahkan keperluan pokok untuk mempertahankan eksistensinya supaya dapat mempertahankan diri dari kepunahan.
Menurut Haekal, apa yang akan menjadi pegangan seorang jenderal dalam suatu peperangan, yang mungkin menambah atau mengurangi kebiadabannya, bukanlah hal yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.
Di segala zaman, katanya, manusia sudah biasa menganggap kemenangan itu dapat memaafkan segala yang sudah lalu. Dalam berbagai pertempuran kemenangan memang di pihak Khalid bin Walid selalu, maka dengan segala kemenangannya itu ia dapat dimaafkan, kalaupun permintaan maaf itu memang diperlukan.
"Untuk meyakinkan alasan ini, rasanya cukup jika kita ketahui, bahwa kemenangan-kemenangan Khalid dan segala tindakannya itu telah melumpuhkan semangat dan moral orang-orang Persia dan orang-orang Arab pendukungnya," ujarnya.
"Mereka jadi ketakutan, dan sesudah peristiwa Ullais itu memang tak ada lagi dari mereka yang berpikir hendak mengadakan pembalasan, seperti yang terjadi sebelumnya di Mazar dan Hafir," lanjut Haekal.
Bahkan kehancuran Persia itu begitu dalam menusuk hati Kisra Ardasyir sehingga ia tak lagi mampu melawan penyakit yang dideritanya dan meminta Bahman mendampinginya sampai dia mati berulam jantung.
Bagaimana lagi orang-orang Persia dan sekutu-sekutunya orang Arab itu masih akan memikirkan balas dendam, padahal pasukan Muslimin memang benar-benar cinta mati, dan kecintaan mereka pada mati itu justru membuat mereka hidup!
Kemudian mereka juga melihat panglima perangnya itu seolah dewa perang yang menjelma menjadi manusia! Tidakkah lebih baik buat mereka - dan ini yang mereka saksikan - meletakkan senjata saja dan menyerah kepada nasib?!
(mhy)