Pembebasan Irak: Doa Khalid bin Walid dan Kisah Sungai Darah
loading...
A
A
A
Pasukan muslim di bawah komando Khalid bin Walid akhirnya memenangkan pertempuran Walajah yakni perang melawan tentara Persia yang dibantu sejumlah kabilah Arab.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan ketika itu rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin begitu banyak sehingga Khalid ketika berdiri di depan pasukannya berkata sambil menunjuk ke tanah tempat mereka bertempur yang begitu kaya itu:
"Tidakkah kalian lihat makanan ini yang setinggi gunung. Demi Allah, kalau hanya untuk mencari makan, dan bukan karena kewajiban kita berjuang demi Allah dan mengajak orang kepada ajaran Allah SWT, pasti kita gempur desa ini sehingga hanya tinggal kita yang berkuasa di sini, dan orang yang enggan berjuang seperti yang kalian lakukan ini, kita biarkan dalam kelaparan dan kekurangan."
Haekal mengatakan masih adakah seorang Muslim yang akan memperhitungkan nyawanya sesudah mendengar kata-kata ini? Di sini ia berjuang di jalan Allah, membawa rampasan perang, dan tawanan menjadi milik mereka. Bukankah ini suatu kenikmatan dunia dan akhirat? Mana ada orang yang mau menjauhmya? Dan siapa yang tidak ingin segera bertemu dengan Al-Khaliq?
Persiapan Menyerbu Ullais
Demikianlah keadaan orang Arab itu. Lalu bagaimana dengan pihak Persia, sebagai pengawal kebudayaan dunia waktu itu, pusat segala kemewahan dan kemkmatan dunia, ilmu dan seni?
Haekal mengatakan yang mengherankan kita setelah peristiwa Walajah, ialah karena yang darahnya mendidih oleh kehancuran itu bukan orang-orang Persia, melainkan orang-orang Arab Banu Bakr bin Wa'il.
Mereka tak senang jika yang mendapat kemenangan itu saudara sepupu mereka sendiri di Semenanjung. Mereka marah, orang-orang Nasrani sebangsanya juga marah. Mereka berkorespondensi dengan pihak Persia. Dan akhirnya keduanya berkumpul di Ullais ke jalur Sungai Furat di pertengahan jalan antara Hirah dengan Ubullah.
Kisra Ardasyir menulis kepada Bahman Jaduweh supaya maju terus dengan pasukannya sampai ke Ullais. Di sana mereka akan berkumpul dengan pasukan Persia dan orang-orang Arab Kristen. Tetapi Bahman berpendapat akan menemui Ardasyir untuk membicarakan suatu ketentuan serta menerima perintah-perintah atasannya itu.
Gaban, salah seorang panglimanya juga, mendesaknya agar ia meneruskan perjalanan ke Ullais, sambil berkata: ''Hindarilah dulu perang dengan pasukan Muslimin sebelum aku menyusulmu, kecuali jika kau harus cepat-cepat."
Tetapi Bahman menjumpai Ardasyir sedang sakit. Ia tak dapat meninggalkannya dan menyerahkan tugas itu kepada Gaban tanpa mengirim berita apapun tentang keadaannya, juga tidak menyebut-nyebut hal itu.
Menurut Haekal, ketika sampai di Ullais Gaban mendampingi Abdul Aswad al-Ijli komandan pasukan Banu Bakr bin Wa'il dengan beberapa orang Nasrani yang bergabung dengan dia. Mereka berdua itulah yang mengatur siasat perang.
Khalid bin Walid tidak tahu tentang perjalanan Gaban dan pasukan Persia itu. Yang diketahuinya hanya orang-orang Nasrani yang sudah berkumpul di Ullais. Dia pun berangkat dengan pasukannya serta orang-orang Arab Irak yang bergabung dengan dia.
Ia kembali ke Hafir hendak mengatur barisan belakang. Melihat persiapan itu sesuai dengan rencananya, cepat-cepat ia kembali untuk menyongsong musuh di tempat mereka bermarkas.
Begitu sampai di Ullais, tidak menunda lagi langsung ia mengajak mereka bertempur. Pasukan Arab itu segera menghadapinya. Tetapi tanpa memberi kesempatan samasekali Khalid langsung membantai komandannya, Malik bin Qais.
Melihat barisannya mulai kacau Gaban bersama pasukan Persianya maju memberi semangat. Dia dan pasukannya itu termasuk yang yakin sekali bahwa ia akan menang. Bukankah Bahman sudah menjanjikannya akan menyusul.
Hendaklah bertahan dan tabah menghadapi pasukan Muslimin sementara menunggu datangnya bala bantuan. Pertahankanlah sekuat tenaga dalam posisinya itu. Khalid melihat betapa tabah dan gigihnya mereka, walaupun ia tak tahu apa yang mendorong mereka.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan ketika itu rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin begitu banyak sehingga Khalid ketika berdiri di depan pasukannya berkata sambil menunjuk ke tanah tempat mereka bertempur yang begitu kaya itu:
"Tidakkah kalian lihat makanan ini yang setinggi gunung. Demi Allah, kalau hanya untuk mencari makan, dan bukan karena kewajiban kita berjuang demi Allah dan mengajak orang kepada ajaran Allah SWT, pasti kita gempur desa ini sehingga hanya tinggal kita yang berkuasa di sini, dan orang yang enggan berjuang seperti yang kalian lakukan ini, kita biarkan dalam kelaparan dan kekurangan."
Haekal mengatakan masih adakah seorang Muslim yang akan memperhitungkan nyawanya sesudah mendengar kata-kata ini? Di sini ia berjuang di jalan Allah, membawa rampasan perang, dan tawanan menjadi milik mereka. Bukankah ini suatu kenikmatan dunia dan akhirat? Mana ada orang yang mau menjauhmya? Dan siapa yang tidak ingin segera bertemu dengan Al-Khaliq?
Persiapan Menyerbu Ullais
Demikianlah keadaan orang Arab itu. Lalu bagaimana dengan pihak Persia, sebagai pengawal kebudayaan dunia waktu itu, pusat segala kemewahan dan kemkmatan dunia, ilmu dan seni?
Haekal mengatakan yang mengherankan kita setelah peristiwa Walajah, ialah karena yang darahnya mendidih oleh kehancuran itu bukan orang-orang Persia, melainkan orang-orang Arab Banu Bakr bin Wa'il.
Mereka tak senang jika yang mendapat kemenangan itu saudara sepupu mereka sendiri di Semenanjung. Mereka marah, orang-orang Nasrani sebangsanya juga marah. Mereka berkorespondensi dengan pihak Persia. Dan akhirnya keduanya berkumpul di Ullais ke jalur Sungai Furat di pertengahan jalan antara Hirah dengan Ubullah.
Kisra Ardasyir menulis kepada Bahman Jaduweh supaya maju terus dengan pasukannya sampai ke Ullais. Di sana mereka akan berkumpul dengan pasukan Persia dan orang-orang Arab Kristen. Tetapi Bahman berpendapat akan menemui Ardasyir untuk membicarakan suatu ketentuan serta menerima perintah-perintah atasannya itu.
Gaban, salah seorang panglimanya juga, mendesaknya agar ia meneruskan perjalanan ke Ullais, sambil berkata: ''Hindarilah dulu perang dengan pasukan Muslimin sebelum aku menyusulmu, kecuali jika kau harus cepat-cepat."
Tetapi Bahman menjumpai Ardasyir sedang sakit. Ia tak dapat meninggalkannya dan menyerahkan tugas itu kepada Gaban tanpa mengirim berita apapun tentang keadaannya, juga tidak menyebut-nyebut hal itu.
Menurut Haekal, ketika sampai di Ullais Gaban mendampingi Abdul Aswad al-Ijli komandan pasukan Banu Bakr bin Wa'il dengan beberapa orang Nasrani yang bergabung dengan dia. Mereka berdua itulah yang mengatur siasat perang.
Khalid bin Walid tidak tahu tentang perjalanan Gaban dan pasukan Persia itu. Yang diketahuinya hanya orang-orang Nasrani yang sudah berkumpul di Ullais. Dia pun berangkat dengan pasukannya serta orang-orang Arab Irak yang bergabung dengan dia.
Ia kembali ke Hafir hendak mengatur barisan belakang. Melihat persiapan itu sesuai dengan rencananya, cepat-cepat ia kembali untuk menyongsong musuh di tempat mereka bermarkas.
Begitu sampai di Ullais, tidak menunda lagi langsung ia mengajak mereka bertempur. Pasukan Arab itu segera menghadapinya. Tetapi tanpa memberi kesempatan samasekali Khalid langsung membantai komandannya, Malik bin Qais.
Melihat barisannya mulai kacau Gaban bersama pasukan Persianya maju memberi semangat. Dia dan pasukannya itu termasuk yang yakin sekali bahwa ia akan menang. Bukankah Bahman sudah menjanjikannya akan menyusul.
Hendaklah bertahan dan tabah menghadapi pasukan Muslimin sementara menunggu datangnya bala bantuan. Pertahankanlah sekuat tenaga dalam posisinya itu. Khalid melihat betapa tabah dan gigihnya mereka, walaupun ia tak tahu apa yang mendorong mereka.